Sinetron
Islami kini marak di layar televisi Indonesia. Sinetron yang mengaku
beraroma Islami itu mengusung simbol-simbol agama dalam inti ceritanya.
Namun, beberapa sinetron yang menggunakan terminologi Islam itu ternyata
isi, jalan cerita, dan permainan tokohnya justru tidak Islami.
Beberapa
sinetron berlabel Islami menuai protes masyarakat, termasuk dari Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia (ROL, 18/4). Beberapa sinetron tersebut
bertajuk Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Haji Medit (SCTV), Islam KTP
(RCTI), Ustad Fotocopy (SCTV). Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah
menegur stasiun televisi yang menayangkan program tersebut. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga sedang mengkaji.
Merendahkan Simbol Islam
Dalam
beberapa sinetron Islami, muncul sosok "pak haji" atau
ustaz. Dalam kehidupan masyarakat Islam, sosok haji atau da'i merupakan sosok
terhormat. Namun, apa yang terjadi dengan penampilan figur haji atau
ustaz dalam sinetron kita?
Ternyata tokoh panutan umat Islam tersebut di
gambarkan sebagai sosok yang menebar kejelekan. Sebut
saja tokoh Haji Muhidin dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang telah
mencapai lebih dari 500 episode itu. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok
yang jelek, pelit, suka ngomongin orang, suka suudzhon, dan ribut melulu
dengan sesama Muslim. Dalam sinetron Haji Medit yang ditayangkan SCTV,
sosok haji yang diperankan Jarwo Kuat itu juga ditampilkan sebagai
seorang haji yang buruk.
Tayangan
sinetron-sinetron tersebut telah memunculkan persepsi jelek tentang tokoh
panutan dalam Islam. Sosok haji atau ustaz selama ini merupakan
representasi sosok panutan. Sementara, dalam tampilan sinetron, image
baik seorang haji atau ustaz seakan telah sirna. Haji sebagai simbol
panutan di masyarakat telah terdegradasi citranya.
MUI
menilai tayangan sinetron penokohan "pak haji" berkarakter
buruk itu sepertinya berusaha mencekoki masyarakat agar muncul penilaian
bahwa tokoh agama yang menjadi panutan di Islam, seperti "pak haji",
selalu berperangai tidak baik. Penulis cerita dan sutradara sinetron
memang harus memainkan tokoh protagonis (tokoh baik) dan antagonis (tokoh
jahat). Salah satu personifikasi tokoh baik adalah sosok haji atau
ustaz. Sehingga, haji atau ustaz lebih tepat berada di posisi protagonis,
bukan sebaliknya. Hal ini juga sangat terkait dengan apa yang telah
menjadi kepatutan di masyarakat.
Namun,
di mata produser, sutradara, dan penulis cerita sepertinya punya logika
sendiri. Tidak jarang guna menarik dan menuai simpati pemirsa, sang tokoh
dibikin unik, nyentrik, dan terkadang kontroversial. Para kreator
sinetron lupa bahwa menjungkirbalikkan simbol baik ditampikan buruk atau
yang hitam ditampilkan putih justru bisa membawa petaka.
Neil
Postman dalam bukunya yang sangat terkenal, Amusing Ourselves to Death (1985) mengingatkan bahwa yang
menjadi bahaya bukanlah perihal agama menjadi substansi acara televisi,
melainkan acara televisi yang justru menjadi substansi agama. Program
religi lebih menonjolkan unsur entertain-nya ketimbang mengajak penonton
berpikir dan merenung.
James
Potter dalam bukunya yang berjudul Media
Literacy (Potter, 2001) mengatakan bahwa media literacy
adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu
mengakses media dengan tujuan memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
Intinya adalah bagaimana konsumen media kritis terhadap isi pesan yang
sedang dikonsumsi.
Gerakan
literasi media muncul sebagai bentuk kekhawatiran akan pengaruh media
yang lebih berdampak buruk bagi masyarakat. Di samping itu, dengan
kemampuan melek media masyarakat, maka kekuatan pemilik dan pelaku media
bisa lebih dikontrol. Sehingga, kekuatan antara media dan masyarakat
konsumen media bisa berimbang.
Ada
beberapa prinsip yang harus dimengerti agar pemahaman terhadap literasi media
televisi dapat lebih komprehensif. Penonton televisi harus sadar bahwa
isi tayangan televisi merupa kan hasil konstruksi dan televisi
merepresentasikan konstruksi realitas. Bahwa konstruksi televisi
mempunyai tujuan komersial, isi pesan media mempunyai muatan nilai dan
ideologi. Di samping itu, isi televisi tidak terlepas dari muatan sosial
dan politik.
Menonton
program sinetron Islami di televisi ternyata tidak aman. Munculnya
sinetron Islami telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Program yang
ideal nya bisa dibuat sebagai sarana syiar Islam justru telah ternoda.
Televisi telah memanfaatkan keperkasaannya lebih untuk meracuni
masyarakat, bukan mencerdaskan dan memberdayakannya.
Menyimak
beberapa tayangan Islami di televisi yang menampilkan ketidakpatutan,
maka penonton harus waspada. Upaya konkret yang bisa dilakukan masyarakat
adalah mematikan televisi atau tidak menonton acara televisi yang
buruk. Ini cara jitu agar tayangan berkualitas jelek akan mati
dengan sendirinya. Karena, ketika sebuah acara tidak lagi ada
penontonnya, maka acara itu akan sulit dijual kepada pengiklan dan iklan
adalah nyawa bagi hidup-mati televisi komersial kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar