Selasa, 16 April 2013

Pengakuan Saja Tak Cukup


Pengakuan Saja Tak Cukup
Rahayu  Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 15 April 2013

  
Cukup mengejutkan pernyataan Menhankam Purnomo Yusgiantoro, pada Kamis (11/4/13) petang bahwa tak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kasus Cebongan. Peristiwa itu aksi spontan 11 prajurit Kopassus, tidak ada kebijakan pimpinan yang memerintah, dan serangan itu bukan genosida. 

Berdasarkan alasan itu, Menhankam menyatakan tak perlu membentuk Dewan Kehormatan Militer dan penyelesaian kasus itu bisa dilakukan melalui Pengadilan Militer, bukan Pengadilan HAM sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000. Di sisi lain, keluarga korban menghendaki kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc (SM, 12/4/13).

Insiden Sabtu Berdarah di LP Kelas II B Cebongan Sleman DIY pada 23 Maret 2013 yang menewaskan 4 tahanan, menimbulkan pro dan kontra. Bukan saja soal domain pengadilan yang memiliki yurisdiksi mengadili pelaku, melainkan juga perdebatan apakah merupakan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) atau bukan. Seperti ditulis pada rubrik ini bahwa tak mudah membuktikan kasus Cebongan sebagai pelanggaran berat HAM mengingat harus memenuhi dua syarat, yaitu sistematis dan meluas (SM, 6/4/13). Namun bukan berarti upaya itu tidak mungkin. 

Untuk menentukan terjadi tidaknya pelanggaran berat HAM dalam suatu peristiwa, diperlukan penyelidikan yang sangat seksama. Sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, demi menjaga objektivitas maka penyelidikan itu hanya boleh dilakukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga independen. 

Yang berhak menyatakan apakah kasus Cebongan merupakan pelanggaran berat HAM atau bukan pun Komnas HAM. Itu pun setelah melakukan penyelidikan seksama. Bila ternyata tidak memenuhi salah satu kategori kejahatan yang termasuk pelanggaran berat HAM, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida maka kasus itu tidak perlu diselesaikan melalui Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud UU Nomor 26 Tahun 2000. Dengan demikian, menjadi hal penting bagi Komnas HAM untuk menginvestigasi secara bersungguh-sungguh.

Pernyataan bahwa tidak terdapat pelanggaran HAM dalam kasus Cebongan, perlu diluruskan. Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa yang dimaksud pelanggaran HAM adalah tiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak; atau kelalaian, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Faktanya, kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh para prajurit itu mengakibatkan hilangnya nyawa 4 tahanan. Artinya hak hidup para tahanan yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28 A UUD 1945 dan kembali ditegaskan melalui Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai hak yang bersifat non-derogable telah dirampas secara keji.   

Menyangkut Kredibilitas

Dalam kasus ini mestinya TNI jangan terburu-buru menyatakan tidak ada pelanggaran HAM. Akan lebih bijak bila tetap memberi kesempatan kepada Komnas HAM untuk melanjutkan penyelidikan, serta memberikan semua akses dan informasi yang diperlukan. Tak tertutup kemungkinan penyelidikan semacam ini dapat dilakukan bersama-sama guna memperoleh hasil objektif. Apa pun hasilnya, bila penyelidikan dilakukan transparan oleh pihak yang memiliki wewenang, masyarakat akan menerima dengan lapang dada.

Mengenai perdebatan mekanisme peradilan yang tepat bagi pelaku, memang ada beberapa kemungkinan. Bila hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada pelanggaran berat HAM, kasus itu diadili melalui mekanisme Pengadilan HAM, bukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang hanya diperuntukkan bagi pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkan UU Nomor 26 Tahun 2000.

Mengenai keinginan kasus ini diselesaikan melalui mekanisme pengadilan sipil sebetulnya juga bukan tanpa alasan. Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 yang sampai saat ini masih berlaku menegaskan bahwa dalam hal kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana umum maka TNI atau Polri harus tunduk pada peradilan sipil. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari prinsip persamaan di depan hukum yang merupakan hal penting dalam negara hukum. Namun bila pengadilan militer menjadi pilihan untuk mengadili pelaku, hal itu bisa dilakukan bila sudah ada rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan peristiwa tersebut bukan pelanggaran berat HAM. 

Kengototan TNI menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme peradilan militer tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, dikhawatirkan makin menjauhkan rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas proses peradilan itu sendiri. Sikap kesatria yang jujur mengakui kesalahan saja ternyata belum cukup. Masih diperlukan jalan panjang bagi keterwujudan keadilan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar