Blood is thicker than water (darah lebih
kental daripada air). Doktrin politik kuno tersebut sangat selaras
apabila kita sandingkan dengan fenomena dinasti politik yang sedang "menjangkiti"
banyak kepala daerah di Indonesia. Dinasti politik dapat dimaknai sebagai
pendistribusian kekuasaan antaranggota keluarga sedarah. Fenomena ini sangat
berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Pertama,
dinasti politik merupakan cara melanggengkan kekuasaan, baik politik
maupun ekonomi: apabila gubernur X telah habis masa jabatannya, dan
digantikan anak, keponakan, atau kerabat lainnya. Fenomena ini akan
memperlebar indikasi penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua,
kesenjangan kontestasi politik. Sebagai misal, keluarga incumbent yang maju akan dengan
mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dengan segala akses atau jaringan
incumbent untuk memperbesar peluang menang dalam pemilihan.
Ketiga,
memperbesar peluang manipulasi politik. Para kerabat dianggap lebih dapat
dipercaya dan sedikit kemungkinan melakukan pengkhianatan. Para
calon kepala daerah tentunya akan cenderung berpihak kepada political privileges keluarga,
bukan kepada political credentials
kemampuan mereka sendiri.
Merujuk
data Kemendagri, terdapat 57 kepala daerah yang sedang membangun dinasti
politik. Pada banyak pembahasan dijumpai ragam solusi untuk meruntuhkan
dinasti politik ke- pala daerah. Salah satunya pada RUU Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan oleh pemerintah.
Pemerintah dalam RUU Pilkada melarang kerabat kepala daerah untuk
mencalonkan diri sebelum melalui jeda satu periode jabatan (5 tahun)
sejak kerabatnya menjadi kepala daerah. Ketentuan tersebut dituangkan
pada Pasal 12 Ayat 1 huruf p.
Apabila
dicermati lebih intens, solusi yang ditawarkan pemerintah adalah
inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945.
Negara memberikan perlakuan yang sama dalam pemerintahan untuk setiap
WNI, dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai hak untuk dipilih
dalam pemilihan umum. Seharusnya, penekanannya bukan kepada pasal,
tetapi kepada mekanisme perekrutan calon. Yaitu, kaderisasi internal yang
baik melalui pemilihan pendahuluan dan keputusan terakhir bukan pada
ketua umum, tetapi pada rapat anggota.
Pemilu
serentak Pemilihan umum (pemilu) serentak dapat dimaknai sebagai
penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif pada satu hari yang
sama. Gagasan pemilu serentak diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu
nasional dan daerah. Pemilu serentak tingkat nasional untuk memilih calon
presiden beserta wakil, anggota DPR, dan anggota DPD yang diselenggarakan
pada tahun pertama dari siklus lima tahunan. Sedangkan, pemilu serentak
tingkat daerah diselenggarakan untuk memilih kepala daerah dan anggota
DPRD pada tahun ketiga.
Berdasarkan
perhitungan Perludem, pemilu serentak nasional dapat diselenggarakan pada
tahun 2019 dan pemilu serentak daerah pada 2021.Apabila pemilu eksekutif
dan pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan, secara tidak langsung
telah membatasi setiap orang (termasuk petahana dan
kerabatnya) untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah
satu dari jabatan eksekutif atau anggota legislatif. Baik yang
terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi sama selama lima tahun ke
depan.
Becermin
pada situasi saat ini, pada pemilu legislatif setiap orang "berbondong-bondong"
merebut kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang waktu satu atau dua tahun
kemudian, bagi mereka yang telah mendapatkan kursi di parlemen maupun
yang gagal, tetap bisa melaju ke pilkada untuk pemilihan kepala
daerah. Bagi anggota dewan yang gagal di pilkada, dapat dengan
mudahnya kembali ke "singgasana" parlemennya. Sedangkan,
yang berhasil akan mewariskan kursinya kepada orang lain yang tidak
menutup kemungkinan adalah kerabatnya sendiri.
Pemilu
serentak daerah mendorong setiap parpol untuk membangun koalisi besar
sejak awal. Dengan pertimbangan: hasil keterpilihan calon anggota
legislatif otomatis akan memengaruhi keterpilihan calon kepala daerah.
Sehingga, pada gilirannya nanti, pascapemilu akan terbentuk blocking politic.
Pihak koalisi yang menduduki kursi parlemen sekaligus menguasai jabatan
kepala daerah, dan pihak oposisi sebagai pihak yang gagal meraih jabatan
kepala daerah yang menjadi kelompok minor di parlemen.
Konsekuensi
logisnya adalah, koalisi parpol yang menang pemilu serentak nasional
tahun 2019 tentunya harus `dipaksa' bekerja maksimal agar dapat terpilih
di pemilu serentak daerah tahun 2021. Berbeda dengan sekarang, tidak
jarang koalisi parpol menolak melaksanakan kebijakan yang seharusnya
dilakukan.
Masih
ingatkah Anda dengan ulah PKS dengan "koalisi kodok"-nya yang
membelot dari kesepakatan koalisi untuk menolak kenaikan harga BBM? Di
lain sisi, objektivitas publik dalam menilai calon-calon pemimpin daerah
akan lebih meningkat. Karena munculnya calon-calon dari kerabat incumbent akan `aneh' di mata
publik dan tentunya akan berimplikasi negatif terhadap peluang
keterpilihan.
Namun,
penyelenggaraan pemilu serentak tidak terlepas dari beragam kendala, terutama
kendala teknis. Penyelenggara pemilu nantinya akan disibukkan dengan
persiapan administrasi seperti logistik, keamanan, dan lain sebagainya karena
pemilu dilaksanakan pada hari yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia.
Langkah
tepat yang bisa kita lakukan sekarang adalah advokasi secara komprehensif
agar ketentuan-ketentuan yang menunjang penyelenggaraan pemilu serentak
dimuat dalam UU Pilkada. Tentunya, langah perubahan tersebut dimulai dari
RUU Pilkada usulan pemerintah yang sekarang masih digodok oleh panitia
kerja (panja) DPR.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu serentak nasional secara
umum dan pemilu serentak daerah secara khusus adalah langkah positif.
Terobosan itu sebagai penangkal langgengnya kekuasaan dinasti
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar