Perseteruan antara Adi Bing
Slamet dan Eyang Subur kini ramai. Konon Adi merasa ditipu oleh guru
spiritualnya itu, padahal ia sudah 17 tahun menjadi murid. Pada sisi
lain, kalangan artis seperti Tessi, Gogon, dan Nurbuat menyatakan Eyang
Subur adalah tokoh spiritual yang baik. Tentu publik menjadi bingung atas
dua pernyataan tersebut. Di tengah kebingungan itu Komisi III DPR
berencana mengundang Eyang Subur setelah lebih dahulu meneliti materi
pengaduan Adi (SM, 12/4/13).
Tulisan ringan ini tidak akan berbicara soal siapa yang benar dalam
konflik tersebut, namun sekadar menunjukkan fenomena kekeringan spiritual
pada zaman modern ini, yang menurut sebagian orang sudah masuk dalam
zaman Kalabendhu.
Karenanya, menarik berbicara tentang zaman Kalabendhu seperti sekarang
ini, sebagaimana ditulis dalam Negarakertagama yang dituturkan Goenawan
Mohamad. Dalam kitab itu, Kertanegara, raja terakhir Singasari pada abad
XIII, merasa hidup dalam zaman Kaliyuga, sebuah masa terakhir kehidupan
bumi dalam kosmologi Hindu. Pada zaman itu, terjadi kegoncangan tata
nilai, kekalutan, kebingungan, dan bencana.
Ranggawarsita menulis bait-bait dalam Kalatidha bahwa negara sedang chaos karena tanpa keteladanan
dari sang pemimpin. Dalam konteks kekinian, para calon pemimpin negeri ini
hanya mengejar harta dan kedudukan hingga menimbulkan ’’bencana’’ dan
’’bentrokan’’ sebagaimana diperlihatkan dari berbagai pilkada di negeri
ini.
Merujuk pandangan itu, manusia sebagai unsur dunia kosmis magis, harus
tunduk pada siklus, dan hanya sekadar menunggu fatum atau nasib. Dalam
pandangan Islam tradisional sebagaimana dikatakan Annemarie Schimmel
dalam Mystical Dimension of Islam,
Tuhan merupakan realitas absolut tak terhingga.
Kalau Tuhan diibaratkan samudera tak terhingga maka manusia hanyalah
percikan dari samudera Ilahi tersebut sehingga muncul konsep jabbariyah atau paham fatalisme
(Simuh,1985). Pandangan ini cocok dengan paham Jawa yang lain seperti urip mung sak drema nglakoni atau urip mung mampir ngombe.
Namun bagi mereka yang meyakini Tuhan itu adil maka pepatah Jawa sawang-sinawang harus dicermati.
Di tengah keberlimpahan kekayaan, kehidupan seseorang belum tentu
tenteram. Semisal banyak kasus orang kaya masih korupsi atau terjebak
narkoba, demikian pula artis glamour yang hidupnya berakhir tragis,
menunjukkan hal itu.
Kemudahan mencari rezeki para artis ternyata diimbangi dengan cara hidup
glamour sehingga kekayaan mudah habis. Banyak teman main, teman kerja
yang cantik atau ganteng, membuat mereka mudah berselingkuh. Kesibukan
mencari popularitas dan uang menyebabkan hidup kemrungsung, jauh dari
kehidupan religius, meski beragama.
Di tengah kesulitan hidup, di tengah zaman Kalabendhu, dan kegersangan
spiritualitas banyak artis dan orang kaya yang stres, sibuk mencari guru
atau perkumpulan spiritual. Semua modernitas dalam arti sistem sosial
memberi petunjuk ke arah mana dunia bergerak. Orang banyak mendesakkan
diri, menggantikan kenyamanan alamiah dengan yang buatan manusia. Di
sinilah ketenteraman hidup dipertaruhkan.
Zikir Lahir Batin
Yang stres ternyata tidak hanya kaum miskin, tapi juga bos dan artis kaya
raya. Kisah bos Hyundai Korea yang bunuh diri, terjun dari lantai atas
hotel menunjukkan hal itu. Demikian pula keramaian pengajian di hotel
berbintang lima dengan mengundang dai terkenal, menunjukkan kegelisahan
sebagian kaum kaya untuk lari ke dunia spiritual. Karenanya, pencucian
hati merupakan dasar bagi ketenteraman hidup. Al Ghazali memberi resep
mengembalikan ketenteraman hidup dengan jalan membelakangi dunia. Selama
masih ada dunia di tangan maka kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap
ada. Ibarat mustahil mandi madu tanpa dikerumuni semut.
Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman batin amat sulit
dijalani. Setidak-tidaknya ada tujuh langkah, yakni pengamalan maqam
tobat. Dalam pengertian tasawuf adalah pengalihan dari hidup terlena, ke
arah hidup yang selalu mengingat Tuhan. Maka laku mengingat
Tuhan adalah langkah awal pembinaan budi luhur. Zikir lahir batin
merupakan jalan pertama. Kemudian wara atau menjauhi hal-hal yang tidak
jelas halal haramnya, mencari sesuatu yang jelas kehalalannya, laku zuhud atau menyedikitkan kebutuhan
duniawi yang halal, kemudian tawakal, sabar, dan ikhlas.
Arti menyedikitkan kebutuhan tidak melarang manusia untuk mencari harta,
asal halal dan diambil secukupnya guna memenuhi kebutuhan hidup. Ini
artinya menjadi sufi tidak harus mengasingkan diri dari keramaian
duniawi.
Orang jawa bilang tapa ngrame dan Abu yazid Al Busthami mengatakan zuhud (sufisme) adalah tidak
memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia. Artinya silakan mencari
sebanyak-banyaknya harta (tentu yang halal, termasuk cara) namun jangan
menjadi budak dunia.
Lewat langkah itu, diharapkan kemungkinan orang bunuh diri, mencari dukun
agar terkenal, mengonsumsi narkoba, berselingkuh, tidak akan terjadi.
Manusia tidak begitu saja percaya kepada ’’guru’’, memercayai tuah Gunung
Kawi, Gunung Kemukus, pesugihan, karena yang ia yakini adalah
pemeliharaan dari Tuhan. Jika itu dihayati mendalam, tak akan ada
kegelisahan hidup, yang ada ketenteraman. Ini berarti ia telah mencapai
maqam tertinggi. Alangkah indah memiliki popularitas, materi sekaligus
kedalaman spiritualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar