Rabu, 17 April 2013

Distorsi Kesucian Perkawinan


Distorsi Kesucian Perkawinan
Abd. Salam   Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
JAWA POS, 17 April 2013

  
Banyak masyarakat yang gemas saat membaca berita Jawa Pos kemarin, soal anggota DPRD Sampang dari PPP yang melakukan nikah kilat dengan sembilan pelajar. Di tengah-tengah pemerintah mengajukan Rancangan KUHP yang salah satu pasalnya mengancam pidana kumpul kebo, eh ternyata ada modus lain, yakni nikah-cerai kilat. 

Sejarah umat manusia sejak primitif sampai modern mengakui sucinya lembaga pernikahan. Pengingkaran terhadap kesucian perkawinan, seperti free sex, prostitusi, homoseks, dan lesbian, tetap dianggap sebagai penyakit masyarakat atau patologi sosial yang harus dihilangkan. Karena itulah, Rancangan KUHP memasukkan kumpul kebo sebagai tindak pidana meskipun, anehnya, ada yang menganggap sebagai hak asasi manusia.

Perkawinan dalam bahasa Alquran dikatakan sebagai mitsaqon ghalidha. Kata indah ini hanya dipergunakan sebagai metafor atas perjanjian yang agung dan mulia. Kata tersebut hanya digunakan oleh Allah pada 3 (tiga) peristiwa. Pertama, perjanjian perkawinan (An-Nisa: 21) Kedua, perjanjian Allah dengan para rasul (ulul azmi) untuk mendakwahkan dan menjalankan risalah-Nya (Al-Ahzab: 7). Para rasulullah tersebut siap berkorban apa saja, termasuk nyawa. Ketiga, perjanjian Allah dengan Bani Israil agar mematuhi hukum Allah. Jika tidak, mereka akan dibenamkan oleh Allah dengan Bukit Turisina, sebagaimana Allah sebutkan (An-Nisa: 153). 

Alangkah luhur dan sakralnya pernikahan jika dibandingkan dengan bentuk muamalah duniawiah lain. Dengan perkawinan, akan lahirlah anak-anak yang memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dua orang tuanya.agar di kemudian hari menjadi generasi yang baik (An-Nisa: 9 dan Al-Anbiya: 105). Dengan demikian, dalam Islam, perkawinan bukan hanya persoalan biologis saja, tetapi psikologis dan sosiologis. Memandang hubungan seksual hanya dari segi biologis berarti sama dengan apa yang dilakukan hewan.

Masyarakat Indonesia kini kian permisif sehingga mengarah pada berkurangnya sakralitas perkawinan. Pertama, semakin maraknya prostitusi atau perzinaan berbayar. Ada anggapan perzinaan "legal" bila dilakukan di lokalisasi. Label ini memberikan konotasi sah dan perlu mendapat pembinaan, perlindungan, pelestarian dari negara. Sebaliknya, yang dilakukan di hotel, motel, vila, panti pijat, night club, atau di gubuk-gubuk kumuh di bantaran sungai dan sepanjang rel kereta api, serta hotel short time adalah terselubung, "tidak legal". 

Kedua, semakin banyaknya kasus-kasus premarital intercourse karena  semakin bebasnya pergaulan muda mudi, termasuk dalam hubungan seksual. Juga semakin banyaknya kasus perselingkuhan (extramarital intercourse). Sebuah tayangan tengah malam sebuah stasiun TV beberapa hari lalu melaporkan "Produser dan Pelaku Film Porno". Di balik kelambu transparan pelaku melakukan hubungan yang hanya layak dilakukan oleh suami istri. Kaki-kaki mereka sengaja ditampakkan di luar kelambu untuk disyuting kamerawan. Astaghfirullah. 

Ketiga, semakin banyaknya anak yang lahir di luar perkawinan. Indikasinya semakin banyaknya bayi dibuang, kasus-kasus pengguguran (abortus provocatus), kawin paksa, atau "kawin hamil" dengan lelaki yang harus bertanggung jawab atau dengan orang lain yang tidak menghamili. Ada juga wanita yang sanggup menerima kehadiran anak tanpa ayah yang sah.

Keempat, semakin banyaknya orang yang membujang (tabatthul). Ada pandangan bahwa perkawinan tidak menjamin kebahagiaan dan, bahkan, bisa menghambat karir. Di antara mereka kemudian ada yang mencari jalan lain homoseks atau lesbian, selain kumpul kebo dan prostitusi.

Kelima, semakin banyaknya kumpul kebo. Praktik semacam ini di kota-kota besar sudah tidak dipersoalkan lagi, tapi di desa sering digerebek. Akhirnya, masyarakat main hakim sendiri untuk menegakkan moral yang justru menimbulkan persoalan hukum lain.

Sebenarnya, ada sanksi pidana untuk pelanggaran UU Perkawinan sebagaimana diatur pasal 45 PP Nomor 9/1975. Sanksinya adalah hukuman kurungan tiga bulan atau denda Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Tapi, pasal ini mandul karena tidak pernah ada pelanggar yang dipidanakan dengan pasal ini.

Untuk menyembuhkan gejala desakralisasi perkawinan itu, perlu langkah intensif. Perlu fungsionalisasi dan revitalisasi agama (Islam) bagi individu dan masyarakat agar menghargai pranata perkawinan. Perbuatan kawin cerai berulang-ulang, apalagi secara kilat, tidak sejalan dengan tujuan syariat, bertentangan dengan moral dan etika masyarakat Islam. Karena itu, perlu diperbanyak biro konsultasi masalah keluarga yang dibentuk oleh lembaga-lembaga masyarakat.

Perlu juga reformasi hukum nasional dengan mentranformasikan hukum Islam sebagai salah satu bahan baku hukum nasional. Misalnya soal pidana kumpul kebo tadi. Sudah menjadi watak masyarakat Islam tidak akan dapat dilepaskan dari hukum agamanya.

Yang penting, penegakan hukum (law enforcement) harus dianggap pilar yang paling utama. Banyak lokalisasi, hotel, dan tempat-tempat mesum dibakar massa karena mereka tidak menemukan hukum publik yang dapat memberikan solusi yang dipandang patut dan tepat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar