Tim Investigasi TNI-AD yang dipimpin Brigjen
Unggul K. Yudhoyono membuat kesimpulan yang pantas dicermati. Para oknum
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang mendatangi Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Sleman, Jogjakarta, pada 23 Maret dini hari dan membunuh empat
tahanan titipan dari Polda Daerah Istimewa Jogyakarta (DIJ) adalah
didasari oleh ''jiwa korsa'' yang tinggi.
Tindakan itu dianggap merupakan reaksi atas pembunuhan
terhadap Serka Heru Santoso pada 19 Maret dan penyerangan terhadap Serka
Sriyono sehari kemudian. Kedua korban adalah atasan dan rekan pelaku.
Sedangkan, empat tahanan yang dibunuh adalah yang melakukan pembunuhan
dan pengeroyokan terhadap Heru Santoso dan Sriyono. Keempatnya juga
disebut bagian ''kelompok preman'' (meskipun, keluarga mereka keberatan
empat korban penyerbuan itu disebut preman).
Istilah ''jiwa korsa'' menjadi pembicaraan di mana-mana
setelah kejadian itu. Jiwa korsa adalah terjemahan dari bahasa Prancis esprit de corps (esprit= semangat, corps=tubuh).
Jadi, itu secara harfiah berarti ''semangat tubuh''. Istilah yang selalu
dipakai di dunia ketentaraan tersebut merupakan metafora bahwa organisasi
dan pekerjaan militer itu ibarat tubuh.
Sebagaimana halnya tubuh, setiap anggota memiliki tugas
dan fungsi yang berbeda, tetapi saling bergantung dan saling menentukan
keberhasilan tujuan. Ketika salah satu anggota menjalankan fungsi dan
tugas tertentu, pada hakikatnya seluruh anggota harus turut
melaksanakannya. Begitu juga ketika bagian tubuh tertentu tersakiti,
anggota tubuh yang lain pun ikut merasa tersakiti.
Kurang lebih seperti itulah pola kerja dan hubungan di
antara para anggota dalam organisasi dan pekerjaan di dunia militer.
Menurut ilmuwan militer Amos Perlmutter, selain jiwa
korsa, masih ada tiga nilai dasar yang menjadi landasan tentara
profesional mana pun, yaitu keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan ideologi militer (military ideology).
Keahlian yang dimaksud adalah dalam hal mengelola dan
menggunakan alat kekerasan yang sah. Keahlian yang eksistensinya
dilindungi undang-undang itu diabdikan untuk memberikan pelayanan kepada
kliennya, yaitu negara.
Di dalam menggunakan keahlian itu juga tidak boleh
sembarangan, melainkan harus didasari oleh adanya tanggung jawab sosial.
Menjaga kedaulatan negara terhadap ancaman musuh melalui operasi militer
perang (military operation by
war) adalah puncak tanggung jawab
sosial tentara.
Dalam lingkup kecil, yaitu dalam kehidupan sehari-hari,
tanggung jawab sosial tentara itu bisa berwujud pertolongan dan pembelaan
terhadap anggota masyarakat yang keselamatannya terancam. Ancaman itu
bisa datang dari orang maupun selain orang, misalnya, oleh bencana alam.
Karena itulah, tentara termasuk yang dipanggil pertama ke lokasi bencana
alam yang besar dan berat. Apabila untuk melakukan pertolongan itu
diperlukan kekuatan besar, dilakukanlah operasi militer selain perang (military operation other than war-MOOTW).
Sangat bisa jadi pada suatu saat seorang prajurit
dihadapkan kepada pilihan sulit. Ketika jiwa korsa dan tanggung jawab
sosial itu harus diterapkan justru dianggap bertabrakan dengan tata nilai
tertentu. Misalnya, berhadapan dengan masalah pelanggaran hukum, bahkan
hak asasi manusia. Di sini integritas seorang prajurit dalam memahami
makna jiwa korsa dan tanggung jawab sosial dipertaruhkan.
Bisa saja seorang prajurit lebih memilih bertindak demi
dorongan jiwa korsa dan panggilan rasa tanggung sosial yang diyakininya
walaupun untuk itu berarti dia harus melanggar hukum. Kalau akhirnya dia
harus menerima hukuman gara-gara tindakannya, itu adalah risiko seorang
prajurit. Sudah seharusnya kalau dia akan menerima dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab secara kesatria.
Tanpa bermaksud memengaruhi proses hukum yang sedang
berjalan, kalau benar kesimpulan Tim Investigasi TNI bahwa tindakan oknum
Kopassus dalam kasus Lapas Cebongan itu didorong oleh jiwa korsa, saya
berani katakan bahwa kasus tersebut tidak bisa disamakan dengan oknum TNI
yang melakukan pembunuhan karena dibayar.
Begitu juga apabila benar bahwa yang menjadi sasaran
pembunuhan adalah kelompok preman, sedikit banyak mereka melakukan karena
adanya rasa tangung jawab sosial. Bahwa apa yang mereka lakukan itu memang
melanggar hukum dan oleh sebab itu harus dijatuhi hukuman yang setimpal,
itu soal lain.
Itulah risiko profesi tentara, yang kontraknya bukan
hanya harus siap menerima hukuman, tetapi bahkan harus siap mati.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar