Selasa, 16 April 2013

Monster itu Bernama Ujian Nasional


Monster itu Bernama Ujian Nasional
Agus Wibowo Pemerhati Pendidikan, Penulis Buku ‘Malpraktik Pendidikan’ (2008)
MEDIA INDONESIA, 15 April 2013


Pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat sekolah dasar (SD/ MI) hingga menengah (SMA/MA) dalam hitungan hari. Anak didik mulai disibukkan berbagai kegiatan persiapan UN, seperti pendalaman materi/les, latihan mengerjakan soal UN di sekolah, hingga mengikuti berbagai bimbingan belajar (bimbel). Akibat padatnya kegiatan menyongsong UN itu, waktu anak didik untuk bermain, mengembangkan kreativitas melalui seni, olahraga, kewirausahaan, dan karakter mulia lain sama sekali tidak mendapat porsi. Singkatnya, seluruh waktu anak didik habis digunakan untuk mempersiapkan diri, dengan harapan kelak bisa menjawab soal dan lulus UN.

Karena anak didik disibukkan persiapan menghadapi UN itu, ujung-ujungnya konsentrasi mereka mengikuti pendidikan menjadi berubah arah. Bagaimana tidak? Awalnya, tujuan utama belajar ialah memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan, di samping menempa karakter dan kepribadian anak. Namun, tujuan itu bergeser--atau sengaja digeser--sekadar lulus UN. Kepentingan itu sangat pragmatis dan jelas tidak sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dari fenomena kesibukan anak didik menghadapi UN itu, terlihat sekali bahwa sebenarnya UN telah menjadi alat pereduksi makna pendidikan, yang semula sebagai wahana pengembangan potensi, menjadi instrumen pengukur kecerdasan kognitif semata. Alihalih memberikan anak ruang kreativitas dan berimaji, itu justru menjadi `monster' yang merampas kebebasan serta hakim penentu nasib anak didik. Itulah yang ditengarai Prof Hamid Hasan (2008) sebagai proses pereduksian makna pendidikan, dari wahana pe ngembangan potensi menjadi instrumen pengukur kecerdasan kognitif semata.

Anehnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tetap `ngotot' mempertahankan `monster' itu walau dalam bentuk yang berbeda.

Beban Psikologis?

Tampaknya, pemerintah melalui Kemendikbud tidak pernah belajar--atau memang tidak mau tahu--fenomena di lapangan. Berbagai kasus yang dilaporkan orangtua kepada Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak sebagian besar disebabkan pelaksanaan UN, seperti anak yang stres, bahkan depresi, gara-gara seharian penuh mengikuti pendalaman materi menyambut UN. Bahkan ada anak yang rela menghabisi hidupnya karena merasa malu teramat sangat tidak lulus UN.

Kemendikbud rupanya juga tidak mengkaji dengan bijak, bahwa dampak kegagalan UN itu mencakup kawasan yang amat luas. Bukan hanya pada institusi pendidikan semata, melainkan juga pada aspek yang lain, seperti sistemstruktur, persoalan sosiologis, hingga psike konsumen pendidikan. Bagi orangtua misalnya, kegagalan putraputri mereka menempuh UN menjadi semacam `aib' yang mencoreng nama baik. Mereka juga akan mendapat sebutan sebagai orangtua yang `gagal' mendidik anak.

Pun begitu pengaruhnya pada anak didik. Selain memunculkan perasaan-perasaan negatif seperti anak didik merasa sebagai orang yang gagal, tidak berguna, dan bodoh, kegagalan menempuh UN menimbulkan luka psikologis yang amat dalam. Luka itu akan terus terbawa hingga anak didik dewasa kelak. Luka itu teramat sakit, yang menyebabkan mereka melenceng dari alur potensi atau `fitrah' nya.

Penderitaan rutin yang menimpa anak didik, sepertinya tidak mendapat respons serius dari pemerintah. Buktinya, sampai saat ini pemerintah masih saja mempertahankan UN sebagai alat evaluasi hasil pendidikan. Alasannya selalu sama; demi kemajuan pendidikan dan peningkatan human development index (HDI). Alasan demikian sepintas memang masuk akal. Namun, sejatinya, itu sekadar alasan untuk menutupi ketidakberhasilan-untuk mengatakan kegagalan--pemerintah dalam menciptakan instrumen evaluasi hasil pendidikan nasional.

Benar pemerintah telah menciptakan format penilaian terbaru, yang dianggap lebih adil dan holistis (ranah afektif, psikomotorik, dan kognitif). Namun, pada pelaksanaannya, format penilaian itu tetap hanya berkutat pada satu aspek (kognitif), sebagai akibat ketidaksiapan segenap aspek pendukungnya; seperti banyaknya tenaga pendidik yang tidak lolos ujian sertifikasi alias tidak kompeten, sarana prasarana yang tidak menunjang, serta keterbatasan akses geografis.

Selain itu, pemerintah memang sudah menetapkan stan dar nilai UN, dengan harapan terjadi pemerataan mutu dan kualitas pendidikan secara nasional. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Ketidakjujuran merebak sehingga begitu mudahnya sekolah memenuhi standar itu lantaran terjalinnya kolusi yang demikian rapi; antara pengawas, siswa, dan sekolah. Akibatnya, di atas kertas memang lulusan sebuah sekolah memenuhi standar UN, tetapi yang senyatanya tidak demikian. Bukankah itu justru merugikan tidak saja yang bersangkutan, tetapi juga dunia pendidikan kita pada umumnya?

Kondisi yang karut-marut itu masih diperparah adanya budaya buruk pendidikan kita; ganti menteri ganti pula kebijakan. Akibatnya, model evaluasi pendidikan tidak semakin sempurna, tetapi justru semakin runyam. Siapa lagi yang menanggung dampaknya jika bukan anak didik? Setiap tahun ribuan bahkan jutaan anak didik yang gagal menempuh UN tersudut pada beban psikologis yang amat berat. 
Benar rupanya apa yang dikatakan R Tagore (2000), “Pendidikan itu tak lebih siksaan yang disengaja.“ Dalam hal ini, pemerintah melalui UN telah menyiksa generasi muda calon ahli waris negeri ini di masa depan. Alangkah kejamnya.

Bukan Solusi

Akibat takut tidak lulus UN, para orang tua lantas menyuruh anak mereka mengikuti program kegiatan bimbingan belajar. Fenomena itu jelas menguntungkan penyelenggara bimbel; yang ditandai menjamurnya program bimbel bak cendawan di musim hujan; dengan beragam nama, jenis pelayanan, dan lamanya. Seperti iklan tukang sulap saja, banyak lembaga bimbingan belajar yang menggaransi jika peserta didik tidak lulus UN, uang kembali!

Kegiatan bimbel sejatinya dilematis. Di satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi lain justru merugikan. Menguntungkan karena secara psikologis anak didik sudah siap untuk mengerjakan berbagai macam bentuk soal UN. Berbeda tentunya bagi mereka yang tidak pernah mengikuti bimbel, selain asing dengan berbagai bentuk dan jebakan soal UN, mereka tidak menguasai triktrik dan jalan pintas mengerjakannya. Penelitian para ahli pendidikan setidaknya menemukan adanya korelasi yang signifikan antara kegiatan bimbel dan kesiapan anak didik mengerjakan soal.

Kegiatan bimbel merugikan lantaran sifatnya yang serbadarurat dan instan. Itulah yang sering luput dari perhatian para orangtua. Memang dalam bimbel terjadi interaksi dan relasi yang dekat antara tutor dan anak didik. Akan tetapi, sifatnya instan dalam rangka berlatih mengerjakan soal, bukan bimbingan untuk mengembangkan kreativitas, pola berpikir, rasa ingin tahu, wawasan, dan sikap anak didik. 

Karena potensi-potensi anak tidak terbina selama bimbel, yang timbul justru dampak negatif, yakni keyakinan memakai jalan pintas guna mencapai tujuan--dalam hal ini tujuan lulus menjawab soal. Tanpa disadari, anak didik diperkenalkan kepada mental-mental menerabas, yang picik dan kerdil.
Ironisnya, dalam rangka mengejar target lulus UN 100%, sekolah kita beralih haluan menjadi lembaga bimbel melalui kegiatan pelatihan soal-soal ujian, seperti program pendalaman dan pengayaan materi. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan. Pasalnya, tatkala tujuan sekolah sekadar lulus UN dengan mengabaikan pembentukan karakter anak didik, muaranya pasti mereduksi makna dan tujuan pendidikan sebagai pembangun manusia yang utuh dan cerdas.

Sudah saatnya semua pihak, entah orangtua, pendidik, dan pemerintah menyadari penderitaan yang dialami anak didik ketika menghadapi UN. Kritik membangun terhadap pelaksanaan UN memang harus terus digulirkan. Tujuannya agar pemerintah terus berbenah dan menemukan format instrumen yang tepat guna mengukur hasil sistem pendidikan nasional. Bagaimanapun, pengukuran hasil atau evaluasi sangat diperlukan guna mengetahui keberhasilan dan kemajuan sebuah program.

Namun, tidak arif tentunya jika para petinggi pendidikan yang terbiasa dengan pengukuran secara kuantitatif (angka/nilai) memaksakan kecenderungan tersebut--dengan tetap mempertahankan UN format saat ini. Mereka lupa bahwa dalam kawasan ontologi dan epistemologi keilmuan, baik kuantitatif maupun kualitatif memiliki derajat kebenaran, validitas, dan reliabilitas yang sama. Tidak ada yang unggul melebihi yang lain, saling melengkapi dan mengisi titik cela.

Oleh karena itu, perlu kiranya dipikirkan sistem evaluasi dengan unjuk kinerja (psikomotorik), melalui standar kelulusan yang ditetapkan secara kualitatif. Unjuk kinerja dalam hal ini berdasar pada standar kompetensi yang sudah ditetapkan. Ujian seperti itu justru lebih relevan dengan konteks kekinian karena lebih berorientasi pada keterampilan nyata.

Anak didik tentunya merindukan pendidikan tanpa model evaluasi seperti UN. Beban mereka sudah teramat berat, mulai mencari biaya untuk sekolah (bagi anak tidak mampu), beban selama kegiatan pembelajaran, beban menghadapi UN, hingga beban ketika bukti kelulusannya (STTB dulu) tidak laku untuk melamar kerja. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah pendidikan kita hanya untuk membebani anak dengan berbagai problem atau hendak mencerdaskan mereka? Pertanya an ini patut dikajirenungkan para pemangku kepentingan pendidikan kita. Walahualam.

1 komentar: