Rabu, 17 April 2013

Netcitizen


Netcitizen
Moch Nurhasim  Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik 
REPUBLIKA, 16 April 2013
  

Dua minggu terakhir, dunia maya yang dihuni para netcitizen diramaikan oleh kehadiran dua akun twitter Istana (@IstanaRakyat) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (@SBYudhoyono). Dalam keterangan resmi Istana, niat itu melambangkan dua sisi. Pertama, kehendak Presiden SBY menyapa publik, dan kedua, mencegah terjadinya diskoneksi dengan realitas sosial warga negara.

Dalam konteks politik modern, demokrasi idealnya mendorong hubungan pemimpin dengan rakyat secara sederajat (equal) dan pada suatu saat nanti, demokrasi diharapkan menghadirkan seorang pemimpin yang tidak memiliki jarak dengan rakyatnya. Rakyat mengetahui apa yang sedang dilakukan pemimpinnya dan agenda-agenda kebijakan apa yang akan dikeluarkan.

Para netters pun memiliki respons yang berbeda. Selain ada yang sifatnya menyapa dengan ejekan, juga tak sedikit yang menyambut dengan penuh harapan. Dalam konteks influence di dunia maya, khususnya twitter, setiap sebutan kepada seseorang (mention), dapat saja melambangkan tiga sikap followers-nya, yakni positif, netral, dan negatif. 

Paradoks dunia maya yang salah satunya dipenuhi oleh kebebasan akan identitas tentu dapat saja mendorong pada mention yang sifatnya negatif bahkan hujatan. Inilah dinamika pesan dunia maya. Dinamika pesan (message) melalui twitter dan lain-lain, sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai instrumen komunikasi yang bermakna langsung, tanpa "perantara" dan tanpa penghalang. 
Penjelasan, ocehan, dan asupan informasi dapat diterima apa adanya oleh netcitizen. Inilah pembedaan dengan media lain, seperti televisi, koran, bahkan media berita online. Tak heran, hampir setiap pemimpin di dunia, juga memiliki saluran akun yang dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi dan penyebaran informasi atas apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, memasuki dunia maya ibarat memasuki hutan rimba yang penuh dengan onak dan duri. Ada konsekuensi-konsekuensi terselubung yang akan diterima oleh setiap orang. Dalam menyikapi hal itu, istana telah memperhitungkan akibatnya.

Pilihan atas konsekuensi itu menandai satu kesadaran akan nilai demokrasi, bahwa pemimpin harus dekat dengan rakyatnya. Sebaliknya, setiap warga negara dapat memperoleh saluran untuk menyampaikan harapan, aspirasi, maupun keluhan kepada pemimpinnya. 

Dalam praktik bekerjanya birokrasi, hampir muncul anggapan bersama bahwa birokrasi senantiasa `memperlambat' kalau tidak disebut `menghambat' proses-proses penyampaian aspirasi itu. Twitter, facebook, dan sejumlah perangkat teknologi informasi telah membuka ruang pandora keterbatasan, keterasingan, hingga mendekatkan jarak. 

Terpenting dari upaya itu presiden sebagai seorang manusia tetap berada pada lingkaran lingkungan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Bukan saja mengetahui dinamika sosial masyarakat, tetapi presiden dan istana juga memperoleh asupan atas gambaran kehidupan sosial masyarakat Indonesia sehari-hari.

Presiden SBY menyakini bahwa kehadiran tekonologi informasi, khususnya melalui twitter dapat menjembatani perasan publik yang dibatasi oleh bekerjanya birokrasi. Dalam praktik good governance, memperluas informasi atas apa yang telah, sedang, dan akan di lakukan oleh presiden diharapkan dapat membawa kabar kepada publik secara luas atas langkah dan tindakan pemerintah. 

Inilah makna pendekatan populis pada setiap diri pemimpin. Seperti disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Daniel Sparringa merupakan bagian dari tujuan besar agar Presiden SBY dapat menavigasi pemerintahan, sekaligus meningkatkan efektivitas kepemimpinan politiknya. Dalam praktik demokrasi, percepatan kinerja pemerintahan membutuhkan pelibatan masyarakat, bukan semata-mata untuk mencatat, tetapi sekaligus memberi feedback atas bekerjanya setiap pejabat negara.

Arus informasi yang saling menavigasi antara presiden, istana dengan netcitizen, atau sebaliknya, akan menjadi jembatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, bila dilandasi oleh ketulusan, kepercayaan untuk saling berbagi kebaikan dan kemaslahatan. Dalam suasana seperti itu, kebebasan sebagai bagian dari netcitizen di dunia maya menjadi tantangan tersendiri. Sebab, pembandingan dunia maya dengan realitas sosial nyata adalah sebuah paradoks. Tetapi, gambaran itu bukanlah penghalang, karena dalam beberapa kali diskusi mengenai kebutuhan penyerapan informasi, presiden harus terus didorong untuk memperoleh informasi yang sebenarnya. Sebaliknya, masyarakat luas juga memiliki hak untuk memperoleh informasi yang sebenarnya dari pemerintah.

Munculnya twitter Istana dan presiden akan menjadi instrumen penghubung tanpa sekat. Harapan pihak Istana sebenarnya ingin mengurangi diskoneksi sekaligus menjembatani terwujudnya transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik secara luas. Dorongan demikian adalah kehendak demokrasi, yang sejak awal reformasi telah menjadi agenda utama bersama. Sebaliknya, istana juga berharap kedua twitter tersebut dapat menjadi saluran khusus masyarakat Indonesia secara cepat kepada Istana dan presiden. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar