Dua minggu terakhir, dunia maya yang
dihuni para netcitizen diramaikan oleh kehadiran dua akun twitter Istana
(@IstanaRakyat) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (@SBYudhoyono).
Dalam keterangan resmi Istana, niat itu melambangkan dua sisi. Pertama,
kehendak Presiden SBY menyapa publik, dan kedua, mencegah terjadinya
diskoneksi dengan realitas sosial warga negara.
Dalam konteks politik modern, demokrasi
idealnya mendorong hubungan pemimpin dengan rakyat secara sederajat (equal) dan pada suatu saat nanti,
demokrasi diharapkan menghadirkan seorang pemimpin yang tidak memiliki
jarak dengan rakyatnya. Rakyat mengetahui apa yang sedang dilakukan pemimpinnya
dan agenda-agenda kebijakan apa yang akan dikeluarkan.
Para netters pun memiliki respons yang
berbeda. Selain ada yang sifatnya menyapa dengan ejekan, juga tak sedikit
yang menyambut dengan penuh harapan. Dalam konteks influence di dunia maya, khususnya
twitter, setiap sebutan kepada seseorang (mention), dapat saja melambangkan tiga sikap followers-nya, yakni positif,
netral, dan negatif.
Paradoks dunia maya yang salah satunya
dipenuhi oleh kebebasan akan identitas tentu dapat saja mendorong pada
mention yang sifatnya negatif bahkan hujatan. Inilah dinamika pesan dunia
maya. Dinamika pesan (message) melalui
twitter dan lain-lain, sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai instrumen
komunikasi yang bermakna langsung, tanpa "perantara" dan tanpa
penghalang.
Penjelasan, ocehan, dan asupan informasi
dapat diterima apa adanya oleh netcitizen. Inilah pembedaan dengan media
lain, seperti televisi, koran, bahkan media berita online. Tak heran, hampir setiap pemimpin di dunia, juga
memiliki saluran akun yang dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi dan
penyebaran informasi atas apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, memasuki dunia maya
ibarat memasuki hutan rimba yang penuh dengan onak dan duri. Ada
konsekuensi-konsekuensi terselubung yang akan diterima oleh setiap
orang. Dalam menyikapi hal itu, istana telah memperhitungkan
akibatnya.
Pilihan atas konsekuensi itu menandai
satu kesadaran akan nilai demokrasi, bahwa pemimpin harus dekat dengan
rakyatnya. Sebaliknya, setiap warga negara dapat memperoleh saluran untuk
menyampaikan harapan, aspirasi, maupun keluhan kepada pemimpinnya.
Dalam praktik bekerjanya birokrasi,
hampir muncul anggapan bersama bahwa birokrasi senantiasa `memperlambat' kalau
tidak disebut `menghambat' proses-proses penyampaian aspirasi itu. Twitter, facebook, dan sejumlah
perangkat teknologi informasi telah membuka ruang pandora keterbatasan,
keterasingan, hingga mendekatkan jarak.
Terpenting dari upaya itu presiden
sebagai seorang manusia tetap berada pada lingkaran lingkungan kehidupan
sehari-hari rakyatnya. Bukan saja mengetahui dinamika sosial masyarakat,
tetapi presiden dan istana juga memperoleh asupan atas gambaran kehidupan
sosial masyarakat Indonesia sehari-hari.
Presiden SBY menyakini bahwa kehadiran
tekonologi informasi, khususnya melalui twitter dapat menjembatani perasan publik yang dibatasi oleh
bekerjanya birokrasi. Dalam praktik good
governance, memperluas informasi atas apa yang telah, sedang, dan
akan di lakukan oleh presiden diharapkan dapat membawa kabar kepada
publik secara luas atas langkah dan tindakan pemerintah.
Inilah makna pendekatan populis pada
setiap diri pemimpin. Seperti disampaikan oleh Staf Khusus Presiden
Daniel Sparringa merupakan bagian dari tujuan besar agar Presiden SBY
dapat menavigasi pemerintahan, sekaligus meningkatkan efektivitas
kepemimpinan politiknya. Dalam praktik demokrasi, percepatan kinerja
pemerintahan membutuhkan pelibatan masyarakat, bukan semata-mata untuk
mencatat, tetapi sekaligus memberi feedback
atas bekerjanya setiap pejabat negara.
Arus informasi yang saling menavigasi
antara presiden, istana dengan netcitizen, atau sebaliknya, akan menjadi
jembatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, bila dilandasi oleh
ketulusan, kepercayaan untuk saling berbagi kebaikan dan kemaslahatan.
Dalam suasana seperti itu, kebebasan sebagai bagian dari netcitizen di dunia maya menjadi
tantangan tersendiri. Sebab, pembandingan dunia maya dengan realitas
sosial nyata adalah sebuah paradoks. Tetapi, gambaran itu bukanlah
penghalang, karena dalam beberapa kali diskusi mengenai kebutuhan
penyerapan informasi, presiden harus terus didorong untuk memperoleh
informasi yang sebenarnya. Sebaliknya, masyarakat luas juga memiliki hak
untuk memperoleh informasi yang sebenarnya dari pemerintah.
Munculnya twitter Istana dan presiden
akan menjadi instrumen penghubung tanpa sekat. Harapan pihak Istana sebenarnya
ingin mengurangi diskoneksi sekaligus menjembatani terwujudnya
transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik secara
luas. Dorongan demikian adalah kehendak demokrasi, yang sejak awal
reformasi telah menjadi agenda utama bersama. Sebaliknya, istana
juga berharap kedua twitter tersebut dapat menjadi saluran khusus
masyarakat Indonesia secara cepat kepada Istana dan presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar