Kemajuan teknologi kamera memang banyak
menguntungkan. Setidaknya dapat bermanfaat untuk kepentingan pengamanan.
Di negara
maju kebanyakan kamera dipasang untuk pengintai kecepatan kendaraan.
Demikian juga kamera dipasang pada tempat parkir kendaraan, ruangan, dan
gedung-gedung vital. Termasuk di kebanyakan toserba, mal perbelanjaan,
perbankan, dan tempat-tempat di mana transaksi keuangan kas tunai ada.
Belakangan kamera pengintai juga sudah mulai diminati beberapa rumah
tangga.
Salah satunya
dipasang di depan pagar sehingga tamu ataupun anggota rumah tangga yang
akan masuk rumah dapat diketahui dan memudahkan koordinasi untuk
membukakan pintu. Namun, akhir-akhir ini muncul pula pemanfaatan kamera
pengintai mulai masuk dunia pendidikan. Di Universitas Andalas (Unand)
misalnya sudah mulai pada gedunggedung tertentu yang dipasangi kamera.
Di
sekolah-sekolah tertentu diberitakan mulai dipasangi kamera pengintai,
termasuk untuk mengintai pelaksanaan ujian nasional. Tujuan dipasang
kamera itu salah satunya untuk mengontrol kehadiran dosen, mahasiswa,
atau mengontrol mahasiswa yang masuk, mengikuti perkuliahan, dan bahkan
untuk mengawasi berbagai proses ujian, agar mereka tidak mencontek saat
ujian, bekerja sama, atau membuat kecurangan di dalam kelas.
Bagi saya,
kegunaan kamera pengintai lebih sebaiknya dimaksudkan untuk pengamanan
kejahatan seperti di sel tahanan, penjara, bank, dan tempat- tempat di
mana kemungkinan terjadi kejahatan (crime)
atau tidak untuk ditempatkan pada dunia pendidikan. Menempatkan kamera di
dunia pendidikan sama artinya kita menepiskan sebuah proses di mana dalam
dunia pendidikan perlu dibangun kepercayaan “trust”.
Sama dalam
proses beribadah, yang dibangun adalah “trust”, tidak diperlukan
pengawalan dari orang lain akan rukuk dan sujud dari yang melaksanakan
salat. Hanya, kalau di Masjidilharam, pengamanan imam diperlukan untuk
menghindarkan seseorang atau kelompok yang tidak bisa menahan emosi dan
melakukan pengacauan dalam proses pelaksanaan salat. Kenapa kamera
pengintai tidak diperlukan di dunia pendidikan, apalagi di dalam kelas
untuk menjaga ujian? Pertama,mengadakan teknologi kamera di sekolah bisa
membuat sesat dunia pendidikan.
Kenapa,
karena biaya pengadaan kamera tidak kecil. Kalaupun ada satu, pengadaan
kamera juga membutuhkan kantor yang memerlukan manusia yang mengontrol
bekerjanya kamera itu. Singkat kata, biaya dan tenaga untuk
mengoperasikannya diperlukan. Sementara pembiayaan untuk itu sebenarnya
tidak banyak kaitannya dengan proses belajar mengajar, bahkan tidak ada
kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kedua, perlu dibangun sikap
kepercayaan “trust” yang
tinggi.
Kalau dalam
proses ujian, sebenarnya penetapan sanksi jauh lebih penting dibandingkan
penerapan dari tertangkapnya dari kamera saat manusia masih dapat
dianggap penting untuk melakukan pengawasan dalam proses ujian
berlangsung.
Di negara
maju, untuk mengatasi masalah kecurangan dalam proses ujian, disusun
ketentuan internal perguruan tinggi yang sangat ketat. Mahasiswa
menandatangani pakta integritas akan proses ujian dan mereka yang
kedapatan melanggar akan dikenakan sanksi berupa pembatalan seluruh hasil
ujian yang sudah lolos. Ini dilaksanakan secara jelas dan tegas sehingga
proses mencontek tidak terjadi seperti semasif yang ada dalam dunia
pendidikan kita.
Proyek Ujian
Ujian
nasional misalnya dibangun satuan tugas untuk membuat, memproduksi, serta
menjaga soal dan memasukkannya ke dalam amplop. Amplop kemudian dibungkus
tertutup, dilak, dan diikat dengan tali. Amplop-amplop itu dimasukkan ke
lemari yang perlu pula digembok.
Kemudian
ruangan tempat soal ujian juga dikunci di luarnya ditugaskan satpam.
Kemudian berkas soal dijemput satuan tugas yang selanjutnya membawanya
diiringi pengamanan. Sampaisampai polisi berjaga-jaga di sekolah sewaktu
ujian dilaksanakan. Seperti keadaan yang menyeramkan seperti perang di
Beirut saja. Sampai-sampai kalau ujian polisi masuk ke dunia pendidikan.
Alhasil, proses itu semua karena penyelenggaraan ujian dilakukan secara
terpusat sehingga membuat waktu untuk mengerjakan ujian yang sederhana
itu memerlukan pembiayaan yang sangat besar.
Lagi-lagi anggaran
untuk ujian tidak ada kaitannya dengan kemajuan dunia pendidikan. Dulu
hasil ujian tamat SMA tidak dipercaya dan masing-masing universitas
kembali melaksanakan seleksi ujian masuk ke perguruan tinggi. Sekarang
kabarnya tidak demikian. Proses itu semua pemborosan uang negara, namun
menambah pundi-pundi penyelenggara dalam bentuk honor lumba-lumba dan
proyek kantong monyet. Belakangan untuk pelaksanaan ujian pun dilibatkan
dosen-dosen. Sementara tugas utama mereka di pendidikan tinggi.
Membangun Trust
Memperbaiki
kejujuran tidak perlu dengan mengembangkan dan menggunakan teknologi
kamera pengintai. Memperbaiki kejujuran perlu dilakukan dengan berbagai
tahapan. Pertama, pendidik mengetahui bahwa kejujuran salah satu yang
mereka sadari perlu dibangun untuk anak didiknya sehingga dalam proses
pembelajaran terselipkan kesadaran penuh agar kognitif kejujuran
disampaikan. Kedua, tidak sekadar secara kognitif, pendidik perlu
memperlihatkan dan menanamkan sikap dan perilaku jujur.
Ketika hal
ini dilakukan berulang-ulang, makin lama akan menjadi kebiasaan untuk
jujur. Tindakan menghadirkan kamera berarti proses pendidikan kita
menjauhi guru dengan anak didiknya. Penerapan konsep participative learning menjadi sangat penting, di mana para
guru memahami secara mendalam apa peranan yang mereka mainkan di dalam
kelas agar masing-masing anak akan terpetakan bagaimana karakternya.
Ketiga, trust dibangun dengan keterbukaan
agar individu- individu guru yang ada di sekolah menjadi sebuah kelompok
yang sama-sama menetapkan bahwa kejujuran perlu dibangun di atas
nilai-nilai universal yang ada.
Ketika ini
menjadi agenda, trust, menurut
Francis Fukuyama, akan melahirkan modal sosial yang besar dan akhirnya
tidak akan diperlukan lagi pengawasan yang menyeramkan dalam proses ujian
melalui kamera pengintai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar