Apa yang ada dalam benak kita ketika
melihat peta dunia? Bagaimana kita melihat Indonesia dalam peta itu?
Kemarin saya ajukan pertanyaan tersebut kepada angkatan XXXI Program
Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia.
Para peserta
pendidikan tersebut adalah staf senior di bank sentral yang nantinya akan
diangkat menjadi direktur dan petinggi di Bank Indonesia. Menanggapi
pertanyaan di atas, mereka mengemukakan sejumlah pandangan yang menarik
untuk dibahas di sini. Pertama-tama reaksinya cenderung defensif.
Indonesia dilihat berhadap-hadapan dengan negara-negara lain yang saling
berseteru dalam hal batas wilayah dan saling mempersoalkan kedaulatan
politik maupun ekonominya.
Kedua,
sejumlah besar peserta langsung menyoroti keberadaan China dan India
serta pentingnya Indonesia menjaga kedaulatan ekonomi kita, bahkan
diusulkan agar Indonesia punya independensi politik dan ekonomi dari
negara-negara lain. Selain itu, kata “kompetisi”, “daya saing”, dan
“keunggulan komparatif’’ bermunculan di sana-sini dalam komentar-komentar
praktisi ekonomi ini. Tak bisa disangkal, ada nasionalisme yang kental
dalam pemikiran para pejabat tersebut.
Nasionalisme
memang penting dalam strategi politik internasional, tetapi nasionalisme
yang berwujud apa? Saya kemudian mengajak peserta mengamati kondisi
ekonomi global yang sedang resesi. Saya sajikan sejumlah data tentang
tingkat pengangguran di Eropa dan Amerika yang masih lebih tinggi
daripada angka sebelum krisis 2007, tingkat pengangguran di kalangan
orang muda berusia 15–24 tahun yang jauh di atas rata-rata pengangguran
di usia yang lebih tua, dan betapa terkikisnya daya beli masyarakat di
negara-negara itu. Karena perekonomian di banyak negara mengandalkan daya
konsumsi masyarakat, faktor-faktor tadi sangat memukul perekonomian.
Ketika
terjadi inflasi dan harga barang-barang kebutuhan pokok (termasuk bahan
bakar dan cicilan rumah) melonjak, habislah kemampuan masyarakat untuk
membeli dan menabung. Di titik itulah dunia perbankan dan akhirnya negara
akan merasakan dampak buruk dan rumit dari resesi ekonomi. Apa dampak
riil dari kondisi ini bagi Indonesia? Yang paling jelas adalah nilai
ekspor ke negara-negara tersebut otomatis merosot sehingga sebagian
pendapatan negara terkikis.
Sejumlah
studi menunjukkan konsumen di Amerika dan Eropa menerapkan perilaku hemat
dan akan terus mengetatkan ikat pinggang karena hatihati terhadap dampak
krisis ini pada 15–20 tahun mendatang. Artinya, perilaku hemat ini
bersifat jangka (cukup) panjang. Tingkat kesadaran mereka akan krisis
ekonomi sudah demikian tinggi sehingga masyarakat menghitung dampak jangka
panjang resesi terhadap kehidupan pribadi masingmasing dan karena itu
mengurangi konsumsinya semaksimal mungkin.
Repotnya,
kita tahu persis, konsumen yang hemat adalah bencana bagi produsen yang
ingin menghidupi bisnisnya dan bencana bagi negara yang ingin menciptakan
lapangan kerja. Negara yang memproduksi barang-barang non-durable, seperti Indonesia,
pasti merasakan pukulannya. Dampak negatif lain adalah kenaikan harga
komoditas yang berujung pada inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.
Di Eropa dan AS, upah tak naik (bahkan turun), padahal harga komoditas
naik.
Ini resep
jitu untuk memunculkan protes luas dari masyarakat. Hal yang sama tinggal
menunggu waktu saja untuk terjadi pula di Indonesia, apalagi karena
negara belum punya mekanisme mengontrol harga komoditas. Pertanyaannya,
apakah krisis yang sedang kita hadapi akan melalui siklus yang sama
seperti krisis-krisis sepanjang abad ini? Ada dua depresi besar di abad
ini, yakni pada tahun 1873–1896 dan 1929–1934. Melihat perkembangan masa
kini, sesungguhnya ada sejumlah hal penting yang membedakan krisis kita
sekarang dengan krisis 79 dan 140 tahun lalu.
Pertama,
dalam krisis kali ini tidak terjadi konsentrasi pertumbuhan ekonomi pada
satu negara atau bahkan satu benua saja. Negara-negara di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin tumbuh bersama sebagai pusatpusat perekonomian yang
dinamis. Ini berbeda dengan dulu saat AS muncul sebagai alternatif
tunggal bagi hegemoni Inggris. Tak hanya itu, kini negara-negara di tiga
kawasan ini bergulat dengan isu-isu domestik politik sambil mengembangkan
pergaulan yang aktif dan keragaman cara pandang tiap negara dalam
berpolitik sangatlah tinggi.
Artinya,
proses negosiasi demi pengembangan lapangan pekerjaan dan peningkatan
kerja sama ekonomi lain belum tentu dalam pola yang linear. Kedua,
negara-negara Barat boleh pongah karena meskipun dilanda krisis, PDB
mereka tetap jauh di atas rata-rata PDB negara-negara Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, tetapi ini hanya fenomena sementara. Eropa dan AS adalah
negara yang menua. Penuaan ini otomatis mengikis produktivitas dan jumlah
populasi sehingga PDB pun dengan cepat akan terkejar oleh negaranegara
berkembang ini.
Ketiga, para
pengambil kebijakan di AS belum sepakat tentang strategi pertahanan dan
perlindungan atas status hegemoni negeri itu dalam politik internasional.
Sisi yang masih dominan adalah kebijakan untuk all out melindungi kepentingan segenap sekutu AS di mana pun
mereka berada dan dengan tanpa mengurangi basis-basis militer AS di
seluruh dunia. Dengan kata lain, AS memilih untuk tetap internasionalis
meskipun telah mengalami resesi dan terbilang relatif cukup aktif di
sana-sini.
Ini berbeda
dengan sejarah krisis zaman dulu saat AS justru memilih untuk menarik
diri dari pergaulan internasional. Dalam kondisi ini, kita sesungguhnya
punya peluang untuk lebih berani bergerak mencari posisi terbaik bagi
bangsa. Tatanan politik internasional jelas-jelas sedang mencari bentuk
baru sehingga kita pun tak boleh terpaku pada caracara lama penanganan
krisis. Contoh cara kuno dalam penanganan krisis adalah dengan
mengandalkan kemampuan negara memberi subsidi atau membagi-bagikan
“bantuan” gratis di sana-sini.
Cara ini
tidak cocok lagi untuk zaman sekarang karena selain cara ini menuntut
penggunaan pajak, hibah atau utang, daya beli ratarata masyarakat kelas
menengah Indonesia pun belum cukup punya ruang untuk menopang pajak yang
lebih tinggi atau dibebani utang negara. Apakah kita kemudian harus
menggenjot persaingan dengan negara-negara lain atau bahkan menutup diri
dari pergaulan internasional dan meningkatkan proteksi agar daya beli
kita terkatrol? Itulah gunanya kita memandangi peta dunia.
Sadarilah
bahwa dunia tidaklah seluas daun kelor. Indonesia memang bukan negara
terkaya di dunia atau paling ditakuti, tetapi Indonesia dikenal sebagai
negara yang peduli dan aktif memperjuangkan perdamaian dunia. Citra ini
adalah aset yang luar biasa untuk mengembangkan banyak kerja sama dan
modal untuk bersikap lebih asertif kepada negara-negara lain tanpa takut
akan dimusuhi. Dengan posisi Indonesia yang sangat strategis, kita wajib
mengedepankan kebijakan luar negeri yang asertif sekaligus sejuk. Hal ini
hanya mungkin dilakukan bila kita mampu melihat jauh ke horizon masa
depan.
Jangan tutup
kerja sama yang ada, tetapi lengkapilah dengan kerja sama baru dengan
negara-negara yang mau belajar dari kita seperti negara-negara nun jauh
di Afrika. Jika kerja sama ekonomi terlalu berisiko, masuklah dulu lewat
pintu kerja sama pertukaran pelajar, pengembangan sister city, atau dialog di tataran partai politik,
perempuan, dan kaum muda. Afrika adalah kawasan yang kaya sumber daya
alam, dinamis sumber daya manusianya, bertumbuh kelas menengahnya, dan
punya gejolak keinginan untuk menghasilkan produk-produk dengan merek
terkenal.
Inilah poros
baru pertumbuhan masa depan yang perlu kita kenali secepat mungkin.
Terhadap China dan India, yang memang aktor penting abad ini, kita perlu
ajak mereka untuk memaknai “persaingan
antarnegara” dalam kacamata yang lebih positif. Janganlah kita
“tertular” virus panik serbaingin bersaing dengan meladeni adu teknologi
militer atau mengotak-ngotakkan negara dalam persekutuan tertentu dengan
China, India, ataupun AS. Kita justru perlu berlatih mengedepankan
cara-cara elok meredam persaingan dan memupuk kerja sama.
Daerah-daerah
perbatasan yang disengketakan perlu diusulkan untuk dikelola bersama-sama
sambil memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang hidup di sekitar sana.
Sumber daya alam yang kerap hanya dikeruk dan dibawa ke luar negeri perlu
diminta untuk dikelola di dalam negeri sambil mengembangkan model
kemitraan baru yang berorientasi produksi.
Gejolak orang
muda Indonesia yang sebenarnya kaya ide dan bersemangat untuk
berwirausaha perlu dijembatani dengan memperkuat program pertukaran ide
dan penelitian bersama antarorang muda. Inilah nasionalisme baru yang
perlu dipupuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar