Minggu, 21 April 2013

Istri sebagai Bagian Iman Suami


Istri sebagai Bagian Iman Suami
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 21 April 2013



Hari Kamis, 28 Maret 2013, pukul 3.30 pagi, saya menonton CNN. Diberitakan di sana seorang guru perempuan di Peshawar, Pakistan, ditembak mati di depan anak laki-lakinya (14 tahun). 

Dua pembunuh berkendaraan sepeda motor tiba-tiba saja datang dari belakang dan memuntahkan tiga peluru ke kepala korban. Pelakunya diduga Taliban. Pada tahun 2012, seorang aktivis perempuan yang masih pelajar sekolah bernama Malala (umur 13 tahun) juga diberondong peluru di kepalanya oleh (diduga) Taliban, pada saat pulang dari sekolah, masih dalam bus sekolahnya. Kejadiannya di Mingora, kota kediaman Malala dan keluarganya, di Distrik Swat, Provinsi Khyber Pakhtunkha, Pakistan. 

Alasan penembakan oleh Taliban pada kedua perempuan itu hanya karena keduanya gigih menyerukan pendidikan untuk anak perempuan dan itu diharamkan menurut Islam versi Taliban, yang memang penguasa di wilayah itu. Beruntung Malala selamat, walaupun koma beberapa hari. Ia bisa sembuh setelah dirawat di Inggris. Sekarang dia melanjutkan pelajarannya di Inggris dan menjadi salah satu calon pemenang hadiah Nobel. Di Indonesia, sejak zaman RA Kartini sampai sekarang belum ada perempuan aktivis pembela wanita yang secara vulgar ditembak kepalanya. 

Beruntung RA Kartini hidup di Indonesia awal abad XX. Beliau wafat pada usia 20-an karena melahirkan. Jika RA Kartini hidup di Peshawar masa kini, nasibnya tidak akan sebaik itu. Pertanyaan kita, apakah kita akan biarkan Kartini- Kartini yang hidup di Indonesia di masa yang akan datang mengalami nasib seperti Ibu Guru dan Malala?
Banyak pengamatan klinis (psikologi) dan penelitian yang membuktikan bahwa walaupun Indonesia sudah mempunyai UU Nomor 23/2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), KDRT masih terus saja terjadi. Korbannya anak-anak, dan perempuan. Baru-baru ini dikabarkan seorang suami membunuh istrinya sendiri karena sering merengek minta uang, atau suami membakar istrinya sendiri karena cemburu. Biasanya tetangga bukannya tidak tahu. Sejak lama para tetangga itu mendengar jika kedua suamiistri itu sedang ribut. Tetapi mereka enggan ikut campur karena mereka anggap pertengkaran suami-istri adalah masalah domestik. Tahu-tahu sang istri sudah menjadi mayat. 

Jadi masyarakat pun membiarkan, walaupun sudah diamanatkan dalam UU Nomor 23/2004 tersebut di atas bahwa tetangga, jika mengetahui ada hal-hal yang tidak lazim di suatu rumah tangga, diperbolehkan untuk mengintervensi, dalam arti masuk ke rumah yang bersangkutan dan bertanya, “Ada masalah apa?” Kalau perlu dibantu ketua RT. Namun, yang tidak kalah seriusnya adalah pernyataan Ketua Umum Partai Bulan Bintang( PBB), Profesor Yusril Ihza Mahendra, bahwa saat ini sulit sekali mencari calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014. 

Stock-nya terbatas, bahkan langka (perempuan yang memenuhi kriteria sebagai bakal calon anggota legislatif). Karenanya, Yusril menuntut agar KPU lebih fleksibel dengan menurunkan kuota kurang dari 30%. Atau lebih baik lagi, tidak usah pakai jatah-jatahan perempuan sekian persen, laki-laki sekian persen. Persaingan bebas saja. Tetapi kalau dibiarkan persaingan bebas tanpa pengawalan, kita akan kembali ke era diskriminasi zaman pra-Kartini, sebab gagasan untuk memasukkan minimum 30% anggota DPR harus perempuan itu dasarnya untuk memberdayakan perempuan itu sendiri. 

Politik adalah sektor di dalam masyarakat, dimanakeputusankeputusan yang menyangkut kepentingan publik dipertimbangkan dan diputuskan. Tanpa wakil dalam jumlah yang memadai di DPR, nasib perempuan di negeri ini akan tetap begitu-begitu saja, malah akan tambah parah, seperti yang sudah kita saksikan dalam perkawinan Syech Puji yang mengawini anak kecil beberapa tahun lalu di Semarang dan Bupati Garut Aceng yang juga mengawini anak perempuan di bawah umur baru-baru ini (2013). Jadi kita perlu jaga terus harkat wanita setinggi mungkin di mata laki-laki. 

Ancaman bisa datang dari mana-mana. Bukan saja dari dunia politik yang selama ini didominasi laki-laki, tetapi juga dari perilaku penganut agama yang makin lama makin radikal, makin eksklusif, makin tidak bersahabat dengan golongan lain yang tidak termasuk dalam kelompok mereka sendiri. Kalau mayoritas umat Islam Indonesia, dan umat agama lain mendiamkan saja (malas ributribut), bukannya tidak mungkin golongan minoritas radikal tetapi vokal, akan mengambil alih kepemimpinan yang menentukan arah kebudayaan kita. 

Kalau mereka membawa masyarakat kita terus ke alam radikal dan kita-kita yang lain terus mendiamkan, bukan tidak mungkin ada Kartini- Kartini lain di masa yang akan datang di Indonesia yang tibatiba ditembak kepalanya seperti Malala dan Ibu Guru yang malang itu. Tetapi harga dari perjuangan membela harkat itu mahal. Bahkan mahal sekali. Korbannya adalah anak-anak dari suami-istri yang bercerai. Selama perempuan selalu menurut saja dalam lembaga perkawinan, walaupun sampai suaminya beristri sembilan seperti Pak Subur, tidak akan terjadi perceraian (bahkan istri-istri itu rundingan siapa yang giliran memasak). 

Atau kalau perempuan-perempuan itu sudah begitu independennya, sehingga tidak perlu lembaga perkawinan lagi (mau kawin, mau enggak, sukasuka gua!), maka juga tidak akan terjadi perceraian (kawin saja enggak, mana bisa cerai?). Tetapi dalam masyarakat transisi seperti kita, di mana perkawinan dipandang masih sebagai pranata suci yang perlu dijunjung tinggi, sementara perempuan (baca: istri) sudah jauh lebih mandiri, maka perselisihan paham antara suami-istri tidak bisa dihindari. 

Ujungnya boleh jadi perceraian. Anakanak pun bingung, galau, gangguan emosi dan seterusnya, padahal anak-anak inilah yang akan meneruskan perjuangan derajat perempuan di masa depan. Maka, untuk menghindari itu semua, laki-laki pun harus berubah: menjadi laki-laki yang tidak tradisional dan konvensional (kata orang Jawa: swarga nunut, neraka katut), melainkan laki-laki yang mendengarkan istrinya, sabar dan berempati pada istri. Suami yang tetap menjadi imam keluarga, tetapi istrinya adalah bagian dari imannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar