Selasa, 16 April 2013

Agama dan Stres Zaman Kalabendhu


Agama dan Stres Zaman Kalabendhu
Saratri Wilonoyudho  Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 15 April 2013
  

Perseteruan antara Adi Bing Slamet dan Eyang Subur kini ramai. Konon Adi merasa ditipu oleh guru spiritualnya itu, padahal ia sudah 17 tahun menjadi murid. Pada sisi lain, kalangan artis seperti Tessi, Gogon, dan Nurbuat menyatakan Eyang Subur adalah tokoh spiritual yang baik. Tentu publik menjadi bingung atas dua pernyataan tersebut. Di tengah kebingungan itu Komisi III DPR berencana mengundang Eyang Subur setelah lebih dahulu meneliti materi pengaduan Adi (SM, 12/4/13).

Tulisan ringan ini tidak akan berbicara soal siapa yang benar dalam konflik tersebut, namun sekadar menunjukkan fenomena kekeringan spiritual pada zaman modern ini, yang menurut sebagian orang sudah masuk dalam zaman Kalabendhu.

Karenanya, menarik berbicara tentang zaman Kalabendhu seperti sekarang ini, sebagaimana ditulis dalam Negarakertagama yang dituturkan Goenawan Mohamad. Dalam kitab itu, Kertanegara, raja terakhir Singasari pada abad XIII, merasa hidup dalam zaman Kaliyuga, sebuah masa terakhir kehidupan bumi dalam kosmologi Hindu. Pada zaman itu, terjadi kegoncangan tata nilai, kekalutan, kebingungan, dan bencana.

Ranggawarsita menulis bait-bait dalam Kalatidha bahwa negara sedang chaos karena tanpa keteladanan dari sang pemimpin. Dalam konteks kekinian, para calon pemimpin negeri ini hanya mengejar harta dan kedudukan hingga menimbulkan ’’bencana’’ dan ’’bentrokan’’ sebagaimana diperlihatkan dari berbagai pilkada di negeri ini.

Merujuk pandangan itu, manusia sebagai unsur dunia kosmis magis, harus tunduk pada siklus, dan hanya sekadar menunggu fatum atau nasib. Dalam pandangan Islam tradisional sebagaimana dikatakan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, Tuhan merupakan realitas absolut tak terhingga. 

Kalau Tuhan diibaratkan samudera tak terhingga maka manusia hanyalah percikan dari samudera Ilahi tersebut sehingga muncul konsep jabbariyah atau paham fatalisme (Simuh,1985). Pandangan ini cocok dengan paham Jawa yang lain seperti urip mung sak drema nglakoni atau urip mung mampir ngombe. 

Namun bagi mereka yang meyakini Tuhan itu adil maka pepatah Jawa sawang-sinawang harus dicermati. Di tengah keberlimpahan kekayaan, kehidupan seseorang belum tentu tenteram. Semisal banyak kasus orang kaya masih korupsi atau terjebak narkoba, demikian pula artis glamour yang hidupnya berakhir tragis, menunjukkan hal itu.

Kemudahan mencari rezeki para artis ternyata diimbangi dengan cara hidup glamour sehingga kekayaan mudah habis. Banyak teman main, teman kerja yang cantik atau ganteng, membuat mereka mudah berselingkuh. Kesibukan mencari popularitas dan uang menyebabkan hidup kemrungsung, jauh dari kehidupan religius, meski beragama.

Di tengah kesulitan hidup, di tengah zaman Kalabendhu, dan kegersangan spiritualitas banyak artis dan orang kaya yang stres, sibuk mencari guru atau perkumpulan spiritual. Semua modernitas dalam arti sistem sosial memberi petunjuk ke arah mana dunia bergerak. Orang banyak mendesakkan diri, menggantikan kenyamanan alamiah dengan yang buatan manusia. Di sinilah ketenteraman hidup dipertaruhkan.

Zikir Lahir Batin

Yang stres ternyata tidak hanya kaum miskin, tapi juga bos dan artis kaya raya. Kisah bos Hyundai Korea yang bunuh diri, terjun dari lantai atas hotel menunjukkan hal itu. Demikian pula keramaian pengajian di hotel berbintang lima dengan mengundang dai terkenal, menunjukkan kegelisahan sebagian kaum kaya untuk lari ke dunia spiritual. Karenanya, pencucian hati merupakan dasar bagi ketenteraman hidup. Al Ghazali memberi resep mengembalikan ketenteraman hidup dengan jalan membelakangi dunia. Selama masih ada dunia di tangan maka kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat mustahil mandi madu tanpa dikerumuni semut.

Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman batin amat sulit dijalani. Setidak-tidaknya ada tujuh langkah, yakni pengamalan maqam tobat. Dalam pengertian tasawuf adalah pengalihan dari hidup terlena, ke arah hidup yang selalu mengingat Tuhan. Maka laku mengingat 

Tuhan adalah langkah awal pembinaan budi luhur. Zikir lahir batin merupakan jalan pertama. Kemudian wara atau menjauhi hal-hal yang tidak jelas halal haramnya, mencari sesuatu yang jelas kehalalannya, laku zuhud atau menyedikitkan kebutuhan duniawi yang halal, kemudian tawakal, sabar, dan ikhlas.

Arti menyedikitkan kebutuhan tidak melarang manusia untuk mencari harta, asal halal dan diambil secukupnya guna memenuhi kebutuhan hidup. Ini artinya menjadi sufi tidak harus mengasingkan diri dari keramaian duniawi. 
Orang jawa bilang tapa ngrame dan Abu yazid Al Busthami mengatakan zuhud (sufisme) adalah tidak memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia. Artinya silakan mencari sebanyak-banyaknya harta (tentu yang halal, termasuk cara) namun jangan menjadi budak dunia.

Lewat langkah itu, diharapkan kemungkinan orang bunuh diri, mencari dukun agar terkenal, mengonsumsi narkoba, berselingkuh, tidak akan terjadi. Manusia tidak begitu saja percaya kepada ’’guru’’, memercayai tuah Gunung Kawi, Gunung Kemukus, pesugihan, karena yang ia yakini adalah pemeliharaan dari Tuhan. Jika itu dihayati mendalam, tak akan ada kegelisahan hidup, yang ada ketenteraman. Ini berarti ia telah mencapai maqam tertinggi. Alangkah indah memiliki popularitas, materi sekaligus kedalaman spiritualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar