Minyak bumi merupakan sumber
daya alam tak terbarukan. Generasi sekarang tak berhak mengurasnya untuk
dikonsumsi sekarang dengan sesuka hati. ”Kejahatan” generasi sekarang
kian menjadi-jadi karena tiga hal.
Pertama, tingkat eksploitasi
telah melebihi penemuan cadangan baru sehingga secara tak sadar kita
telah ”memerkosa” bumi karena cadangan marjinal pun terus disedot.
Kedua, dana yang diperoleh dari
bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak sudah tak cukup
untuk menutup pengeluaran bagi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pada
tahun 2012, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tekor sebesar
Rp 34 triliun dan pada APBN 2013 naik menjadi Rp 49 triliun.
Ketiga, jika tak ada langkah
nyata segera untuk mengendalikan keborosan ini, pemerintah harus menambah
utang baru sebesar Rp 180 triliun dari yang telah direncanakan sebesar Rp
120 triliun. Dengan demikian, keseluruhan utang baru tahun ini menjadi Rp
300 triliun (Kompas, 19/4).
Tambahan beban utang itu sudah
barang tentu harus dipikul generasi mendatang. Ketidakadilan
antargenerasi kian menjadi-jadi. Pemerintah ”malas” memikirkan cara agar
beban tak ditumpahkan seluruhnya kepada generasi mendatang.
Betapa defisit APBN sangat
terkait erat dengan subsidi BBM terlihat dari kenyataan bahwa selama
sembilan tahun terakhir subsidi BBM selalu lebih besar daripada nilai
defisit APBN, kecuali tahun 2009.
Apakah dengan membiarkan kanker
ganas terus bersemayam hingga ke generasi mendatang akan membuat generasi
sekarang terbebas dari petaka? Sangat tidak. Generasi sekarang pun sudah
merasakan deritanya. Rasa sakit belum begitu terasa karena pemerintah
menyuntikkan obat penawar rasa sakit yang bernama subsidi BBM. Namun,
akar dari kanker terus menjalar ke sekujur tubuh perekonomian dewasa ini.
Mari kita tengok beberapa saja
yang paling mencolok.
Pertama, konsumsi BBM melaju
kian deras, sementara produksi minyak turun terus sehingga impor minyak
(minyak mentah dan BBM) membubung. Dalam waktu hanya sembilan tahun,
impor minyak meningkat lima kali lipat lebih, dari 7,5 miliar dollar AS
pada 2003 menjadi 39,5 miliar dollar AS pada 2012. Akibat selanjutnya,
kita memasuki era defisit perdagangan minyak sejak 2004. Defisit ini
meroket dari 3,8 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 23 miliar dollar AS
pada 2012 atau melonjak enam kali lipat dalam waktu hanya delapan tahun.
Lebih parah lagi, sejak 2013 transaksi perdagangan minyak mentah
sekalipun sudah mengalami defisit, suatu goresan sejarah baru.
Adalah defisit minyak tersebut
yang lambat laun menggerogoti transaksi perdagangan Indonesia sehingga
akhirnya melahirkan lagi sejarah baru, yaitu defisit transaksi
perdagangan (ekspor barang dikurangi impor barang) sejak 2012.
Defisit transaksi perdagangan
mengakibatkan akun semasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang
dan jasa) ikut tertekan. Tidak tanggung-tanggung, akun semasa memburuk
dengan cepat, dari surplus 10,6 miliar dollar AS pada 2009 turun menjadi
5,1 miliar dollar AS pada 2010 dan 1,7 miliar dollar AS tahun 2011, lalu
berbalik menjadi defisit menganga lebar sebesar 24,2 miliar dollar AS
pada 2012. Faktor inilah yang membuat nilai tukar rupiah sudah lebih dari
setahun melemah, kenyal di atas Rp 9.000 per dollar AS.
Kedua, APBN semakin tidak sehat.
Subsidi BBM tidak sekadar membengkakkan defisit APBN, tetapi juga telah
membuat primary balance (penerimaan pemerintah dikurangi pengeluaran
pemerintah di luar pembayaran bunga utang pemerintah) sejak 2012. Sejarah
baru lagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada APBN 2012 defisit
keseimbangan primer mencapai Rp 45,5 triliun, sedangkan pada APBN 2013 Rp
40,1 triliun. Defisit keseimbangan primer tahun 2013 berpotensi
membengkak 65 persen menjadi Rp 66,4 triliun (Bank Dunia, Indonesia Economic Quarterly,
Maret 2013). Defisit keseimbangan primer (primary balance) berpotensi besar menurunkan harga dan
menaikkan imbal hasil dari surat utang pemerintah sehingga bakal menambah
beban utang.
Ketiga, produksi BBM mengalami
penurunan karena selama puluhan tahun tak ada pembangunan kilang baru.
Selain memperparah defisit minyak, kita pun kehilangan kesempatan
menghasilkan tambahan naphta yang, bersama kondensat, merupakan bahan
baku utama industri petrokimia yang boleh dikatakan merupakan ”ibu”
industri manufaktur.
Tak heran, daya saing Indonesia
terus terpuruk. Pada tahun 2012, daya saing kita menurut World Competitiveness Yearbook 2012
yang diterbitkan IMD turun lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya
dengan skor hanya 59,5 dari skor tertinggi 100. Adapun menurut Global Competitiveness Report
2012-2013 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, peringkat Indonesia
juga turun dari urutan ke-46 pada 2011 menjadi urutan ke-50 pada 2012.
Kemerosotan daya saing tampak
mencolok dari data transaksi perdagangan produk manufaktur. Defisit
manufaktur terjadi sejak 2008 sebesar 24,4 miliar dollar AS dan terus
memburuk hingga mencapai 51,4 miliar dollar AS tahun lalu.
Sempurna sudah nestapa
perdagangan luar negeri kita yang telah mengalami triple deficits:
manufaktur, energi, dan pangan. Ketiga defisit ini terjadi pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Satu-satunya yang surplus tinggal
produk berbasis sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan.
Tatkala kanker ganas sudah
menyebar ke sekujur perekonomian, pemerintah masih saja mengutik-utik
pilihan-pilihan kebijakan yang sejauh ini tampaknya justru tak menohok ke
akar masalah. Bahkan, justru sebaliknya, berpotensi menimbulkan makin
banyak komplikasi dan ketidakpastian.
Kemoterapi adalah satu-satunya
terapi bagi kanker yang sudah menjalar ke sekujur perekonomian. Sangat
pahit, memang, tetapi jika tidak ditempuh bakal menimbulkan dampak
mematikan. Teramat mahal ongkos yang bakal harus dibayar. Itulah risiko
yang harus diambil oleh seorang pemimpin negara, bukan pemimpin partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar