Pemerintah tengah mengikuti
ujian negara (UN) SMA. Pemerintah tetap menjadikan UN sebagai opsi
evaluasi prestasi peserta didik meski sudah mendapatkan kritik keras dari
masyarakat. UN memang sepertinya masih dijadikan sebagai kartu mati oleh
pemerintah untuk menentukan standar kualitas pendidikan.
Pemerintah menempatkan UN
selain sebagai obyek munajatnya untuk mengabsahkan gengsi pendidikan
nasional, juga untuk mempragmatismekan kinerjanya di bidang pembangunan
pendidikan dengan standar formalisme. Kalau UN terus dipertahankan, maka
prestasi formalisme edukasi gampang dinilai, meski kesejatian filosofis
dan esoterisme edukasi belum diperoleh.
Kokohnya diskresi pemerintah
terhadap UN itu dapat direlasikan dengan beberapa aspek. Pertama,
'pemekaran' kebijakan pemerintah terhadap UN yang tidak hanya berlaku
untuk SMU dan SMP, tetapi juga anak-anak tingkat dasar (SD), meski konon
di tahun mendatang, UN untuk SD ditiadakan.
Peserta didik di tingkat
dasar itu ikut dijadikan 'proyek' pemberlakuan UN. Dalihnya tetap pada
masalah standar peningkatan mutu lulusan atau uji kelayakan out put
pendidikan nasional. Meski pemerintah berdalih kalau pola penyelenggaraan
UN untuk anak SD berbeda dengan usia anak-anak didik ini.
Kedua, pemekaran jumlah mata
ujian yang harus diikuti oleh anak didik juga menjadi diskresi penguat
pelanggengan UN. Di tingkat SMP yang semula tiga mata ujian (Bahasa
Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika), sekarang menjadi empat mata ujian
(Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, matematika, dan IPA). Sedangkan SMU
yang semula tiga mata ujian membengkak menjadi enam mata ujian. Pemekaran
ini menjadi penguatan status keberlanjutan UN.
Ketiga, pengamanan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga kerahasiaan soal-soal UN, yang
antara lain dengan mempercayakannya pada aparat kepolisian karena selama
ini mengalami kebocoran. Namun, toh ternyata dugaan pembocoran naskah
soal UN, tetap terjadi. Tahun lalu, sejumlah peserta ujian tertangkap
basah membawa foto kopi lembar jawaban UN. Kasus demikian mengisyaratkan,
bahwa UN telah mengundang pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakannya
sebagai ajang 'pelacuran ilmiah' maupun pengabsahan gengsi institusi.
Keempat, peserta yang memilih
mundur dari UN dari tahun ke tahun semakin banyak. Ketika beberapa anak
didik yang mundur atau keluarganya ini ditanya alasannya mengapa mundur
atau tak mengikuti UN, mereka menjawabnya secara enteng dan pragmatis,
yakni tidak ada biaya melanjutkan sekolah lebih tinggi dan tak mampu
mengerjakan soal-soal UN.
Meski anak didik yang
menjatuhkan drop out jelang UN tidak sedikit, pemerintah paling-paling
menjadikannya sebatas sebagai kasus spesial (tersendiri), yang tidak
berhubungan signifikan dengan UN, melainkan pada aspek sosial-ekonomi.
Pemerintah akan mengklaim bahwa akar masalahnya bukan pada UN, namun
kemiskinan yang perlu ditanggulangi dengan opsi lain, sehingga bukan UN
yang dipersoalkan, tetapi problem akut kemiskinan di negeri ini.
Kelima, beberapa kali try out UN tahun ini yang tidak
memenuhi target atau angka yang diraih anak-anak selama uji coba UN tidak
sesuai dengan limit yang ditentukan pemerintah. Uji coba UN yang tak
sesuai harapan inipun hanya dijawab oleh pemerintah kalau uji coba itu memang
tak sama dengan 'pertandingan' yang sebenarnya, layaknya pertandingan
persahabatan dalam dunia sepakbola, yang tak sama hasilnya dengan
pertandingan yang sebenarnya. Hasil try
out, tidak bisa dijadikan apologi mengeliminasi diskresi UN.
Keenam, ada sejumlah anak
didik yang meninggal dunia saat mengerjakan soal UN, tetapi tidak
menggoyahkan pemerintah untuk membatalkan UN, karena meninggal dunia
dalam UN tidaklah urusan penyelenggara UN, tetapi akibat kondisi fisik
anak yang tidak terjaga dengan baik.
Ketujuh, fenomena ke
paranormal, dukun, atau mengadakan istighastah yang tertuju secara khusus
pada UN, yang ditempuh oleh pihak sekolah, anak didik, atau orang tua.
Orang tua atau keluarga yang mendukunkan anaknya supaya lulus UN berarti
menempuh cara irasionalitas dan disobyektivitas. Cara irasional
dipilihnya untuk menghadapi 'ancaman' ketidaklulusan atau prestasi jeblok
yang mungkin diperoleh anak didiknya.
Oleh pemerintah, tampaknya
UN masih diperlakukan sebagai "pemanis" dunia pendidikan,
sementara di mata masyarakat, UN tidak ubahnya instrumen represif yang
membuat masyarakat atau siswa tergiring dalam pergulatan emosi,
rasionalitas, dan irasionalitasnya.
Pemerintah mengambil jalan
sebagai penghakim yang mengemas dirinya tak ubahnya king no wrongs, sedangkan masyarakat dan siswa memperlakukan
UN sebagai kartu mati yang menentukan derajat sosial dan masa depannya di
tengah kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, di samping sebagai bagian
dari resiko logis berkompetisi di jagat edukasi.
Jalan itu menjadi makin
sulit bertemu akibat egoisme dan eksklusifisme yang dikonstruksi oleh
pemerintah sendiri. Masyarakat sampai sekarang masih sebagai obyek
pemberlakuan kebijakan, sehingga kata akhir yang menentukan tetaplah
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang bercorak memperkuat UN ini saja
misalnya sudah membuktikan, bahwa pemerintah tetap menjadikan UN sebagai
jalur istimewa untuk mengukur kualitas pendidikan.
Sekarang terserah
pemerintah, mau dibawa kemana lagi peserta didik negeri ini paska
penyelenggaraan UN 2013 ini? Apakah kehadiran kurikulum 2013 malahan akan
memperkuat SOP UN pada tahun mendatang ataukah menghentikan UN sebagai
model evaluasi mutlaknya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar