Banyak masyarakat yang gemas saat membaca
berita Jawa Pos kemarin, soal anggota DPRD
Sampang dari PPP yang melakukan nikah kilat dengan sembilan pelajar. Di
tengah-tengah pemerintah mengajukan Rancangan KUHP yang salah satu
pasalnya mengancam pidana kumpul kebo, eh ternyata ada modus lain, yakni
nikah-cerai kilat.
Sejarah umat manusia sejak primitif sampai modern
mengakui sucinya lembaga pernikahan. Pengingkaran terhadap kesucian
perkawinan, seperti free sex, prostitusi,
homoseks, dan lesbian, tetap dianggap sebagai penyakit masyarakat atau
patologi sosial yang harus dihilangkan. Karena itulah, Rancangan KUHP
memasukkan kumpul kebo sebagai tindak pidana meskipun, anehnya, ada yang
menganggap sebagai hak asasi manusia.
Perkawinan dalam bahasa Alquran dikatakan sebagai mitsaqon ghalidha. Kata indah
ini hanya dipergunakan sebagai metafor atas perjanjian yang agung dan
mulia. Kata tersebut hanya digunakan oleh Allah pada 3 (tiga) peristiwa.
Pertama, perjanjian perkawinan (An-Nisa: 21) Kedua, perjanjian Allah
dengan para rasul (ulul azmi) untuk
mendakwahkan dan menjalankan risalah-Nya (Al-Ahzab: 7). Para rasulullah
tersebut siap berkorban apa saja, termasuk nyawa. Ketiga,
perjanjian Allah dengan Bani Israil agar mematuhi hukum Allah. Jika
tidak, mereka akan dibenamkan oleh Allah dengan Bukit Turisina,
sebagaimana Allah sebutkan (An-Nisa: 153).
Alangkah luhur dan sakralnya pernikahan jika dibandingkan
dengan bentuk muamalah duniawiah lain. Dengan perkawinan, akan lahirlah
anak-anak yang memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dua orang
tuanya.agar di kemudian hari menjadi generasi yang baik (An-Nisa: 9 dan
Al-Anbiya: 105). Dengan demikian, dalam Islam, perkawinan bukan hanya
persoalan biologis saja, tetapi psikologis dan sosiologis. Memandang
hubungan seksual hanya dari segi biologis berarti sama dengan apa yang
dilakukan hewan.
Masyarakat Indonesia kini kian permisif sehingga
mengarah pada berkurangnya sakralitas perkawinan. Pertama, semakin
maraknya prostitusi atau perzinaan berbayar. Ada anggapan perzinaan
"legal" bila dilakukan di lokalisasi. Label ini memberikan
konotasi sah dan perlu mendapat pembinaan, perlindungan, pelestarian dari
negara. Sebaliknya, yang dilakukan di hotel, motel, vila, panti pijat, night club, atau di
gubuk-gubuk kumuh di bantaran sungai dan sepanjang rel kereta api, serta
hotel short time adalah terselubung, "tidak
legal".
Kedua, semakin banyaknya kasus-kasus premarital intercourse karena semakin
bebasnya pergaulan muda mudi, termasuk dalam hubungan seksual. Juga
semakin banyaknya kasus perselingkuhan (extramarital intercourse). Sebuah
tayangan tengah malam sebuah stasiun TV beberapa hari lalu melaporkan "Produser dan Pelaku Film Porno". Di balik kelambu transparan
pelaku melakukan hubungan yang hanya layak dilakukan oleh suami istri.
Kaki-kaki mereka sengaja ditampakkan di luar kelambu untuk disyuting
kamerawan. Astaghfirullah.
Ketiga, semakin banyaknya anak yang lahir di luar
perkawinan. Indikasinya semakin banyaknya bayi dibuang, kasus-kasus
pengguguran (abortus
provocatus), kawin paksa, atau "kawin hamil"
dengan lelaki yang harus bertanggung jawab atau dengan orang lain yang
tidak menghamili. Ada juga wanita yang sanggup menerima kehadiran anak
tanpa ayah yang sah.
Keempat, semakin banyaknya orang yang membujang (tabatthul). Ada
pandangan bahwa perkawinan tidak menjamin kebahagiaan dan, bahkan, bisa
menghambat karir. Di antara mereka kemudian ada yang mencari jalan lain
homoseks atau lesbian, selain kumpul kebo dan prostitusi.
Kelima, semakin banyaknya kumpul kebo. Praktik semacam
ini di kota-kota besar sudah tidak dipersoalkan lagi, tapi di desa sering
digerebek. Akhirnya, masyarakat main hakim sendiri untuk menegakkan moral
yang justru menimbulkan persoalan hukum lain.
Sebenarnya, ada sanksi pidana untuk pelanggaran UU
Perkawinan sebagaimana diatur pasal 45 PP Nomor 9/1975. Sanksinya adalah
hukuman kurungan tiga bulan atau denda Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus
rupiah). Tapi, pasal ini mandul karena tidak pernah ada pelanggar yang
dipidanakan dengan pasal ini.
Untuk menyembuhkan gejala desakralisasi perkawinan itu,
perlu langkah intensif. Perlu fungsionalisasi dan revitalisasi agama
(Islam) bagi individu dan masyarakat agar menghargai pranata perkawinan.
Perbuatan kawin cerai berulang-ulang, apalagi secara kilat, tidak sejalan
dengan tujuan syariat, bertentangan dengan moral dan etika masyarakat
Islam. Karena itu, perlu diperbanyak biro konsultasi masalah keluarga yang
dibentuk oleh lembaga-lembaga masyarakat.
Perlu juga reformasi hukum nasional dengan
mentranformasikan hukum Islam sebagai salah satu bahan baku hukum
nasional. Misalnya soal pidana kumpul kebo tadi. Sudah menjadi watak
masyarakat Islam tidak akan dapat dilepaskan dari hukum agamanya.
Yang penting, penegakan hukum (law enforcement) harus
dianggap pilar yang paling utama. Banyak lokalisasi, hotel, dan
tempat-tempat mesum dibakar massa karena mereka tidak menemukan hukum
publik yang dapat memberikan solusi yang dipandang patut dan tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar