Selasa, 23 April 2013

Kanker Ganas Itu Telah Menyebar ke Segala Penjuru


Kanker Ganas Itu Telah Menyebar ke Segala Penjuru
Faisal Basri Ekonom
KOMPAS, 22 April 2013
  

Minyak bumi merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Generasi sekarang tak berhak mengurasnya untuk dikonsumsi sekarang dengan sesuka hati. ”Kejahatan” generasi sekarang kian menjadi-jadi karena tiga hal.
Pertama, tingkat eksploitasi telah melebihi penemuan cadangan baru sehingga secara tak sadar kita telah ”memerkosa” bumi karena cadangan marjinal pun terus disedot.
Kedua, dana yang diperoleh dari bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak sudah tak cukup untuk menutup pengeluaran bagi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pada tahun 2012, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tekor sebesar Rp 34 triliun dan pada APBN 2013 naik menjadi Rp 49 triliun.
Ketiga, jika tak ada langkah nyata segera untuk mengendalikan keborosan ini, pemerintah harus menambah utang baru sebesar Rp 180 triliun dari yang telah direncanakan sebesar Rp 120 triliun. Dengan demikian, keseluruhan utang baru tahun ini menjadi Rp 300 triliun (Kompas, 19/4).
Tambahan beban utang itu sudah barang tentu harus dipikul generasi mendatang. Ketidakadilan antargenerasi kian menjadi-jadi. Pemerintah ”malas” memikirkan cara agar beban tak ditumpahkan seluruhnya kepada generasi mendatang.
Betapa defisit APBN sangat terkait erat dengan subsidi BBM terlihat dari kenyataan bahwa selama sembilan tahun terakhir subsidi BBM selalu lebih besar daripada nilai defisit APBN, kecuali tahun 2009.
Apakah dengan membiarkan kanker ganas terus bersemayam hingga ke generasi mendatang akan membuat generasi sekarang terbebas dari petaka? Sangat tidak. Generasi sekarang pun sudah merasakan deritanya. Rasa sakit belum begitu terasa karena pemerintah menyuntikkan obat penawar rasa sakit yang bernama subsidi BBM. Namun, akar dari kanker terus menjalar ke sekujur tubuh perekonomian dewasa ini.
Mari kita tengok beberapa saja yang paling mencolok.
Pertama, konsumsi BBM melaju kian deras, sementara produksi minyak turun terus sehingga impor minyak (minyak mentah dan BBM) membubung. Dalam waktu hanya sembilan tahun, impor minyak meningkat lima kali lipat lebih, dari 7,5 miliar dollar AS pada 2003 menjadi 39,5 miliar dollar AS pada 2012. Akibat selanjutnya, kita memasuki era defisit perdagangan minyak sejak 2004. Defisit ini meroket dari 3,8 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 23 miliar dollar AS pada 2012 atau melonjak enam kali lipat dalam waktu hanya delapan tahun. Lebih parah lagi, sejak 2013 transaksi perdagangan minyak mentah sekalipun sudah mengalami defisit, suatu goresan sejarah baru.
Adalah defisit minyak tersebut yang lambat laun menggerogoti transaksi perdagangan Indonesia sehingga akhirnya melahirkan lagi sejarah baru, yaitu defisit transaksi perdagangan (ekspor barang dikurangi impor barang) sejak 2012.
Defisit transaksi perdagangan mengakibatkan akun semasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa) ikut tertekan. Tidak tanggung-tanggung, akun semasa memburuk dengan cepat, dari surplus 10,6 miliar dollar AS pada 2009 turun menjadi 5,1 miliar dollar AS pada 2010 dan 1,7 miliar dollar AS tahun 2011, lalu berbalik menjadi defisit menganga lebar sebesar 24,2 miliar dollar AS pada 2012. Faktor inilah yang membuat nilai tukar rupiah sudah lebih dari setahun melemah, kenyal di atas Rp 9.000 per dollar AS.
Kedua, APBN semakin tidak sehat. Subsidi BBM tidak sekadar membengkakkan defisit APBN, tetapi juga telah membuat primary balance (penerimaan pemerintah dikurangi pengeluaran pemerintah di luar pembayaran bunga utang pemerintah) sejak 2012. Sejarah baru lagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada APBN 2012 defisit keseimbangan primer mencapai Rp 45,5 triliun, sedangkan pada APBN 2013 Rp 40,1 triliun. Defisit keseimbangan primer tahun 2013 berpotensi membengkak 65 persen menjadi Rp 66,4 triliun (Bank Dunia, Indonesia Economic Quarterly, Maret 2013). Defisit keseimbangan primer (primary balance) berpotensi besar menurunkan harga dan menaikkan imbal hasil dari surat utang pemerintah sehingga bakal menambah beban utang.
Ketiga, produksi BBM mengalami penurunan karena selama puluhan tahun tak ada pembangunan kilang baru. Selain memperparah defisit minyak, kita pun kehilangan kesempatan menghasilkan tambahan naphta yang, bersama kondensat, merupakan bahan baku utama industri petrokimia yang boleh dikatakan merupakan ”ibu” industri manufaktur.
Tak heran, daya saing Indonesia terus terpuruk. Pada tahun 2012, daya saing kita menurut World Competitiveness Yearbook 2012 yang diterbitkan IMD turun lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan skor hanya 59,5 dari skor tertinggi 100. Adapun menurut Global Competitiveness Report 2012-2013 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, peringkat Indonesia juga turun dari urutan ke-46 pada 2011 menjadi urutan ke-50 pada 2012.
Kemerosotan daya saing tampak mencolok dari data transaksi perdagangan produk manufaktur. Defisit manufaktur terjadi sejak 2008 sebesar 24,4 miliar dollar AS dan terus memburuk hingga mencapai 51,4 miliar dollar AS tahun lalu.
Sempurna sudah nestapa perdagangan luar negeri kita yang telah mengalami triple deficits: manufaktur, energi, dan pangan. Ketiga defisit ini terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Satu-satunya yang surplus tinggal produk berbasis sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan.
Tatkala kanker ganas sudah menyebar ke sekujur perekonomian, pemerintah masih saja mengutik-utik pilihan-pilihan kebijakan yang sejauh ini tampaknya justru tak menohok ke akar masalah. Bahkan, justru sebaliknya, berpotensi menimbulkan makin banyak komplikasi dan ketidakpastian.
Kemoterapi adalah satu-satunya terapi bagi kanker yang sudah menjalar ke sekujur perekonomian. Sangat pahit, memang, tetapi jika tidak ditempuh bakal menimbulkan dampak mematikan. Teramat mahal ongkos yang bakal harus dibayar. Itulah risiko yang harus diambil oleh seorang pemimpin negara, bukan pemimpin partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar