Hari Kamis, 28 Maret 2013, pukul 3.30
pagi, saya menonton CNN. Diberitakan di sana seorang guru perempuan di
Peshawar, Pakistan, ditembak mati di depan anak laki-lakinya (14 tahun).
Dua pembunuh berkendaraan sepeda motor tiba-tiba saja datang dari
belakang dan memuntahkan tiga peluru ke kepala korban. Pelakunya diduga
Taliban. Pada tahun 2012, seorang aktivis perempuan yang masih pelajar sekolah
bernama Malala (umur 13 tahun) juga diberondong peluru di kepalanya oleh
(diduga) Taliban, pada saat pulang dari sekolah, masih dalam bus
sekolahnya. Kejadiannya di Mingora, kota kediaman Malala dan keluarganya,
di Distrik Swat, Provinsi Khyber Pakhtunkha, Pakistan.
Alasan penembakan oleh Taliban pada kedua perempuan itu hanya karena
keduanya gigih menyerukan pendidikan untuk anak perempuan dan itu diharamkan
menurut Islam versi Taliban, yang memang penguasa di wilayah itu.
Beruntung Malala selamat, walaupun koma beberapa hari. Ia bisa sembuh
setelah dirawat di Inggris. Sekarang dia melanjutkan pelajarannya di
Inggris dan menjadi salah satu calon pemenang hadiah Nobel. Di Indonesia,
sejak zaman RA Kartini sampai sekarang belum ada perempuan aktivis
pembela wanita yang secara vulgar ditembak kepalanya.
Beruntung RA Kartini hidup di Indonesia awal abad XX. Beliau wafat pada
usia 20-an karena melahirkan. Jika RA Kartini hidup di Peshawar masa
kini, nasibnya tidak akan sebaik itu. Pertanyaan kita, apakah kita akan
biarkan Kartini- Kartini yang hidup di Indonesia di masa yang akan datang
mengalami nasib seperti Ibu Guru dan Malala?
Banyak pengamatan klinis (psikologi) dan
penelitian yang membuktikan bahwa walaupun Indonesia sudah mempunyai UU
Nomor 23/2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
KDRT masih terus saja terjadi. Korbannya
anak-anak, dan perempuan. Baru-baru ini dikabarkan seorang suami membunuh
istrinya sendiri karena sering merengek minta uang, atau suami membakar
istrinya sendiri karena cemburu. Biasanya tetangga bukannya tidak tahu.
Sejak lama para tetangga itu mendengar jika kedua suamiistri itu sedang
ribut. Tetapi mereka enggan ikut campur karena mereka anggap pertengkaran
suami-istri adalah masalah domestik. Tahu-tahu sang istri sudah menjadi
mayat.
Jadi masyarakat pun membiarkan, walaupun sudah diamanatkan dalam UU Nomor
23/2004 tersebut di atas bahwa tetangga, jika mengetahui ada hal-hal yang
tidak lazim di suatu rumah tangga, diperbolehkan untuk mengintervensi,
dalam arti masuk ke rumah yang bersangkutan dan bertanya, “Ada masalah apa?” Kalau perlu
dibantu ketua RT. Namun, yang tidak kalah seriusnya adalah pernyataan
Ketua Umum Partai Bulan Bintang( PBB), Profesor Yusril Ihza Mahendra,
bahwa saat ini sulit sekali mencari calon anggota legislatif untuk Pemilu
2014.
Stock-nya terbatas, bahkan langka (perempuan yang memenuhi kriteria
sebagai bakal calon anggota legislatif). Karenanya, Yusril menuntut agar
KPU lebih fleksibel dengan menurunkan kuota kurang dari 30%. Atau lebih
baik lagi, tidak usah pakai jatah-jatahan perempuan sekian persen,
laki-laki sekian persen. Persaingan bebas saja. Tetapi kalau dibiarkan
persaingan bebas tanpa pengawalan, kita akan kembali ke era diskriminasi
zaman pra-Kartini, sebab gagasan untuk memasukkan minimum 30% anggota DPR
harus perempuan itu dasarnya untuk memberdayakan perempuan itu sendiri.
Politik adalah sektor di dalam masyarakat, dimanakeputusankeputusan yang
menyangkut kepentingan publik dipertimbangkan dan diputuskan. Tanpa wakil
dalam jumlah yang memadai di DPR, nasib perempuan di negeri ini akan
tetap begitu-begitu saja, malah akan tambah parah, seperti yang sudah
kita saksikan dalam perkawinan Syech Puji yang mengawini anak kecil
beberapa tahun lalu di Semarang dan Bupati Garut Aceng yang juga
mengawini anak perempuan di bawah umur baru-baru ini (2013). Jadi kita
perlu jaga terus harkat wanita setinggi mungkin di mata laki-laki.
Ancaman bisa datang dari mana-mana. Bukan saja dari dunia politik yang
selama ini didominasi laki-laki, tetapi juga dari perilaku penganut agama
yang makin lama makin radikal, makin eksklusif, makin tidak bersahabat
dengan golongan lain yang tidak termasuk dalam kelompok mereka sendiri.
Kalau mayoritas umat Islam Indonesia, dan umat agama lain mendiamkan saja
(malas ributribut), bukannya tidak mungkin golongan minoritas radikal
tetapi vokal, akan mengambil alih kepemimpinan yang menentukan arah
kebudayaan kita.
Kalau mereka membawa masyarakat kita terus ke alam radikal dan kita-kita
yang lain terus mendiamkan, bukan tidak mungkin ada Kartini- Kartini lain
di masa yang akan datang di Indonesia yang tibatiba ditembak kepalanya
seperti Malala dan Ibu Guru yang malang itu. Tetapi harga dari perjuangan
membela harkat itu mahal. Bahkan mahal sekali. Korbannya adalah anak-anak
dari suami-istri yang bercerai. Selama perempuan selalu menurut saja
dalam lembaga perkawinan, walaupun sampai suaminya beristri sembilan
seperti Pak Subur, tidak akan terjadi perceraian (bahkan istri-istri itu
rundingan siapa yang giliran memasak).
Atau kalau perempuan-perempuan itu sudah begitu independennya, sehingga
tidak perlu lembaga perkawinan lagi (mau kawin, mau enggak, sukasuka
gua!), maka juga tidak akan terjadi perceraian (kawin saja enggak, mana
bisa cerai?). Tetapi dalam masyarakat transisi seperti kita, di mana
perkawinan dipandang masih sebagai pranata suci yang perlu dijunjung
tinggi, sementara perempuan (baca: istri) sudah jauh lebih mandiri, maka
perselisihan paham antara suami-istri tidak bisa dihindari.
Ujungnya boleh jadi perceraian. Anakanak pun bingung, galau, gangguan
emosi dan seterusnya, padahal anak-anak inilah yang akan meneruskan
perjuangan derajat perempuan di masa depan. Maka, untuk menghindari itu
semua, laki-laki pun harus berubah: menjadi laki-laki yang tidak
tradisional dan konvensional (kata orang Jawa: swarga nunut, neraka katut), melainkan laki-laki yang
mendengarkan istrinya, sabar dan berempati pada istri. Suami yang tetap
menjadi imam keluarga, tetapi istrinya adalah bagian dari imannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar