Selasa, 16 April 2013

Pelanggengan UN


Pelanggengan UN
Fitrotul Maulidiyah   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
SUARA KARYA, 16 April 2013
  

Pemerintah tengah mengikuti ujian negara (UN) SMA. Pemerintah tetap menjadikan UN sebagai opsi evaluasi prestasi peserta didik meski sudah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. UN memang sepertinya masih dijadikan sebagai kartu mati oleh pemerintah untuk menentukan standar kualitas pendidikan.

Pemerintah menempatkan UN selain sebagai obyek munajatnya untuk mengabsahkan gengsi pendidikan nasional, juga untuk mempragmatismekan kinerjanya di bidang pembangunan pendidikan dengan standar formalisme. Kalau UN terus dipertahankan, maka prestasi formalisme edukasi gampang dinilai, meski kesejatian filosofis dan esoterisme edukasi belum diperoleh.

Kokohnya diskresi pemerintah terhadap UN itu dapat direlasikan dengan beberapa aspek. Pertama, 'pemekaran' kebijakan pemerintah terhadap UN yang tidak hanya berlaku untuk SMU dan SMP, tetapi juga anak-anak tingkat dasar (SD), meski konon di tahun mendatang, UN untuk SD ditiadakan. 

Peserta didik di tingkat dasar itu ikut dijadikan 'proyek' pemberlakuan UN. Dalihnya tetap pada masalah standar peningkatan mutu lulusan atau uji kelayakan out put pendidikan nasional. Meski pemerintah berdalih kalau pola penyelenggaraan UN untuk anak SD berbeda dengan usia anak-anak didik ini.

Kedua, pemekaran jumlah mata ujian yang harus diikuti oleh anak didik juga menjadi diskresi penguat pelanggengan UN. Di tingkat SMP yang semula tiga mata ujian (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika), sekarang menjadi empat mata ujian (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, matematika, dan IPA). Sedangkan SMU yang semula tiga mata ujian membengkak menjadi enam mata ujian. Pemekaran ini menjadi penguatan status keberlanjutan UN.

Ketiga, pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga kerahasiaan soal-soal UN, yang antara lain dengan mempercayakannya pada aparat kepolisian karena selama ini mengalami kebocoran. Namun, toh ternyata dugaan pembocoran naskah soal UN, tetap terjadi. Tahun lalu, sejumlah peserta ujian tertangkap basah membawa foto kopi lembar jawaban UN. Kasus demikian mengisyaratkan, bahwa UN telah mengundang pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakannya sebagai ajang 'pelacuran ilmiah' maupun pengabsahan gengsi institusi.

Keempat, peserta yang memilih mundur dari UN dari tahun ke tahun semakin banyak. Ketika beberapa anak didik yang mundur atau keluarganya ini ditanya alasannya mengapa mundur atau tak mengikuti UN, mereka menjawabnya secara enteng dan pragmatis, yakni tidak ada biaya melanjutkan sekolah lebih tinggi dan tak mampu mengerjakan soal-soal UN.

Meski anak didik yang menjatuhkan drop out jelang UN tidak sedikit, pemerintah paling-paling menjadikannya sebatas sebagai kasus spesial (tersendiri), yang tidak berhubungan signifikan dengan UN, melainkan pada aspek sosial-ekonomi. Pemerintah akan mengklaim bahwa akar masalahnya bukan pada UN, namun kemiskinan yang perlu ditanggulangi dengan opsi lain, sehingga bukan UN yang dipersoalkan, tetapi problem akut kemiskinan di negeri ini.

Kelima, beberapa kali try out UN tahun ini yang tidak memenuhi target atau angka yang diraih anak-anak selama uji coba UN tidak sesuai dengan limit yang ditentukan pemerintah. Uji coba UN yang tak sesuai harapan inipun hanya dijawab oleh pemerintah kalau uji coba itu memang tak sama dengan 'pertandingan' yang sebenarnya, layaknya pertandingan persahabatan dalam dunia sepakbola, yang tak sama hasilnya dengan pertandingan yang sebenarnya. Hasil try out, tidak bisa dijadikan apologi mengeliminasi diskresi UN.

Keenam, ada sejumlah anak didik yang meninggal dunia saat mengerjakan soal UN, tetapi tidak menggoyahkan pemerintah untuk membatalkan UN, karena meninggal dunia dalam UN tidaklah urusan penyelenggara UN, tetapi akibat kondisi fisik anak yang tidak terjaga dengan baik.
Ketujuh, fenomena ke paranormal, dukun, atau mengadakan istighastah yang tertuju secara khusus pada UN, yang ditempuh oleh pihak sekolah, anak didik, atau orang tua. Orang tua atau keluarga yang mendukunkan anaknya supaya lulus UN berarti menempuh cara irasionalitas dan disobyektivitas. Cara irasional dipilihnya untuk menghadapi 'ancaman' ketidaklulusan atau prestasi jeblok yang mungkin diperoleh anak didiknya.

Oleh pemerintah, tampaknya UN masih diperlakukan sebagai "pemanis" dunia pendidikan, sementara di mata masyarakat, UN tidak ubahnya instrumen represif yang membuat masyarakat atau siswa tergiring dalam pergulatan emosi, rasionalitas, dan irasionalitasnya.

Pemerintah mengambil jalan sebagai penghakim yang mengemas dirinya tak ubahnya king no wrongs, sedangkan masyarakat dan siswa memperlakukan UN sebagai kartu mati yang menentukan derajat sosial dan masa depannya di tengah kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, di samping sebagai bagian dari resiko logis berkompetisi di jagat edukasi.

Jalan itu menjadi makin sulit bertemu akibat egoisme dan eksklusifisme yang dikonstruksi oleh pemerintah sendiri. Masyarakat sampai sekarang masih sebagai obyek pemberlakuan kebijakan, sehingga kata akhir yang menentukan tetaplah pemerintah. Kebijakan pemerintah yang bercorak memperkuat UN ini saja misalnya sudah membuktikan, bahwa pemerintah tetap menjadikan UN sebagai jalur istimewa untuk mengukur kualitas pendidikan.

Sekarang terserah pemerintah, mau dibawa kemana lagi peserta didik negeri ini paska penyelenggaraan UN 2013 ini? Apakah kehadiran kurikulum 2013 malahan akan memperkuat SOP UN pada tahun mendatang ataukah menghentikan UN sebagai model evaluasi mutlaknya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar