Pengakuan
Saja Tak Cukup
Rahayu ; Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro
|
|
SUARA
MERDEKA, 15 April 2013
Cukup mengejutkan pernyataan
Menhankam Purnomo Yusgiantoro, pada Kamis (11/4/13) petang bahwa tak ada
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kasus Cebongan. Peristiwa itu
aksi spontan 11 prajurit Kopassus, tidak ada kebijakan pimpinan yang
memerintah, dan serangan itu bukan genosida.
Berdasarkan alasan itu, Menhankam menyatakan tak perlu membentuk Dewan
Kehormatan Militer dan penyelesaian kasus itu bisa dilakukan melalui
Pengadilan Militer, bukan Pengadilan HAM sebagaimana diatur UU Nomor 26
Tahun 2000. Di sisi lain, keluarga korban menghendaki kasus ini diselesaikan
melalui Pengadilan HAM Ad Hoc (SM, 12/4/13).
Insiden Sabtu Berdarah di LP Kelas II B Cebongan Sleman DIY pada 23 Maret
2013 yang menewaskan 4 tahanan, menimbulkan pro dan kontra. Bukan saja
soal domain pengadilan yang memiliki yurisdiksi mengadili pelaku,
melainkan juga perdebatan apakah merupakan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights)
atau bukan. Seperti ditulis pada rubrik ini bahwa tak mudah membuktikan
kasus Cebongan sebagai pelanggaran berat HAM mengingat harus memenuhi dua
syarat, yaitu sistematis dan meluas (SM, 6/4/13). Namun bukan berarti
upaya itu tidak mungkin.
Untuk menentukan terjadi tidaknya pelanggaran berat HAM dalam suatu
peristiwa, diperlukan penyelidikan yang sangat seksama. Sesuai dengan UU
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, demi menjaga objektivitas
maka penyelidikan itu hanya boleh dilakukan oleh Komnas HAM sebagai
lembaga independen.
Yang berhak menyatakan apakah kasus Cebongan merupakan pelanggaran berat
HAM atau bukan pun Komnas HAM. Itu pun setelah melakukan penyelidikan
seksama. Bila ternyata tidak memenuhi salah satu kategori kejahatan yang
termasuk pelanggaran berat HAM, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan
genosida maka kasus itu tidak perlu diselesaikan melalui Pengadilan HAM
sebagaimana dimaksud UU Nomor 26 Tahun 2000. Dengan demikian, menjadi hal
penting bagi Komnas HAM untuk menginvestigasi secara bersungguh-sungguh.
Pernyataan bahwa tidak terdapat pelanggaran HAM dalam kasus Cebongan,
perlu diluruskan. Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
menegaskan bahwa yang dimaksud pelanggaran HAM adalah tiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja
maupun tidak; atau kelalaian, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Faktanya, kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh para prajurit itu
mengakibatkan hilangnya nyawa 4 tahanan. Artinya hak hidup para tahanan
yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28 A UUD 1945 dan kembali
ditegaskan melalui Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai hak
yang bersifat non-derogable telah dirampas secara keji.
Menyangkut Kredibilitas
Dalam kasus ini mestinya TNI jangan terburu-buru menyatakan tidak ada
pelanggaran HAM. Akan lebih bijak bila tetap memberi kesempatan kepada
Komnas HAM untuk melanjutkan penyelidikan, serta memberikan semua akses
dan informasi yang diperlukan. Tak tertutup kemungkinan penyelidikan
semacam ini dapat dilakukan bersama-sama guna memperoleh hasil objektif.
Apa pun hasilnya, bila penyelidikan dilakukan transparan oleh pihak yang
memiliki wewenang, masyarakat akan menerima dengan lapang dada.
Mengenai perdebatan mekanisme peradilan yang tepat bagi pelaku, memang
ada beberapa kemungkinan. Bila hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan
ada pelanggaran berat HAM, kasus itu diadili melalui mekanisme Pengadilan
HAM, bukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang hanya diperuntukkan bagi
pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkan UU Nomor 26 Tahun
2000.
Mengenai keinginan kasus ini diselesaikan melalui mekanisme pengadilan
sipil sebetulnya juga bukan tanpa alasan. Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun
2000 yang sampai saat ini masih berlaku menegaskan bahwa dalam hal
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana umum maka TNI atau Polri
harus tunduk pada peradilan sipil. Ketentuan ini merupakan perwujudan
dari prinsip persamaan di depan hukum yang merupakan hal penting dalam
negara hukum. Namun bila pengadilan militer menjadi pilihan untuk
mengadili pelaku, hal itu bisa dilakukan bila sudah ada rekomendasi
Komnas HAM yang menyatakan peristiwa tersebut bukan pelanggaran berat
HAM.
Kengototan TNI menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme peradilan
militer tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, dikhawatirkan makin
menjauhkan rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas proses peradilan
itu sendiri. Sikap kesatria yang jujur mengakui kesalahan saja ternyata
belum cukup. Masih diperlukan jalan panjang bagi keterwujudan keadilan di
negeri ini. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar