Selasa, 23 April 2013

Panggung Kosong Kepemimpinan Umat


Panggung Kosong Kepemimpinan Umat
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 22 April 2013

  
Situasi sekarang ini mungkin bisa disebut zaman mandul yang mengenaskan. Kelihatannya banyak orang pandai dan di antara mereka banyak yang menunjukkan kesiapan yang tak diragukan untuk menjadi pemimpin. 

Dari hampir semua sektor kehidupan, birokrasi pemerintahan, dunia kampus, birokrasi partai politik, dunia pergerakan LSM, birokrasi militer, atau polisi, dunia bisnis, dan sektor khusus, yang isinya kaum profesional, atau dunia seni, masing-masing memiliki orang, tokoh, yang bisa diajukan untuk menjadi pemimpin nasional. 

Tak mengherankan mereka dicalonkan setidaknya oleh orang-orangnya sendiri dan lebih khusus oleh mereka yang punya kepentingan ekonomi-politik yang bisa diraih melalui proses tersebut. Mereka ini, semua, tanpa kecuali, merasa bisa menjadi pemimpin, tapi jarang sekali yang bisa merasa bahwa tanpa suatu kompetensi teknis yang memadai, yang teruji dalam sejarah hidupnya sendiri, tak mungkin kita mampu menempati posisi itu. Begitulah yang kemudian terjadi. 

Ambisi segunung itu kempes secara drastis, menjadi tamparan keras di wajah, tapi itu pun tak dirasakan. Di musim pemilihan lima tahun kemudian, mereka maju lagi, dengan lebih gegap gempita, tapi kompetensi teknis yang dipertaruhkan masih sama dengan lima tahun yang lalu. Jadi, persyaratan utama, yang sangat penting itu, dan boleh jadi yang membuatnya keok lima tahun lalu, tak diperbaiki sama sekali. 

Satu-satunya yang menonjol hanya foto besar, yang dibuat di suatu studio, dan dipajang di semua tempat strategis, atau tempat-tempat lain yang mungkin didatangi orang. Potret diri, yang hanya berupa gambar, yang kurang penting, diutamakan. Tapi kompetensi teknis—yang sudah disebut di atas—tak dipedulikan. 

Kemampuan artikulasi dalam berbahasa, yang memancarkan pesona, dan pengaruh yang kuat di hati publik, bahkan dibiarkan sangat telantar. Mungkin tak berlebihan bila dikatakan bahwa kapasitas mereka berbahasa yang mentereng, dan punya wibawa, memang terbatas. Banyak tokoh dewasa, bahkan sudah tua, yang kosakatanya masih belum lengkap. Jarang yang berbahasa secara idiomatik dan menggunakan metafora yang menawan. 

Patut disadari bahwa pemimpin bukan tukang pajak, bukan ahli akuntan, atau guru matematika, yang kehidupan berbahasanya begitu kering karena tiap kata diukur dengan standar dunia eksakta. Tak mengherankan, dari jenis orang macam itu idiomnya juga serbastandar, dan kaku, dan tak layak didengar di dalam suatu pergaulan tingkat tinggi, di mana para kepala negara, duta besar dan menteri-menteri, maupun para tokoh seniman dan para wartawan hadir. 

Dengan kata lain, kualitas mereka—pada umumnya—memang di bawah standar. Belum lagi kapasitas bahasa Inggrisnya. Suasana yang kelihatannya hiruk-pikuk, meriah, dan penuh persaingan itu sebenarnya suci senyap. Calon ambisius banyak. Tokoh yang merasa mampu melompati gunung tak terhitung jumlahnya. Tapi, calon pemimpin berkualitas, yang bisa disebut “menjanjikan”, mengapa begitu terbatas? Kita tak boleh meminta lebih dari apa yang ada. 

Di tingkat bawah, di dalam kepemimpinan umat pun, tak ada bedanya. Dalam sejarah kepemimpinan umat, di sini maksudnya umat Islam, di zaman Gus Dur dan Cak Nur, ada juga Dr Amien Rais. Apa yang disebut “professional jealousy” di antara ketiganya tampak tajam. Sering perseteruan tak bisa ditutup. 

Media memuatnya. Para tokoh lapis atas itu berseteru, seolah memberi contoh bagi umat mereka. Siapa penyebab perseteruan, dan rasa iri atau cemburu dalam bentuk dan kepentingan apa yang menyebabkannya, mungkin tidak cocok dibahas di sini. Tapi, ada kesan, yang berbau ego besar, turut menjadi pendorong. Saingan yang sehat banyak gunanya. 

Cemburu kecil-kecilan bisa merangsang perlombaan meraih yang terbaik, yang sejak kecil diajarkan, dengan sebutan mentereng; “fastabikul khairat”. Etos kepemimpinan, antara lain, ditaruh di tempat penuh perjuangan ini. Saat ini ada ironi besar, yang mengherankan—mungkin memalukan— mengapa sesudah Gus Dur dan Cak Nur tak ada lagi, otomatis tak ada yang bisa disebut pemimpin umat? 

Apalagi dalam ukuran sikap hidup dan tindakan, yang akomodatif, protektif, dan berani, yang dilakukan Gus Dur, kini mengapa tak ada yang punya watak kepemimpinan seperti itu? Gus Dur mungkin sudah tenteram, apalagi dalam status wali, yang sudah berada di alam “sana”. Tapi, kita yang masih ada di dunia “sini”. 

Gelisah memikirkan panggung kepemimpinan yang kosong melompong. Ke mana Dr Amien Rais, yang dulu selalu berseteru, baik dengan Gus Dur maupun dengan Cak Nur, karena persaingan yang diam-diam berebut posisi kepemimpinan umat? Kalau orang memang memiliki bakat—apalagi sudah dirumuskan dalam visi dan kredo hidup kaum intelektual, biarpun tak ditulis—niscaya kepemimpinannya tampil tanpa diminta oleh siapa pun. 

Dr Amien Rais, yang zaman itu begitu gigih, tajam, dan seolah penuh komitmen, mengkritik dunia tambang yang tak adil, dengan ungkapan: “Ada udang di balik Busang”, sekarang tidur pulas. Tak ada yang bisa mengusik kenyamanannya. Tak ada komitmen, sekecil dan seringan bobot zarah sekalipun yang bisa mem-bangunkannya.

Otentisitas kepemimpinan, sebenarnya, tak pernah mati. Sikap membela kepentingan kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan bisa jalan sendiri tanpa diingatkan hansip, yang sering tidak tahu sudah jam berapa, dia bangun untuk memukul kentongan dan tidur lagi. 

Kepemimpinan dan watak pencari kebenaran dan pejuang keadilan bukan hansip dan tak mungkin menyaingi kemalasan hansip. Pak Amien, panggung kepemimpinan kosong. Kenapa tak diisi? Apakah partai politik sudah demikian hebatnya hingga semua kesibukan dan energi terhisap di sana? Kepemimpinan umat tak dibatasi masa jabatan. 

Biarpun tak lagi menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seharusnya postur kepemimpinan Anda tetap terlihat, tetap gigih, dan tetap mentereng. Apalagi jika harus disadari bahwa panggung kepemimpinan umat kosong. Mengapa ada dan tak adanya Anda sama saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar