Kamis, 11 April 2013

Nilai Jiwa Korsa Tentara


Nilai Jiwa Korsa Tentara
Muhadjir Effendy  ;  Dosen Univ Negeri Malang, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Menulis disertasi tentang Profesi Militer
JAWA POS, 11 April 2013

  
Tim Investigasi TNI-AD yang dipimpin Brigjen Unggul K. Yudhoyono membuat kesimpulan yang pantas dicermati. Para oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Jogjakarta, pada 23 Maret dini hari dan membunuh empat tahanan titipan dari Polda Daerah Istimewa Jogyakarta (DIJ) adalah didasari oleh ''jiwa korsa'' yang tinggi. 

Tindakan itu dianggap merupakan reaksi atas pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso pada 19 Maret dan penyerangan terhadap Serka Sriyono sehari kemudian. Kedua korban adalah atasan dan rekan pelaku. Sedangkan, empat tahanan yang dibunuh adalah yang melakukan pembunuhan dan pengeroyokan terhadap Heru Santoso dan Sriyono. Keempatnya juga disebut bagian ''kelompok preman'' (meskipun, keluarga mereka keberatan empat korban penyerbuan itu disebut preman). 

Istilah ''jiwa korsa'' menjadi pembicaraan di mana-mana setelah kejadian itu. Jiwa korsa adalah terjemahan dari bahasa Prancis esprit de corps (esprit= semangat, corps=tubuh). Jadi, itu secara harfiah berarti ''semangat tubuh''. Istilah yang selalu dipakai di dunia ketentaraan tersebut merupakan metafora bahwa organisasi dan pekerjaan militer itu ibarat tubuh. 

Sebagaimana halnya tubuh, setiap anggota memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi saling bergantung dan saling menentukan keberhasilan tujuan. Ketika salah satu anggota menjalankan fungsi dan tugas tertentu, pada hakikatnya seluruh anggota harus turut melaksanakannya. Begitu juga ketika bagian tubuh tertentu tersakiti, anggota tubuh yang lain pun ikut merasa tersakiti. 

Kurang lebih seperti itulah pola kerja dan hubungan di antara para anggota dalam organisasi dan pekerjaan di dunia militer. 

Menurut ilmuwan militer Amos Perlmutter, selain jiwa korsa, masih ada tiga nilai dasar yang menjadi landasan tentara profesional mana pun, yaitu keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan ideologi militer (military ideology). 

Keahlian yang dimaksud adalah dalam hal mengelola dan menggunakan alat kekerasan yang sah. Keahlian yang eksistensinya dilindungi undang-undang itu diabdikan untuk memberikan pelayanan kepada kliennya, yaitu negara. 

Di dalam menggunakan keahlian itu juga tidak boleh sembarangan, melainkan harus didasari oleh adanya tanggung jawab sosial. Menjaga kedaulatan negara terhadap ancaman musuh melalui operasi militer perang (military operation by war) adalah puncak tanggung jawab sosial tentara. 

Dalam lingkup kecil, yaitu dalam kehidupan sehari-hari, tanggung jawab sosial tentara itu bisa berwujud pertolongan dan pembelaan terhadap anggota masyarakat yang keselamatannya terancam. Ancaman itu bisa datang dari orang maupun selain orang, misalnya, oleh bencana alam. Karena itulah, tentara termasuk yang dipanggil pertama ke lokasi bencana alam yang besar dan berat. Apabila untuk melakukan pertolongan itu diperlukan kekuatan besar, dilakukanlah operasi militer selain perang (military operation other than war-MOOTW). 

Sangat bisa jadi pada suatu saat seorang prajurit dihadapkan kepada pilihan sulit. Ketika jiwa korsa dan tanggung jawab sosial itu harus diterapkan justru dianggap bertabrakan dengan tata nilai tertentu. Misalnya, berhadapan dengan masalah pelanggaran hukum, bahkan hak asasi manusia. Di sini integritas seorang prajurit dalam memahami makna jiwa korsa dan tanggung jawab sosial dipertaruhkan. 

Bisa saja seorang prajurit lebih memilih bertindak demi dorongan jiwa korsa dan panggilan rasa tanggung sosial yang diyakininya walaupun untuk itu berarti dia harus melanggar hukum. Kalau akhirnya dia harus menerima hukuman gara-gara tindakannya, itu adalah risiko seorang prajurit. Sudah seharusnya kalau dia akan menerima dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab secara kesatria. 

Tanpa bermaksud memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan, kalau benar kesimpulan Tim Investigasi TNI bahwa tindakan oknum Kopassus dalam kasus Lapas Cebongan itu didorong oleh jiwa korsa, saya berani katakan bahwa kasus tersebut tidak bisa disamakan dengan oknum TNI yang melakukan pembunuhan karena dibayar. 

Begitu juga apabila benar bahwa yang menjadi sasaran pembunuhan adalah kelompok preman, sedikit banyak mereka melakukan karena adanya rasa tangung jawab sosial. Bahwa apa yang mereka lakukan itu memang melanggar hukum dan oleh sebab itu harus dijatuhi hukuman yang setimpal, itu soal lain. 

Itulah risiko profesi tentara, yang kontraknya bukan hanya harus siap menerima hukuman, tetapi bahkan harus siap mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar