Rabu, 17 April 2013

Nasionalisme Baru


Nasionalisme Baru
Dinna Wisnu   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 
KORAN SINDO, 17 April 2013

  
Apa yang ada dalam benak kita ketika melihat peta dunia? Bagaimana kita melihat Indonesia dalam peta itu? Kemarin saya ajukan pertanyaan tersebut kepada angkatan XXXI Program Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia. 

Para peserta pendidikan tersebut adalah staf senior di bank sentral yang nantinya akan diangkat menjadi direktur dan petinggi di Bank Indonesia. Menanggapi pertanyaan di atas, mereka mengemukakan sejumlah pandangan yang menarik untuk dibahas di sini. Pertama-tama reaksinya cenderung defensif. Indonesia dilihat berhadap-hadapan dengan negara-negara lain yang saling berseteru dalam hal batas wilayah dan saling mempersoalkan kedaulatan politik maupun ekonominya. 

Kedua, sejumlah besar peserta langsung menyoroti keberadaan China dan India serta pentingnya Indonesia menjaga kedaulatan ekonomi kita, bahkan diusulkan agar Indonesia punya independensi politik dan ekonomi dari negara-negara lain. Selain itu, kata “kompetisi”, “daya saing”, dan “keunggulan komparatif’’ bermunculan di sana-sini dalam komentar-komentar praktisi ekonomi ini. Tak bisa disangkal, ada nasionalisme yang kental dalam pemikiran para pejabat tersebut. 

Nasionalisme memang penting dalam strategi politik internasional, tetapi nasionalisme yang berwujud apa? Saya kemudian mengajak peserta mengamati kondisi ekonomi global yang sedang resesi. Saya sajikan sejumlah data tentang tingkat pengangguran di Eropa dan Amerika yang masih lebih tinggi daripada angka sebelum krisis 2007, tingkat pengangguran di kalangan orang muda berusia 15–24 tahun yang jauh di atas rata-rata pengangguran di usia yang lebih tua, dan betapa terkikisnya daya beli masyarakat di negara-negara itu. Karena perekonomian di banyak negara mengandalkan daya konsumsi masyarakat, faktor-faktor tadi sangat memukul perekonomian. 

Ketika terjadi inflasi dan harga barang-barang kebutuhan pokok (termasuk bahan bakar dan cicilan rumah) melonjak, habislah kemampuan masyarakat untuk membeli dan menabung. Di titik itulah dunia perbankan dan akhirnya negara akan merasakan dampak buruk dan rumit dari resesi ekonomi. Apa dampak riil dari kondisi ini bagi Indonesia? Yang paling jelas adalah nilai ekspor ke negara-negara tersebut otomatis merosot sehingga sebagian pendapatan negara terkikis. 

Sejumlah studi menunjukkan konsumen di Amerika dan Eropa menerapkan perilaku hemat dan akan terus mengetatkan ikat pinggang karena hatihati terhadap dampak krisis ini pada 15–20 tahun mendatang. Artinya, perilaku hemat ini bersifat jangka (cukup) panjang. Tingkat kesadaran mereka akan krisis ekonomi sudah demikian tinggi sehingga masyarakat menghitung dampak jangka panjang resesi terhadap kehidupan pribadi masingmasing dan karena itu mengurangi konsumsinya semaksimal mungkin. 

Repotnya, kita tahu persis, konsumen yang hemat adalah bencana bagi produsen yang ingin menghidupi bisnisnya dan bencana bagi negara yang ingin menciptakan lapangan kerja. Negara yang memproduksi barang-barang non-durable, seperti Indonesia, pasti merasakan pukulannya. Dampak negatif lain adalah kenaikan harga komoditas yang berujung pada inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Di Eropa dan AS, upah tak naik (bahkan turun), padahal harga komoditas naik. 

Ini resep jitu untuk memunculkan protes luas dari masyarakat. Hal yang sama tinggal menunggu waktu saja untuk terjadi pula di Indonesia, apalagi karena negara belum punya mekanisme mengontrol harga komoditas. Pertanyaannya, apakah krisis yang sedang kita hadapi akan melalui siklus yang sama seperti krisis-krisis sepanjang abad ini? Ada dua depresi besar di abad ini, yakni pada tahun 1873–1896 dan 1929–1934. Melihat perkembangan masa kini, sesungguhnya ada sejumlah hal penting yang membedakan krisis kita sekarang dengan krisis 79 dan 140 tahun lalu. 

Pertama, dalam krisis kali ini tidak terjadi konsentrasi pertumbuhan ekonomi pada satu negara atau bahkan satu benua saja. Negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin tumbuh bersama sebagai pusatpusat perekonomian yang dinamis. Ini berbeda dengan dulu saat AS muncul sebagai alternatif tunggal bagi hegemoni Inggris. Tak hanya itu, kini negara-negara di tiga kawasan ini bergulat dengan isu-isu domestik politik sambil mengembangkan pergaulan yang aktif dan keragaman cara pandang tiap negara dalam berpolitik sangatlah tinggi. 

Artinya, proses negosiasi demi pengembangan lapangan pekerjaan dan peningkatan kerja sama ekonomi lain belum tentu dalam pola yang linear. Kedua, negara-negara Barat boleh pongah karena meskipun dilanda krisis, PDB mereka tetap jauh di atas rata-rata PDB negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, tetapi ini hanya fenomena sementara. Eropa dan AS adalah negara yang menua. Penuaan ini otomatis mengikis produktivitas dan jumlah populasi sehingga PDB pun dengan cepat akan terkejar oleh negaranegara berkembang ini. 

Ketiga, para pengambil kebijakan di AS belum sepakat tentang strategi pertahanan dan perlindungan atas status hegemoni negeri itu dalam politik internasional. Sisi yang masih dominan adalah kebijakan untuk all out melindungi kepentingan segenap sekutu AS di mana pun mereka berada dan dengan tanpa mengurangi basis-basis militer AS di seluruh dunia. Dengan kata lain, AS memilih untuk tetap internasionalis meskipun telah mengalami resesi dan terbilang relatif cukup aktif di sana-sini. 

Ini berbeda dengan sejarah krisis zaman dulu saat AS justru memilih untuk menarik diri dari pergaulan internasional. Dalam kondisi ini, kita sesungguhnya punya peluang untuk lebih berani bergerak mencari posisi terbaik bagi bangsa. Tatanan politik internasional jelas-jelas sedang mencari bentuk baru sehingga kita pun tak boleh terpaku pada caracara lama penanganan krisis. Contoh cara kuno dalam penanganan krisis adalah dengan mengandalkan kemampuan negara memberi subsidi atau membagi-bagikan “bantuan” gratis di sana-sini. 

Cara ini tidak cocok lagi untuk zaman sekarang karena selain cara ini menuntut penggunaan pajak, hibah atau utang, daya beli ratarata masyarakat kelas menengah Indonesia pun belum cukup punya ruang untuk menopang pajak yang lebih tinggi atau dibebani utang negara. Apakah kita kemudian harus menggenjot persaingan dengan negara-negara lain atau bahkan menutup diri dari pergaulan internasional dan meningkatkan proteksi agar daya beli kita terkatrol? Itulah gunanya kita memandangi peta dunia. 

Sadarilah bahwa dunia tidaklah seluas daun kelor. Indonesia memang bukan negara terkaya di dunia atau paling ditakuti, tetapi Indonesia dikenal sebagai negara yang peduli dan aktif memperjuangkan perdamaian dunia. Citra ini adalah aset yang luar biasa untuk mengembangkan banyak kerja sama dan modal untuk bersikap lebih asertif kepada negara-negara lain tanpa takut akan dimusuhi. Dengan posisi Indonesia yang sangat strategis, kita wajib mengedepankan kebijakan luar negeri yang asertif sekaligus sejuk. Hal ini hanya mungkin dilakukan bila kita mampu melihat jauh ke horizon masa depan. 

Jangan tutup kerja sama yang ada, tetapi lengkapilah dengan kerja sama baru dengan negara-negara yang mau belajar dari kita seperti negara-negara nun jauh di Afrika. Jika kerja sama ekonomi terlalu berisiko, masuklah dulu lewat pintu kerja sama pertukaran pelajar, pengembangan sister city, atau dialog di tataran partai politik, perempuan, dan kaum muda. Afrika adalah kawasan yang kaya sumber daya alam, dinamis sumber daya manusianya, bertumbuh kelas menengahnya, dan punya gejolak keinginan untuk menghasilkan produk-produk dengan merek terkenal. 

Inilah poros baru pertumbuhan masa depan yang perlu kita kenali secepat mungkin. Terhadap China dan India, yang memang aktor penting abad ini, kita perlu ajak mereka untuk memaknai “persaingan antarnegara” dalam kacamata yang lebih positif. Janganlah kita “tertular” virus panik serbaingin bersaing dengan meladeni adu teknologi militer atau mengotak-ngotakkan negara dalam persekutuan tertentu dengan China, India, ataupun AS. Kita justru perlu berlatih mengedepankan cara-cara elok meredam persaingan dan memupuk kerja sama. 

Daerah-daerah perbatasan yang disengketakan perlu diusulkan untuk dikelola bersama-sama sambil memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang hidup di sekitar sana. Sumber daya alam yang kerap hanya dikeruk dan dibawa ke luar negeri perlu diminta untuk dikelola di dalam negeri sambil mengembangkan model kemitraan baru yang berorientasi produksi. 

Gejolak orang muda Indonesia yang sebenarnya kaya ide dan bersemangat untuk berwirausaha perlu dijembatani dengan memperkuat program pertukaran ide dan penelitian bersama antarorang muda. Inilah nasionalisme baru yang perlu dipupuk. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar