Minggu, 21 April 2013

Penangkal Dinasti Politik


Penangkal Dinasti Politik
Ibnu Setyo Hastomo ;  Peneliti Hukum Perludem
REPUBLIKA, 20 April 2013


Blood is thicker than water (darah lebih kental daripada air). Doktrin politik kuno tersebut sangat selaras apabila kita sandingkan dengan fenomena dinasti politik yang sedang "menjangkiti" banyak kepala daerah di Indonesia. Dinasti politik dapat dimaknai sebagai pendistribusian kekuasaan antaranggota keluarga sedarah. Fenomena ini sangat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 

Pertama, dinasti politik merupakan cara melanggengkan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi: apabila gubernur X telah habis masa jabatannya, dan digantikan anak, keponakan, atau kerabat lainnya. Fenomena ini akan memperlebar indikasi penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, kesenjangan kontestasi politik. Sebagai misal, keluarga incumbent yang maju akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dengan segala akses atau jaringan incumbent untuk memperbesar peluang menang dalam pemilihan. 

Ketiga, memperbesar peluang manipulasi politik. Para kerabat dianggap lebih dapat dipercaya dan sedikit kemungkinan melakukan pengkhianatan. Para calon kepala daerah tentunya akan cenderung berpihak kepada political privileges keluarga, bukan kepada political credentials kemampuan mereka sendiri.

Merujuk data Kemendagri, terdapat 57 kepala daerah yang sedang membangun dinasti politik. Pada banyak pembahasan dijumpai ragam solusi untuk meruntuhkan dinasti politik ke- pala daerah. Salah satunya pada RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan oleh pemerintah.
Pemerintah dalam RUU Pilkada melarang kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri sebelum melalui jeda satu periode jabatan (5 tahun) sejak kerabatnya menjadi kepala daerah. Ketentuan tersebut dituangkan pada Pasal 12 Ayat 1 huruf p.

Apabila dicermati lebih intens, solusi yang ditawarkan pemerintah adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945. Negara memberikan perlakuan yang sama dalam pemerintahan untuk setiap WNI, dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai hak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Seharusnya, penekanannya bukan kepada pasal, tetapi kepada mekanisme perekrutan calon. Yaitu, kaderisasi internal yang baik melalui pemilihan pendahuluan dan keputusan terakhir bukan pada ketua umum, tetapi pada rapat anggota. 

Pemilu serentak Pemilihan umum (pemilu) serentak dapat dimaknai sebagai penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif pada satu hari yang sama. Gagasan pemilu serentak diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu nasional dan daerah. Pemilu serentak tingkat nasional untuk memilih calon presiden beserta wakil, anggota DPR, dan anggota DPD yang diselenggarakan pada tahun pertama dari siklus lima tahunan. Sedangkan, pemilu serentak tingkat daerah diselenggarakan untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD pada tahun ketiga. 

Berdasarkan perhitungan Perludem, pemilu serentak nasional dapat diselenggarakan pada tahun 2019 dan pemilu serentak daerah pada 2021.Apabila pemilu eksekutif dan pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan, secara tidak langsung telah membatasi setiap orang (termasuk petahana dan kerabatnya) untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu dari jabatan eksekutif atau anggota legislatif. Baik yang terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi sama selama lima tahun ke depan. 

Becermin pada situasi saat ini, pada pemilu legislatif setiap orang "berbondong-bondong" merebut kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang waktu satu atau dua tahun kemudian, bagi mereka yang telah mendapatkan kursi di parlemen maupun yang gagal, tetap bisa melaju ke pilkada untuk pemilihan kepala daerah. Bagi anggota dewan yang gagal di pilkada, dapat dengan mudahnya kembali ke "singgasana" parlemennya. Sedangkan, yang berhasil akan mewariskan kursinya kepada orang lain yang tidak menutup kemungkinan adalah kerabatnya sendiri.

Pemilu serentak daerah mendorong setiap parpol untuk membangun koalisi besar sejak awal. Dengan pertimbangan: hasil keterpilihan calon anggota legislatif otomatis akan memengaruhi keterpilihan calon kepala daerah. Sehingga, pada gilirannya nanti, pascapemilu akan terbentuk blocking politic.
Pihak koalisi yang menduduki kursi parlemen sekaligus menguasai jabatan kepala daerah, dan pihak oposisi sebagai pihak yang gagal meraih jabatan kepala daerah yang menjadi kelompok minor di parlemen. 

Konsekuensi logisnya adalah, koalisi parpol yang menang pemilu serentak nasional tahun 2019 tentunya harus `dipaksa' bekerja maksimal agar dapat terpilih di pemilu serentak daerah tahun 2021. Berbeda dengan sekarang, tidak jarang koalisi parpol menolak melaksanakan kebijakan yang seharusnya dilakukan. 

Masih ingatkah Anda dengan ulah PKS dengan "koalisi kodok"-nya yang membelot dari kesepakatan koalisi untuk menolak kenaikan harga BBM? Di lain sisi, objektivitas publik dalam menilai calon-calon pemimpin daerah akan lebih meningkat. Karena munculnya calon-calon dari kerabat incumbent akan `aneh' di mata publik dan tentunya akan berimplikasi negatif terhadap peluang keterpilihan.

Namun, penyelenggaraan pemilu serentak tidak terlepas dari beragam kendala, terutama kendala teknis. Penyelenggara pemilu nantinya akan disibukkan dengan persiapan administrasi seperti logistik, keamanan, dan lain sebagainya karena pemilu dilaksanakan pada hari yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia.

Langkah tepat yang bisa kita lakukan sekarang adalah advokasi secara komprehensif agar ketentuan-ketentuan yang menunjang penyelenggaraan pemilu serentak dimuat dalam UU Pilkada. Tentunya, langah perubahan tersebut dimulai dari RUU Pilkada usulan pemerintah yang sekarang masih digodok oleh panitia kerja (panja) DPR.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu serentak nasional secara umum dan pemilu serentak daerah secara khusus adalah langkah positif. Terobosan itu sebagai penangkal langgengnya kekuasaan dinasti politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar