Situasi
sekarang ini mungkin bisa disebut zaman mandul yang mengenaskan.
Kelihatannya banyak orang pandai dan di antara mereka banyak yang
menunjukkan kesiapan yang tak diragukan untuk menjadi pemimpin.
Dari hampir
semua sektor kehidupan, birokrasi pemerintahan, dunia kampus, birokrasi
partai politik, dunia pergerakan LSM, birokrasi militer, atau polisi,
dunia bisnis, dan sektor khusus, yang isinya kaum profesional, atau dunia
seni, masing-masing memiliki orang, tokoh, yang bisa diajukan untuk
menjadi pemimpin nasional.
Tak
mengherankan mereka dicalonkan setidaknya oleh orang-orangnya sendiri dan
lebih khusus oleh mereka yang punya kepentingan ekonomi-politik yang bisa
diraih melalui proses tersebut. Mereka ini, semua, tanpa kecuali, merasa
bisa menjadi pemimpin, tapi jarang sekali yang bisa merasa bahwa tanpa
suatu kompetensi teknis yang memadai, yang teruji dalam sejarah hidupnya
sendiri, tak mungkin kita mampu menempati posisi itu. Begitulah yang kemudian
terjadi.
Ambisi
segunung itu kempes secara drastis, menjadi tamparan keras di wajah, tapi
itu pun tak dirasakan. Di musim pemilihan lima tahun kemudian, mereka
maju lagi, dengan lebih gegap gempita, tapi kompetensi teknis yang
dipertaruhkan masih sama dengan lima tahun yang lalu. Jadi, persyaratan
utama, yang sangat penting itu, dan boleh jadi yang membuatnya keok lima
tahun lalu, tak diperbaiki sama sekali.
Satu-satunya
yang menonjol hanya foto besar, yang dibuat di suatu studio, dan dipajang
di semua tempat strategis, atau tempat-tempat lain yang mungkin didatangi
orang. Potret diri, yang hanya berupa gambar, yang kurang penting,
diutamakan. Tapi kompetensi teknis—yang sudah disebut di atas—tak
dipedulikan.
Kemampuan
artikulasi dalam berbahasa, yang memancarkan pesona, dan pengaruh yang
kuat di hati publik, bahkan dibiarkan sangat telantar. Mungkin tak
berlebihan bila dikatakan bahwa kapasitas mereka berbahasa yang
mentereng, dan punya wibawa, memang terbatas. Banyak tokoh dewasa, bahkan
sudah tua, yang kosakatanya masih belum lengkap. Jarang yang berbahasa
secara idiomatik dan menggunakan metafora yang menawan.
Patut
disadari bahwa pemimpin bukan tukang pajak, bukan ahli akuntan, atau guru
matematika, yang kehidupan berbahasanya begitu kering karena tiap kata
diukur dengan standar dunia eksakta. Tak mengherankan, dari jenis orang
macam itu idiomnya juga serbastandar, dan kaku, dan tak layak didengar di
dalam suatu pergaulan tingkat tinggi, di mana para kepala negara, duta
besar dan menteri-menteri, maupun para tokoh seniman dan para wartawan
hadir.
Dengan kata
lain, kualitas mereka—pada umumnya—memang di bawah standar. Belum lagi
kapasitas bahasa Inggrisnya. Suasana yang kelihatannya hiruk-pikuk,
meriah, dan penuh persaingan itu sebenarnya suci senyap. Calon ambisius
banyak. Tokoh yang merasa mampu melompati gunung tak terhitung jumlahnya.
Tapi, calon pemimpin berkualitas, yang bisa disebut “menjanjikan”,
mengapa begitu terbatas? Kita tak boleh meminta lebih dari apa yang ada.
Di tingkat
bawah, di dalam kepemimpinan umat pun, tak ada bedanya. Dalam sejarah
kepemimpinan umat, di sini maksudnya umat Islam, di zaman Gus Dur dan Cak
Nur, ada juga Dr Amien Rais. Apa yang disebut “professional jealousy” di antara ketiganya tampak tajam.
Sering perseteruan tak bisa ditutup.
Media
memuatnya. Para tokoh lapis atas itu berseteru, seolah memberi contoh
bagi umat mereka. Siapa penyebab perseteruan, dan rasa iri atau cemburu
dalam bentuk dan kepentingan apa yang menyebabkannya, mungkin tidak cocok
dibahas di sini. Tapi, ada kesan, yang berbau ego besar, turut menjadi
pendorong. Saingan yang sehat banyak gunanya.
Cemburu
kecil-kecilan bisa merangsang perlombaan meraih yang terbaik, yang sejak
kecil diajarkan, dengan sebutan mentereng; “fastabikul khairat”. Etos kepemimpinan, antara lain, ditaruh
di tempat penuh perjuangan ini. Saat ini ada ironi besar, yang
mengherankan—mungkin memalukan— mengapa sesudah Gus Dur dan Cak Nur tak
ada lagi, otomatis tak ada yang bisa disebut pemimpin umat?
Apalagi dalam
ukuran sikap hidup dan tindakan, yang akomodatif, protektif, dan berani,
yang dilakukan Gus Dur, kini mengapa tak ada yang punya watak
kepemimpinan seperti itu? Gus Dur mungkin sudah tenteram, apalagi dalam
status wali, yang sudah berada di alam “sana”. Tapi, kita yang masih ada di
dunia “sini”.
Gelisah
memikirkan panggung kepemimpinan yang kosong melompong. Ke mana Dr Amien
Rais, yang dulu selalu berseteru, baik dengan Gus Dur maupun dengan Cak
Nur, karena persaingan yang diam-diam berebut posisi kepemimpinan umat?
Kalau orang memang memiliki bakat—apalagi sudah dirumuskan dalam visi dan
kredo hidup kaum intelektual, biarpun tak ditulis—niscaya kepemimpinannya
tampil tanpa diminta oleh siapa pun.
Dr Amien
Rais, yang zaman itu begitu gigih, tajam, dan seolah penuh komitmen,
mengkritik dunia tambang yang tak adil, dengan ungkapan: “Ada udang di balik Busang”,
sekarang tidur pulas. Tak ada yang bisa mengusik kenyamanannya. Tak ada
komitmen, sekecil dan seringan bobot zarah sekalipun yang bisa
mem-bangunkannya.
Otentisitas
kepemimpinan, sebenarnya, tak pernah mati. Sikap membela kepentingan
kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan bisa jalan sendiri tanpa diingatkan
hansip, yang sering tidak tahu sudah jam berapa, dia bangun untuk memukul
kentongan dan tidur lagi.
Kepemimpinan
dan watak pencari kebenaran dan pejuang keadilan bukan hansip dan tak
mungkin menyaingi kemalasan hansip. Pak Amien, panggung kepemimpinan
kosong. Kenapa tak diisi? Apakah partai politik sudah demikian hebatnya
hingga semua kesibukan dan energi terhisap di sana? Kepemimpinan umat tak
dibatasi masa jabatan.
Biarpun tak
lagi menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seharusnya postur
kepemimpinan Anda tetap terlihat, tetap gigih, dan tetap mentereng.
Apalagi jika harus disadari bahwa panggung kepemimpinan umat kosong.
Mengapa ada dan tak adanya Anda sama saja? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar