Senin, 22 April 2013, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mendapat anugerah doktor honoris
causa (DHC) dari
Universitas Nanyang, Singapura. Kita layak turut memberi penghormatan dan
tepuk tangan. SBY pun menambahi koleksi DHC. Kita bisa menganggap misi
mengoleksi gelar DHC sebagai kebanggaan atau "prestasi". Kita,
orang biasa, tak usah bermimpi mendapat dan mengoleksi DHC. Sejarah di
Indonesia memiliki catatan panjang, DHC sering diberikan untuk
orang-orang di jagat politik saat mereka menjabat atau pensiun.
Soekarno pernah mendapat sekian gelar doctor honoris causa (DHC) dari pelbagai universitas
di Indonesia dan negara-negara asing. Penguasa di masa Orde Lama itu
diakui memiliki kontribusi besar dalam jagat keilmuan, dari agama sampai
hukum. Pidato-pidato saat penerimaan gelar berisi tentang otoritas
intelektualitas dan kredo berpolitik. Kumpulan pidato itu telah terbit
menjadi buku berjudul Ilmu
dan Perjuangan (1984),
warisan kata-kata dan biografi intelektual. Gelar-gelar menempel ke
Soekarno di saat kebesaran diri sebagai penguasa. Soekarno seolah jadi
pemula, berpolitik menimbulkan pengakuan-pengakuan intelektual dengan
gelar DHC.
Selebrasi dan klaim bagi kaum politikus sebagai intelektual sering jadi
peristiwa politis di Indonesia sejak tiga tahun lalu. Tokoh-tokoh di
jagat politik mendapat ''anugerah" dari pelbagai universitas, mulai
universitas-universitas terkenal di Indonesia hingga negara-negara asing.
Mereka menerima gelar DHC saat berperan sebagai pejabat politik atau
pensiun dari jabatan-jabatan politik. Kita bisa mengakui kehebatan mereka
di dunia politik, tapi tak harus berlanjut ke pengakuan martabat
intelektualitas jika merujuk ke penerimaan DHC.
Tahun 2013, Zulkifli Hasan dan Suryadharma Ali mendapati gelar DHC dari
Universitas Negeri Semarang dan Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim
(Malang). Mereka menerima gelar DHC saat berperan sebagai menteri
kehutanan dan menteri agama. Taufiq Kiemas, ketua MPR RI, menerima gelar
DHC dari Universitas Trisakti (Jakarta). Tokoh politik ini dianggap
memiliki kontribusi besar dalam urusan kebangsaan. Boediono selaku wakil
presiden juga mendapat anugerah gelar DHC dari Universitas Monash
(Australia) terkait peran di jagat ekonomi dan misi demokrasi. Mereka
termasuk tokoh-tokoh politik kondang di Indonesia. Berpolitik justru
mengakibatkan pemberian gelar. Berpolitik mengesankan berintelektual
meski bertaburan sangsi.
Berita-berita tentang upacara pemberian gelar DHC sering beraroma politik
ketimbang intelektual, megah tapi jarang bertuah untuk rangsangan
keilmuan. Ucapan-ucapan selamat dari kaum politikus semakin menggenapi
keganjilan relasi politik dan intelektualitas. Kehebohan juga terjadi
dengan pemuatan iklan-iklan sebagai "pamer kesetiaan"
birokratis untuk sanjungan atas "prestasi" para pejabat. Kita
merasa ada "teater tak realis" saat merenungi sejarah intelektual
dan politik. Curiga mengarah ke penjadwalan dan klaim-klaim pemberian
gelar DHC. Kita tak sekadar sangsi atas kontribusi kaum politik di arus
intelektualitas, tapi sangsi bisa mengarah ke pamrih-pamrih universitas.
Para elite di universitas tampak tergoda oleh politik, memainkan peran
sebagai "pengesah" bagi kaum politik untuk memiliki derajat
tinggi di jagat keilmuan.
Upacara-upacara pemberian DHC juga meriah selama 2011-2012. Susilo
Bambang Yudhoyono menerima DHC dari Universitas Tsinghua (Tiongkok) dan
Universitas Utara Malaysia. Hatta Rajasa mendapat DHC dari universitas di
Slowakia. Elite di Indonesia seolah "panen gelar" akibat
berpolitik. Penerimaan gelar DHC juga mengarah ke tokoh politik kondang
meski tak ada di jajaran kabinet atau parlemen. Jusuf Kalla adalah tokoh
fenomenal, politikus lincah dan lihai. Anugerah DHC dari Universitas
Hasanuddin (Makassar), Universitas Syiah Kuala (Aceh), Universitas
Brawijaya diterima pada 2011. Fantastis! Jusuf Kalla juga mendapat DHC
dari Universitas Indonesia pada 2013, anugerah berkaitan kepemimpinan.
Nama-nama para politikus terus bermunculan di selebrasi keilmuan beraroma
politik.
Kita tidak ingin menggugat urusan kompetensi intelektualitas kaum politik
saat menerima dan mengoleksi gelar DHC. Ingatan kita justru mengarah ke
Ki Hadjar Dewantara. Tokoh politik radikal di awal abad XX ini memilih
menekuni dunia pendidikan dan adab untuk mengisahkan Indonesia sejak 1922
dengan pendirian Perguruan Taman Siswa. Peran sebagai pendidik-pengajar
dijalani secara bertanggung jawab. Ki Hadjar Dewantara mengurusi Taman
Siswa, menulis, berpolitik sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan di masa awal pembentukan Indonesia. Agenda-agenda itu
mengesahkan Ki Hadjar Dewantara sebagai intelektual mumpuni meski
menjalani misi politik demi Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara mendapat gelar DHC dari Universitas Gadjah Mada pada
1957, penghormatan untuk kontribusi di dunia pendidikan dan kebudayaan.
Ki Hadjar Dewantara memang pantas mendapatkan DHC meski tak harus menjadi
menteri jika kita menilik pengabdian untuk pendidikan dan adab di
Indonesia. Ki Hadjar Dewantara selalu mengajukan ide-ide, menggerakkan
praksis-praksis pendidikan dan adab, mengisahkan Indonesia merujuk ke
olah intelektualitas. Kita mengenang Ki Hadjar Dewantara sebagai panutan.
DHC bagi Ki Hadjar Dewantara cuma pengesahan untuk menggenapi laku
intelektual tanpa ambisi-ambisi politik picisan dan hasrat pencitraan.
Kita menghormati tokoh-tokoh politik untuk menerima DHC asal memenuhi
kepantasan dan pembuktian secara bertanggung jawab. Biografi politik
kadang mengurangi makna DHC. Gelar itu ibarat ilusi intelektual di teater
politik. Silakan berpolitik,
berharaplah bergelar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar