Rabu, 17 April 2013

Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan


Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan
Khudori  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 16 April 2013
  

Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif.
Banyak pihak tak menduga, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia (BI), inflasi tiga bulan terakhir cukup tinggi: 2,43 persen. Sedangkan inflasi tahunan mencapai 5,9 persen, melampaui target pemerintah (4,9 persen) dan BI (5,5 persen). Inflasi tinggi membuat pemerintah panik. Seperti orang kebakaran jenggot, untuk menjinakkan inflasi, pemerintah membuat kebijakan panik. Ini tercermin dari beleid "pemutihan" 332 kontainer bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak. Ratusan kontainer milik 11 importir ini tak dilengkapi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura seperti diatur Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 dan Surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan. Menurut aturan, ratusan kontainer itu seharusnya disita, dimusnahkan, atau direekspor. 
Pemerintah gamang. Jika tak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang tetap tinggi. Inflasi bisa terpantik tinggi, seperti yang terjadi pada Februari-Maret 2013. Februari lalu, 0,12 persen dari 0,75 persen inflasi disumbang bawang. Sedangkan pada Maret 2013, 0,44 persen dari 0,63 persen inflasi disumbang kenaikan harga bawang (merah dan putih). Secara umum, dalam dua bulan terakhir penyumbang terbesar inflasi adalah kelompok volatile food, seperti bawang (merah dan putih), cabai merah, serta daging. Terlalu yakin dengan kebijakan pembatasan dan pelarangan impor hortikultura, pemerintah lupa, kita belum memiliki instrumen stabilisasi pangan, dan tata niaga/distribusi bersifat konsentris dan oligopolis. 
Untuk kesekian kalinya kita melihat betapa pemerintah masih disibukkan agenda rutin tahunan yang menguras energi yang tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc dan fragmentaris. Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran. Tidak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat rutinitas instabilitas harga kebutuhan pokok. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan. 
Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok akan mengekspos mereka pada posisi amat rentan. Pendapatan rakyat akan tergerus inflasi. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan keranjang belanja dengan menekan pos non-pangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang? 
Pada 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih dari 37 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 28,594 juta (11,66 persen). Dari jumlah itu, 63 persen berada di pedesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa. Selain itu, dengan garis kemiskinan hanya Rp 259.520 per bulan atau Rp 8.650 per hari per orang, kita bisa mempertanyakan seperti apa kualitas hidup yang dijalani para warga miskin itu. 
Inflasi yang tinggi dan pendapatan yang rendah membuat warga miskin terpukul dua kali. Apalagi, menurut BPS, mayoritas pengeluaran penduduk masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 49,89 persen pada 2012. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai "perampok uang rakyat". Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia. Hampir di negara-negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik, angka warga miskin pun melonjak. 
Pengendalian inflasi menjadi kebutuhan mutlak. Bagi warga miskin, inflasi yang terkendali akan menjadi benteng pertahanan hidup. Bagi pemerintah, inflasi yang terjaga akan mengamankan indikator ekonomi lainnya. Karena itu, pemerintah dan BI harus bekerja sama menjinakkan inflasi. Langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok. Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok, terutama pangan, masih akan terjadi. Anomali iklim, konversi lahan, dan petani yang miskin membuat produksi pangan serba tidak pasti. Itu semua potensial menorpedo target inflasi pemerintah. 
Stabilisasi kebutuhan pokok tidak bisa ditunda-tunda. Ini tidak hanya sebagai bagian dari fungsi keberadaan negara, tapi juga menjadi amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU itu, stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan cadangan dan distribusi pangan pokok menjadi tugas pemerintah. Untuk menstabilkan harga, bisa ditempuh lewat tiga langkah. Pertama, menentukan komoditas pangan pokok. Bisa dipakai tiga kriteria: besar-kecilnya peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Berapa jumlahnya, pemerintah yang menentukan. Apakah bawang, kedelai, dan daging masuk di dalamnya? Komoditas inilah yang jadi opsi stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, dari harga patokan (ceiling/floor price), cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, harus ada jaminan sistem distribusi lancar, dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar