Rabu, 17 April 2013

Antara Dilema dan Urgensi Konvensi Partai


Antara Dilema dan Urgensi Konvensi Partai
Arya Budi  Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 16 April 2013

  
Setelah jatuh terpuruk oleh sekuen kasus dan drama politik, dan juga habisnya stok kader potensial untuk dicalonkan dalam pemilihan presiden, kini konvensi dilihat sebagai solusi plus jalan tengah oleh Partai Demokrat (PD). Namun pertanyaannya, wacana konvensi yang dilempar PD kali ini apakah sama dengan apa yang dibayangkan publik? Lalu, apakah mempunyai kompatibilitas dengan kultur kekuasaan dan pola konstelasi politik yang bekerja di dalam banyak partai politik di Indonesia, khususnya PD? 
Konvensi adalah bentuk kandidasi eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Richard S. Katz (The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy, 2001) dalam bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elite partai, karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasari pada selera elite partai. 
Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campaign (kampanye manipulatif). Hal inilah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar, sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang digagas PD bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih capresnya hanya berputar di kalangan elite (ketua DPD dan DPC, misalnya), karena kandidat hanya merefleksikan selera elite minus publik. 
Melihat kultur kekuasaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada Pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama), sedangkan Jusuf Kalla-yang kalah dalam konvensi-justru menang sebagai cawapres dengan capres SBY. Ini akibat dua hal: terbelahnya konsolidasi partai pasca-konvensi dan selera elite Golkar tak merefleksikan selera konstituen, apalagi publik pemilih secara umum. 
Dalam pengalaman pengorganisasian partai-partai di dunia, ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat. Pertama adalah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang hanya bisa diikuti oleh anggota partai di seluruh daerah secara nasional. Kedua adalah konvensi terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Dan ketiga adalah konvensi-kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua variasi dalam model konvensi-kongres ini. Pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau selected voters seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak satu pun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari variasi model tersebut. 
Alhasil, ada empat kendala pokok yang menjelaskan ketabuan politik dalam kandidasi presiden terbuka di Indonesia. Pertama, sistem multi-partai di Indonesia (pluralism extreme) menciptakan segmentasi sosial yang bersifat cair dan terpencar ke banyak kutub politik. Sehingga konvensi atau proses seleksi kandidat terbuka sebuah partai belum tentu menarik bagi kebanyakan publik, karena kekuatan politik yang terbagi ke banyak kutub politik akan saling bersahutan dalam publisitas media yang menjadikannya tak terdengar jelas. Konvensi partai yang kuat dalam tradisi politik di Amerika terjadi karena sistem kepartaian berada dalam skema oposisi biner. Adanya dua kutub politik yang dominan dan kuat (Demokrat dan Republik) mengkristal menjadi pembilahan sosial yang akhirnya memunculkan tuntutan publik untuk melakukan kandidasi secara terbuka, karena kontestasi di dalam internal partai berbobot seimbang dengan kontestasi di luar versus partai lawan. 
Kedua, banyak politikus partai di Indonesia belum cukup dewasa untuk menghadapi munculnya faksionalisasi politik sebagai sebuah keniscayaan di dalam organisasi partai. Penolakan sejumlah elite politik untuk menyelenggarakan konvensi atau mekanisme demokratis di tubuh partai di media beberapa hari ini lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan munculnya konflik internal. 
Ketiga, adanya eksklusivitas di dalam partai politik. Eksklusivitas ini menyangkut budaya politik di tubuh lembaga partai. Partai cenderung dikelola secara sentralistis, sehingga keputusan politik dan penentuan kandidat partai berada di bawah satu atau beberapa tangan elite partai di level pusat. Eksklusivitas inilah yang memunculkan tradisi konstelasi politik nasional: ketua umum partai adalah tiket paling efektif untuk mendapatkan kursi calon presiden. Paul Pennings dan Reuven Y. Hazan dalam Democratizing Candidate Selection: Causes and Consequences (2001) menegaskan bahwa ada banyak bentuk demokratisasi dalam metode seleksi kandidat, dan perbedaan bentuk tersebut sangat terkait dengan inklusivitas ruling elite dan derajat sentralitas dalam metode (struktur dan kultur) seleksi kandidat. 
Keempat, kita menemui political disorder dalam kebanyakan publik (pemilih) Indonesia. Artinya, pemilih di Indonesia cenderung tidak mengekspos afiliasi politiknya secara terbuka, karena menjadi simpatisan partai masih banyak dilihat sebagai sebuah aib politik dan sosial. Di sisi lain, menunjukkan preferensi politik secara terbuka masih dinilai sebagai ketabuan sosial. Alhasil, karena preferensi politik sangat berjarak dengan perilaku personal dan sosial, asumsi dasarnya adalah kandidasi terbuka menjadi tidak penting bagi publik pemilih. 
Namun, bagaimanapun juga, wacana eksperimentasi politik dengan kandidasi yang demokratis seperti konvensi partai menjadi penting dalam roadmap demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi partai berpotensi dapat membuka lorong kandidasi dari otoritas veto seorang ruling elite dalam struktur kekuasaan partai. Dan lambat laun akan menumbangkan postulat klasik Robert Mitchels (1911) bahwa dalam setiap organisasi, khususnya organisasi politik, selalu ada oligarki di dalamnya. Sudah barang tentu publik-pemilih Indonesia yang semakin cerdas memerlukan partisipasi politik yang lebih adil di luar tanggal pemungutan suara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar