Setelah jatuh terpuruk oleh sekuen kasus dan drama
politik, dan juga habisnya stok kader potensial untuk dicalonkan dalam
pemilihan presiden, kini konvensi dilihat sebagai solusi plus jalan
tengah oleh Partai Demokrat (PD). Namun pertanyaannya, wacana konvensi
yang dilempar PD kali ini apakah sama dengan apa yang dibayangkan publik?
Lalu, apakah mempunyai kompatibilitas dengan kultur kekuasaan dan pola
konstelasi politik yang bekerja di dalam banyak partai politik di
Indonesia, khususnya PD?
Konvensi adalah bentuk kandidasi eksekutif (baca:
biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader
atau publik yang berbeda-beda. Richard S. Katz (The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy,
2001) dalam bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat
fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi
perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme
politik yang simpel: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam
melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan
publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elite partai, karena majunya
seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasari pada selera
elite partai.
Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul
dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum
campaign (kampanye manipulatif). Hal inilah yang menjelaskan turbulensi
(baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai
Golkar, sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya,
konvensi yang digagas PD bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di
dalam memilih capresnya hanya berputar di kalangan elite (ketua DPD dan
DPC, misalnya), karena kandidat hanya merefleksikan selera elite minus
publik.
Melihat kultur kekuasaan dan pola konstelasi partai
yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal
wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada Pemilu 2004.
Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres
(putaran pertama), sedangkan Jusuf Kalla-yang kalah dalam konvensi-justru
menang sebagai cawapres dengan capres SBY. Ini akibat dua hal:
terbelahnya konsolidasi partai pasca-konvensi dan selera elite Golkar tak
merefleksikan selera konstituen, apalagi publik pemilih secara umum.
Dalam pengalaman pengorganisasian partai-partai di
dunia, ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat. Pertama
adalah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan
internal yang hanya bisa diikuti oleh anggota partai di seluruh daerah
secara nasional. Kedua adalah konvensi terbuka, yaitu partai politik
menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya
dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat
keanggotaan partai. Dan ketiga adalah konvensi-kongres, yaitu partai
membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua
variasi dalam model konvensi-kongres ini. Pertama, semua anggota partai
berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua,
internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau
selected voters seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak
satu pun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari
variasi model tersebut.
Alhasil, ada empat kendala pokok yang menjelaskan
ketabuan politik dalam kandidasi presiden terbuka di Indonesia. Pertama,
sistem multi-partai di Indonesia (pluralism
extreme) menciptakan segmentasi sosial yang bersifat cair dan
terpencar ke banyak kutub politik. Sehingga konvensi atau proses seleksi
kandidat terbuka sebuah partai belum tentu menarik bagi kebanyakan
publik, karena kekuatan politik yang terbagi ke banyak kutub politik akan
saling bersahutan dalam publisitas media yang menjadikannya tak terdengar
jelas. Konvensi partai yang kuat dalam tradisi politik di Amerika terjadi
karena sistem kepartaian berada dalam skema oposisi biner. Adanya dua
kutub politik yang dominan dan kuat (Demokrat dan Republik) mengkristal
menjadi pembilahan sosial yang akhirnya memunculkan tuntutan publik untuk
melakukan kandidasi secara terbuka, karena kontestasi di dalam internal
partai berbobot seimbang dengan kontestasi di luar versus partai lawan.
Kedua, banyak politikus partai di Indonesia belum
cukup dewasa untuk menghadapi munculnya faksionalisasi politik sebagai
sebuah keniscayaan di dalam organisasi partai. Penolakan sejumlah elite
politik untuk menyelenggarakan konvensi atau mekanisme demokratis di
tubuh partai di media beberapa hari ini lebih disebabkan oleh
kekhawatiran akan munculnya konflik internal.
Ketiga, adanya eksklusivitas di dalam partai politik.
Eksklusivitas ini menyangkut budaya politik di tubuh lembaga partai.
Partai cenderung dikelola secara sentralistis, sehingga keputusan politik
dan penentuan kandidat partai berada di bawah satu atau beberapa tangan
elite partai di level pusat. Eksklusivitas inilah yang memunculkan
tradisi konstelasi politik nasional: ketua umum partai adalah tiket
paling efektif untuk mendapatkan kursi calon presiden. Paul Pennings dan
Reuven Y. Hazan dalam Democratizing
Candidate Selection: Causes and Consequences (2001) menegaskan bahwa
ada banyak bentuk demokratisasi dalam metode seleksi kandidat, dan
perbedaan bentuk tersebut sangat terkait dengan inklusivitas ruling elite
dan derajat sentralitas dalam metode (struktur dan kultur) seleksi
kandidat.
Keempat, kita menemui political disorder dalam kebanyakan publik (pemilih)
Indonesia. Artinya, pemilih di Indonesia cenderung tidak mengekspos
afiliasi politiknya secara terbuka, karena menjadi simpatisan partai
masih banyak dilihat sebagai sebuah aib politik dan sosial. Di sisi lain,
menunjukkan preferensi politik secara terbuka masih dinilai sebagai
ketabuan sosial. Alhasil, karena preferensi politik sangat berjarak
dengan perilaku personal dan sosial, asumsi dasarnya adalah kandidasi
terbuka menjadi tidak penting bagi publik pemilih.
Namun, bagaimanapun juga, wacana
eksperimentasi politik dengan kandidasi yang demokratis seperti konvensi
partai menjadi penting dalam roadmap
demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi partai berpotensi dapat membuka
lorong kandidasi dari otoritas veto seorang ruling elite dalam struktur kekuasaan partai. Dan lambat laun
akan menumbangkan postulat klasik Robert Mitchels (1911) bahwa dalam
setiap organisasi, khususnya organisasi politik, selalu ada oligarki di
dalamnya. Sudah barang tentu publik-pemilih Indonesia yang semakin cerdas
memerlukan partisipasi politik yang lebih adil di luar tanggal pemungutan
suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar