Dalam hitungan maju sejak
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diberlakukan,
cengkeraman dinasti politik di setiap daerah semakin menguat. Pilkada
makin ditandai dengan pesta keluarga.
Dalam lingkup sempit, horizontal
dan vertikal, para anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah pejabat
petahana mencalonkan diri dalam arena pilkada. Dalam arti luas, para
keponakan dan menantu juga tak mau ketinggalan.
Selama satu dasawarsa terakhir,
di sejumlah daerah, mata rantai alih kuasa dalam satu dinasti politik
makin tak kenal jeda. Proses demokrasi di daerah dengan mekanisme pilkada
hanya jadi pesta besar sejumlah dinasti. Kuasa dinasti yang mencengkeram
sejumlah daerah ini pun berkelindan dengan kepentingan dinasti di level
lokal dan nasional. Anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala
daerah pun ramai-ramai bertarung dalam kontes pemilu legislatif untuk
DPRD, DPD, dan DPR. Sistem politik yang dibangun dengan semangat
demokrasi makin dibajak oleh sejumlah dinasti.
Belenggu Dinasti Politik
Sudah saatnya kita belajar dari
dampak negatif dinasti politik di sejumlah negara. Pada masa Orde Baru, dinasti
politik telah menjadi ”momok” dan diyakini menjadi penyebab utama
maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Data dari Kementerian Dalam
Negeri mengidentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti
politik di beberapa daerah di Indonesia (2013). Dari 57 kepala daerah
yang mencalonkan para anggota keluarga yang memiliki pertalian darah,
hanya 17 di antaranya yang kalah di arena pilkada. Selebihnya, mereka
menjadi pemenang menggantikan kekuasaan keluarganya.
Menguatnya politik dinasti di
sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan
para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik
bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin
rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam
dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta
penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.
Menguatnya lapisan dinasti
politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan
demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik
pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi
sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan
publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan
sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan—yang mestinya
bersifat terbuka—kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.
Kedua, dominasi dan belenggu
dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah ”personalisasi
dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem demokrasi
kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar
di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan
dikelola oleh parpol—yang mestinya untuk kepentingan publik—pada akhirnya
diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.
Ketiga, menguatnya dominasi dan
belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik
dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup,
dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus
dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase
generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang
perebutan aset publik.
Keempat, menguatnya dominasi dan
belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik.
Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan
mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena
politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik
dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.
Mencari Ambang Batas
Dominasi dan cengkeraman dinasti
politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki
akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit
mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan
kekuasaan.
Maka, tepat jika RUU Pilkada
yang saat ini diusulkan pemerintah mengusulkan adanya jeda pencalonan
bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Pasal 70 (p) menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat
ditetapkan jadi calon bupati/wali kota adalah yang tidak punya ikatan
perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping
dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal
satu masa jabatan.
Ketentuan di atas jadi penting
dimasukkan dalam RUU Pilkada mengingat potensi konflik kepentingan
pejabat petahana terhadap calon kepala daerah yang memiliki hubungan
darah akan tak terhindarkan. Meski Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah
larangan dalam kampanye adalah di mana calon kepala daerah tidak boleh
melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan
perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh
pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah.
Meskipun Pasal 94 Ayat (1)
menegaskan, ”pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam
jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa
kampanye”, tetap saja fakta di lapangan menunjukkan sejumlah pejabat
petahana membuat sejumlah kebijakan politik yang menguntungkan calon
kepala daerah yang menjadi kerabatnya.
Meski Pasal 92 (f) menyebutkan
bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran
pemerintah dan pemerintah daerah, dan hal ini merupakan tindak pidana dan
dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 95
Syat 1), dalam pelaksanaannya tindakan penegakan hukum atas hal itu
sangat lemah. Karena itu, Pasal 70 (p) di atas jadi kunci utama
mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas yang
dimiliki pejabat petahana.
Gejala penguatan cengkeraman
dinasti politik di sejumlah daerah, bagaimanapun, akan menggerus
nilai-nilai demokratisasi di Indonesia. Tak semua menyadari bahaya yang
mengancam di balik cengkeraman dinasti politik di setiap daerah.
Sebaliknya, banyak di antara mereka yang telanjur nyaman dengan
cengkeraman keluarga dinasti politik tertentu.
Adalah tanggung jawab negara
untuk mengatur kembali ambang batas dominasi dinasti politik dalam
pilkada. Mereka yang menjadi anggota keluarga dekat—baik vertikal maupun
horizontal—dari pejabat petahana tentu tidak akan dihilangkan haknya
sebagai warga negara sebagai calon kepala daerah. Beragam moral hazard
dari pejabat petahana dan keluarganya—yang berdampak pada penyalahgunaan
kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya di arena pilkada untuk
menguntungkan mereka—sedini mungkin harus dicegah agar monopoli kekuasaan
tidak membunuh nilai-nilai demokratisasi di setiap daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar