Insiden penyerangan ke Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, 23 Maret lalu, hingga kini masih
terus menjadi salah satu topik perbincangan publik.
Peristiwa ini
memang menghebohkan, sebab penyerang sekaligus pembunuh keempat tahanan
di LP tersebut adalah anggota Kopassus. Terkait itu, kita harus
memandangnya secara jernih dan kritis. Pertama, jangan sekali-kali
menyebut mereka sebagai ”oknum”, sebab oknum itu konsep yang lebih tepat
digunakan untuk menyebut orang yang tak jelas identitasnya. Kalau sudah jelas,
seperti para anggota Kopassus itu, untuk apa lagi menyebut mereka oknum?
Dulu, di era Orde Baru, konsep ini kerap digunakan untuk menutup-nutupi
identitas seseorang atau sejumlah orang yang sebenarnya sudah jelas. Di
era yang meniscayakan transparansi dewasa ini, cara seperti itu harus
dikoreksi.
Kedua, sungguh tak tepat menyebut mereka
kesatria. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menilai
sikap 11 anggota Kopassus yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan di LP
Cebongan itu sebagai kesatria.
SBY menyebut
pembunuhan brutal itu merupakan serangan langsung terhadap kewibawaan
negara. Lantas, apa yang membuat SBY memuji mereka sebagai kesatria?
Ini alasannya: mereka mengaku.
Pertanyaannya, tepatkah pengakuan itu dijadikan dasar untuk memuji
mereka? Tidakkah kita mudah menduga bahwa pengakuan itu merupakan sesuatu
yang tak mungkin dihindari? Artinya, jikapun mereka tak mengaku, tidak
dengan sendirinya untuk selanjutnya mereka dapat terbebas dari proses
penyelidikan.
Ketiga, sungguh tak layak memberi mereka
penghargaan berupa Bintang Mahaputra. Adalah Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) 2001–2004, AM Hendropriyono, yang mengusulkan hal itu. “Premanisme di Yogya yang merajalela ini membuktikan hukum bisu.
Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya
legalitas, tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak
mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi.
Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Oleh sebab itu, apabila hukum
tidak bisa melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara,” ujar
Hendropriyono. ”Makanya secara
hukum, mereka salah. Tapi secara moral, mereka baik. Kalau perlu, mereka
dapat Bintang Mahaputra.”
Pernyataan pendiri sekolah intelijen ini
betul-betul harus dikritisi. Pertama, “hukum
tertinggi adalah keselamatan rakyat”, itu berlaku dalam situasi apa?
Apakah Indonesia saat ini sedang dalam keadaan gawat darurat? Kedua,
secara hukum salah tapi secara moral baik, apa maksudnya? Jangan samakan
aksi anggota Kopassus ini dengan Robin Hood, sang perampok yang budiman,
dalam cerita klasik rakyat Inggris. Ketiga, sadarkah Hendropriyono dengan
mengatakan “kalau hukum tidak bisa
melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara”, ia secara tak
langsung membenarkan prinsip Machiavelli bahwa “the end justified the means”? Dengan itu, kita seakan
dibawa kembali ke masa-masa kelam Orde Baru yang pernah memenjarakan banyak
orang tanpa pengadilan, melakukan penembakan misterius, penculikan, dan
yang sejenisnya.
Keempat, sungguh keliru mengatakan
pembunuhan keempat tahanan di LP Cebongan itu bukan pelanggaran HAM. Sungguhkah Menteri
Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, yang menyatakan itu, benar-benar mengerti
soal HAM? Ketika keempat warga masyarakat sipil dicabut hak hidupnya oleh
alat negara (Kopassus), padahal mereka sedang dalam status ditahan
sekaligus dilindungi negara di sebuah lembaga khusus, tidakkah saat itu
telah terjadi pelanggaran HAM? Menurut Purnomo, para anggota Kopassus itu
tidak mendapat perintah dari pimpinan. Baiklah untuk sementara kita
terima alasan ini. Tapi
logikanya, mereka mendapat izin atau setidaknya tindakan mereka pergi
bersama dengan membawa-bawa senjata diketahui pimpinan bukan?
Kita teringat akan peristiwa terbunuhnya
Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay di Papua, tahun 2003,
oleh beberapa anggota Kopassus. Meskipun mereka sudah divonis hukuman
penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) Surabaya, bagi KSAD TNI
AD Jenderal Ryamizard Ryacudu, mereka adalah pahlawan karena yang
terbunuh adalah pemberontak.
”Saya
tidak tahu, orang bilang mereka salah dan melawan hukum, okelah, kita kan
negara hukum dan harus dihukum. Tapi
bagi saya, mereka ini adalah pahlawan karena yang terbunuh adalah
pemberontak, pimpinan pemberontak,” tegas Ryamizard (23/4/2003).
Seharusnya, menurut Ryamizard, para anggota TNI AD itu jangan dihukum
berat bahkan sampai dipecat seperti yang diputuskan.
Lebih lanjut ia menantang agar
dipertanyakan mengapa Theys sampai terbunuh. Karena dari dulu tak ada
hukum yang diterapkan kepada orang-orang atau kelompok yang menaikkan
bendera selain Merah Putih. Mereka yang memberontak, makar, dibiarkan
terus. Akhirnya TNI yang kena. Coba kalau ditindak oleh negara, pasti
tidak akan terjadi hal tersebut. ”Jadi jangan TNI yang kena limbahnya
terus. Tentara ini lama-lama malas juga,” ujar Ryamizard.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin
militer begitu gampangnya memberi gelar pahlawan kepada para pembunuh,
sekalipun mereka anggota TNI? Apa argumentasinya dan apa sebenarnya
definisi pahlawan menurut Jenderal Ryamizard Ryacudu? Menurut dia,
seseorang dapat saja diberi gelar pahlawan, tak peduli ia sudah membunuh
orang lain, asalkan yang dibunuh itu adalah pemberontak. Begitulah
paradigma Ryamizard dalam mengonstruksi sebuah kebenaran terkait
peristiwa terbunuhnya Theys oleh beberapa anggota Kopassus.
Betapa
naifnya, dan karena itu kita perlu mengkritisinya. Pertama, sudahkah
anggapan Theys sebagai pemberontak dibuktikan secara hukum atau
disepakati demikian oleh pemerintah? Sebab harus diingat, Theys sebelum
tewas hanya memegang jabatan sebagai Ketua PDP. Dalam arti, ia bukanlah
pemimpin dari sebuah gerakan yang dengan tegas menyatakan diri sebagai
kelompok separatis. Kalaulah wacana separatisme itu ada dalam diri
sebagian anggota PDP, sepanjang ia tak berkembang menjadi sebentuk
pergerakan, bukankah sah-sah saja?
Ataukah
memang kita sedang berjalan mundur ke era Orde Baru, yang pemerintah dan
aparatnya selalu suka mengadili pikiran setiap warga negaranya? Tak ingatkah
Ryamizard saat itu bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pun pernah merestui
bahkan mendanai PDP ketika organisasi masyarakat Papua ini hendak
menyelenggarakan kongresnya? Sikap dan tindakan seorang presiden yang
sedemikian itu jelas menunjukkan bahwa Theys dan PDPnya tidak dianggap
sebagai pemberontak oleh pemerintah.
Di zaman yang
sangat meninggikan HAM ini, haruslah dipahami bahwa sebuah tindakan
kekerasan (apalagi membunuh) hanya dapat dimaklumi (bukan berarti
dibenarkan, apalagi dipuji) jika ia dilakukan karena alasan atau dengan
motif mempertahankan keselamatan diri. Jadi, membunuh Theys dengan segala
kesadaran (bukan karena spontan), dapatkah itu dimaklumi sebagai suatu
tindakan yang patut? Apalagi Theys adalah warga negara Indonesia yang
sah. Jikapun benar ia seorang pemberontak, bukankah kita patut menempuh
jalan damai saat berhadapan dengannya? Sebab
kalau tak begitu berarti ke depan setiap pemberontak boleh kita habisi
nyawanya. Begitukah?
Maka, janganlah terlalu mudah memberi penghargaan
kepada para pembunuh, siapa pun dan apapun alasannya. Jika kelak
penghargaan itu ternyata keliru, betapa malunya Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar