Selasa, 16 April 2013

Kegalauan Ujian Nasional


Kegalauan Ujian Nasional
Ali Rif’an   Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Alumnus Program Sekolah Demokrasi
SUARA KARYA, 16 April 2013


Ujian Nasional (UN) 2013, yang kini masih berlangsung mengalami kegalauan. Betapa tidak, UN jenjang sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat yang semestinya digelar serentak hari Senin (15/4) mengalami kendala. Sebanyak 11 provinsi harus menunda UN hanya gara-gara urusan teknis pencetakan soal. Tentu saja, penundaan tersebut menambah catatan buram tentang penyelenggaraan UN selama ini. Mulai dari perkara soal yang bocor, siswa menyontek, guru yang bekerja sama dengan muridnya untuk melakukan kecurangan, ataupun tentang UN yang dianggap tidak adil.

Kita berharap kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), untuk serius mengurus UN. Sebab, ditundanya UN tahun ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara. Kita sepakat dengan hasil survei nasional yang mengatakan bahwa UN perlu tetap dilaksanakan agar kualitas standar pendidikan nasional bisa diukur. Akan tetapi, jika penyelenggaraan UN selalu mendapat kendala, rasa-rasanya ujian yang menjadi 'momok menakutkan' bagi siswa itu perlu ditinjau kembali. Bahkan, mungkin lebih baik UN tak perlu diselenggarakan.

Apalagi, penyelenggaraan UN saat ini juga sudah lemah secara hukum. Pada 2009, misalnya, masyarakat melalui citizen lawsuit pernah melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas pelaksanaan UN. MA mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan UN dihentikan sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. (Media Indonesia, 15/4) Gugatan masyarakat itu beralasan kerena UN selama ini dianggap mendatangkan banyak persoalan.

Pertama, UN membuat beban siswa semakin berat. Masa sekolah yang seharusnya digunakan untuk 'bermain' berubah menjadi masa yang penuh tekanan dan depresi. Secara psikologis, model pembelajaran yang terlalu serius dan penuh tekanan tidaklah sehat. Bahkan, akan membawa siswa stres di usia dini.

Kedua, UN juga dianggap tidak adil, khususnya bagi sekolahan-sekolahan yang ada di daerah. Sebab, logikanya, jika fasilitas pendidikan antara di sekolah perkotaan dengan perdesaan berbeda, kenapa standar nilai kelulusan mesti disamakan? Bukankah siswa di kota akan lebih unggul dibandingkan siswa di pedesaan karena guru mereka lebih kapabel dan fasilitasnya lebih memadai? Logika-logika seperti inilah yang selalu menjadi polemik ketika musim UN tiba.

Ketiga, UN telah membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan rasio, kejujuran, dan kerja keras. Sebagai dampaknya, banyak para siswa kemudian bersikap irasional dalam menanggapi UN, seperti datang ke makam-makam dan melakukan ritual-ritual tertentu agar bisa mendapatkan nilai bagus saat UN.

Keempat, UN telah mendatangkan 'kecurangan berjamaah' yang dilakukan secara sistematis oleh siswa berkerja sama dengan gurunya. Dengan alasan menjaga nama baik almamater, tak jarang guru melakukan berbagai cara untuk membuat para siswanya bisa lulus dalam UN, termasuk menyuruh siswa paling pintar untuk membagi jawaban kepada teman-temannya. Fenomena ini tentu menampar kredibilitas lembaga pendidikan. Sebab, lembaga pendidikan yang seharusnya mendidik anak menjadi orang yang jujur dan mau mengikuti proses, berubah menjadi tempat 'pembohongan' dan mengubah mental anak bersikap instan.

Cetak Koruptor?

Ironisnya, hal itu mendapat dukungan dari pejabat daerah untuk mendongkrak citra daerahnya. Sehingga, ketika menjumpai ketidakjujuran dalam UN, pemerintah daerah setempat seolah pura-pura tidak tahu. Hal ini tentu menyedihkan sekaligus sangat bertentangan dengan amanat penyelenggaraan pendidikan, yang oleh pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966) dimaksudkan, untuk membentuk karakter pribadi anak didik.

Dengan kata lain, jika pendidikan diselenggarakan dengan cara-cara curang, karakter anak didik yang terbentuk sejak dini - dan akan dibawa sampai dewasa kelak - akan curang (buruk) pula. Dengan demikian, selain mendatangkan banyak ketidakjujuran dalam penyelenggaraan, UN juga sangat berpotensi membentuk karakter anak lebih mengagumi nilai-nilai statistik daripada nilai akhlak-moral. Sebagai dampaknya, jika pendidikan hanya difungsikan sekadar untuk mengejar angka-angka, maka generasi Indonesia ke depan adalah orang-orang yang lebih menghargai hasil daripada proses. Ini tentu sangat berbahaya.

Oleh karena itu, sudah saatnya penyelenggaraan UN perlu dievaluasi secara holistik. Pemerintah harus segera melakukan investigasi tentang keterlambatan percetakan soal UN secara serius. Sementara para guru perlu ditanamkan tanggung jawab untuk benar-benar jujur mengawal berjalannya UN.
Ingat, masa depan bangsa sangat bergantung pada generasi terdidik hari ini. Jika hari ini siswa diajari 'menyontek berjamaah', kita khawatir kelak ketika mereka dewasa dan menjadi pejabat negara akan melakukan 'korupsi secara berjamaah' pula. Ini jangan sampai terjadi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar