Kamis, 11 April 2013

Problem Penganggaran Pendidikan


Problem Penganggaran Pendidikan
Darmaningtyas  ;  Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa, Jakarta
KORAN TEMPO, 11 April 2013

  
Para penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) mengeluhkan keterlambatan pembayaran beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga mengganggu kelancaran studi. Bagi mereka, uang beasiswa itu memang tiang penyangga utama, karena mereka memang berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Karena itu, beasiswa tidak hanya untuk membayar Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP), tapi juga untuk biaya kebutuhan pribadi (bayar kos, makan, beli buku, dan lain-lain). Keterlambatan pembayaran beasiswa berarti terganggunya kehidupan mereka sehari-hari. Keterlambatan pencairan beasiswa tidak hanya terjadi pada Bidikmisi, tapi juga pada beasiswa lainnya, seperti beasiswa bagi para dosen yang melanjutkan S2 dan S3 di luar negeri. 
Bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sendiri, keterlambatan pembayaran itu amat menyedihkan dan menjadi beban moral sendiri. Mereka menyadari dampak buruknya, termasuk akan terkena tembakan langsung dari masyarakat. Tapi keterlambatan tersebut di luar jangkauannya. Informasi yang akurat menyebutkan bahwa keterlambatan pembayaran Bidikmisi 2013 ini disebabkan oleh adanya pemblokiran anggaran untuk Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan. Anggaran untuk Bidikmisi merupakan salah satu item anggaran yang dibuka blokirnya pada pertengahan Maret, namun tidak serta-merta dapat disalurkan kepada para penerima. Semula diperkirakan prosesnya akan cepat, tetapi ternyata muncul persyaratan baru, yaitu agar Kemdikbud memiliki rekening baru khusus untuk penyaluran Bidikmisi agar terpantau dengan baik, karena skema ini merupakan bantuan sosial. Berdasarkan PMK Nomor 81 Tahun 2012, semua bantuan sosial harus langsung disalurkan ke penerima. 
Dengan adanya ketentuan baru tersebut, jalan yang paling aman bagi Kemdikbud, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, adalah kerja sama dengan bank penyalur. Maka, kemudian Kemdikbud pun awal tahun ini melakukan e-procurement untuk menyeleksi bank, dan terpilihlah Bank Mandiri sebagai bank yang memenuhi kriteria. Pada saat ini, MoU antara Kemdikbud dan Bank Mandiri sudah dilakukan dan daftar mahasiswa penerima Bidikmisi sudah di-SK-kan oleh rektor masing-masing, meski belum semua rektor menyerahkan data tersebut. Pada saat ini, Kemdikbud siap menyalurkan dana beasiswa tersebut ke sekitar 61 ribu mahasiswa yang tersebar di 68 PT, namun proses tersebut juga terhambat karena masih menunggu surat persetujuan dari Dirjen Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan pada 9 April 2013. Demikianlah proses perjalanan beasiswa itu, begitu panjang dan berbelit. 
Berdasarkan kronologi di atas, jelas bahwa keterlambatan pembayaran Bidikmisi maupun beasiswa lain bersumber dari Kementerian Keuangan, yang sempat memblokir anggaran untuk Kemdikbud. Dalam konteks keterlambatan penyaluran Bidikmisi dan beasiswa lain, Kemdikbud pun menjadi korban dari mekanisme pengelolaan anggaran negara yang ditandai dengan kuatnya "rezim keuangan". 
Rezim Keuangan
Rezim keuangan adalah suatu tatanan pengelolaan keuangan negara yang dikendalikan penuh oleh Kementerian Keuangan dan menentukan hidup-mati suatu kementerian/lembaga (K/L) teknis. Akibat keterlambatan pencairan anggaran di Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan itu pula, proses implementasi kurikulum baru pun terganggu. Pencairan anggaran yang terlambat menyebabkan tender pengadaan buku pelajaran tertunda, dan itu berdampak tertundanya pelatihan untuk para guru, dan secara otomatis tertundanya implementasi kurikulum. Sebab, bagaimana mungkin para guru diminta mengimplementasikan kurikulum baru, sementara mereka sendiri belum mengenal sosok kurikulumnya? Terlambatnya pencairan anggaran untuk Kemdikbud disebabkan adanya mata anggaran yang dibintangi oleh Kementerian Keuangan, yaitu anggaran untuk pengadaan buku. 
Kasus keterlambatan pencairan Daftar Isian Penggunaan Anggaran di Kemdikbud dan efeknya pada keterlambatan penyaluran Bidikmisi itu hanyalah salah satu contoh dari kuatnya rezim keuangan di negeri ini. Di kementerian/lembaga (K/L) lain juga sering terjadi keterlambatan pencairan anggaran, sehingga pemandangan rutin yang dapat disaksikan pada ritme kerja pegawai negeri adalah antara Januari dan Maret, mereka tidak banyak melakukan aktivitas. April-Juni proses tender, dan baru setelah Juli hampir semua kegiatan menumpuk. Puncaknya adalah setiap November-Desember, hotel-hotel selalu dipenuhi oleh K/L yang mengadakan acara (diskusi, seminar, workshop, dan sejenisnya). Semuanya menghabiskan penyerapan anggaran yang sudah mendekati tutup tahun. Dalam bahasa para staf, pada Januari-Maret itu "mantab" alias makan tabungan, karena tidak ada pendapatan lain dari hasil kegiatan K/L. 
Kondisi ini berulang selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah mengalami perbaikan. Akhirnya, anggaran negara tidak jatuh kepada masyarakat luas, melainkan hanya jatuh ke segelintir orang (konsultan, kontraktor, pengelola hotel, EO, maskapai penerbangan, biro travel, pakar, dan sejenisnya). Semuanya itu terjadi akibat dari kuatnya rezim keuangan yang selalu terlambat dalam memberikan DIPA kepada K/L teknis, sehingga mindset K/L pada akhir tahun adalah yang penting anggaran terserap semua, sehingga tahun depan anggaran tidak dipotong. 
Mekanisme pencairan anggaran yang selalu terlambat sampai tiga bulan itu menimbulkan keheranan bagi orang awam seperti penulis, mengingat program di masing-masing K/L sudah selesai disusun pada Juli dan APBN sudah disetujui oleh DPR pada November tahun sebelumnya. Semestinya, anggaran itu sudah dapat dicairkan paling lambat akhir Januari. Tapi mengapa hal itu tidak pernah terjadi? Jadi, persoalan daya serap anggaran yang rendah bukan hanya tanggung jawab K/L teknis, tapi juga tanggung jawab Kementerian Keuangan yang selalu terlambat mencairkan DIPA ke K/L.
Mekanisme pencairan DIPA yang selalu terlambat juga berpotensi mengajarkan ketidakjujuran. Mengapa? Karena K/L dituntut untuk segera melaksanakan program, tapi DIPA belum turun. Akhirnya, para pemimpin K/L yang berani mengambil risiko kemudian memilih menjalankan program tersebut lebih dulu dengan anggaran gali lubang tutup lubang. Cara yang demikian kurang bagus dari aspek akuntabilitas, tapi terpaksa harus dilakukan karena kondisi birokrasinya memaksa demikian. Semoga Kementerian Keuangan belajar dari pengalaman buruk tersebut dan berubah menjadi lebih baik. Mindset mereka perlu diubah agar lebih berorientasi pada perwujudan kesejahteraan masyarakat dan optimalisasi penggunaan anggaran negara daripada berpaku pada keteraturan administratif saja. Administrasi itu alat saja, bukan tujuan. Tujuannya adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar