Makna gurindam `anak polah, bapa kepradah' (anak berulah, orang tua kena getahnya)
tentu sangat dipahami orang Jawa. Namun, gurindam tersebut sudah sering
terbalik karena banyak sekali fakta di masyarakat bahwa bapa-lah yang
justru berulah sehingga anak harus menanggung getah.
Masalah anggaran `subsidi' BBM yang
secara nominal tiap tahun semakin membengkak merupakan salah satu analogi
dari gurindam yang sudah terbalik tersebut. Akibat sangat lama bapa
(pemerintah) tidak mau, tidak berani, dan tidak tegas melakukan
langkah-langkah yang seharusnya diambil, anak (masyarakat) harus
menanggung beban. Seandainya pemerintah berani, tegas, serta mau
melakukan strategi dan kebijakan yang seharusnya dalam mengelola migas
dan BBM, sekarang ini masyarakat tidak seharusnya menanggung akibat dari
polemik penaikan dan kebijakan penaikan harga BBM. Polemik panjang
menjelang penaikan sangat penting karena juga menciptakan beban lewat
ketidakpastian yang pada akhirnya harus dibayar juga dengan inflasi.
Fait
Accompli
Saat ini masyarakat benar-benar
ditempatkan pada posisi mau tidak mau, siap tidak siap, harus menerima
pengurangan anggaran `subsidi' BBM yang dinilai telah memerangkap
keuangan negara. Kata subsidi saya beri tanda kutip karena makna subsidi
BBM yang dinilai membebani APBN masih perlu didiskusikan dan didebatkan,
selain pembahasan masalah hak konstitusional rakyat untuk mendapat
subsidi, perhitungan subsidi BBM, dll. Namun dalam tulisan ini saya tidak
akan membahas hal-hal tersebut, subsidi BBM yang saya maksud di sini
ialah besaran anggaran dalam APBN.
Dengan kata lain, masyarakat benar-benar
di-fait accompli dan dibuat
tidak punya pilihan selain harus menerima penaikan harga ataupun
pelarangan penggunaan BBM bersubsidi. Bagaimana tidak, faktanya subsidi
BBM memang sudah mencapai Rp274,7 triliun (APBN 2013), tetapi bisa
membengkak menjadi Rp300 triliun karena kuota 40 juta kiloliter
dipastikan akan terlampaui. Angka subsidi BBM tersebut juga lebih tinggi
daripada anggaran untuk infrastruktur 2013 yang hanya sekitar Rp200
triliun. Angka tersebut juga berlipat kali dari sektor kesehatan yang
sekitar Rp30 triliun tahun ini. Beban tersebut masih ditambah `dosa-dosa' lainnya, seperti
menjadi penyebab energi lain tidak berkembang. Padahal, kita tahu persis
banyak penyebab tidak berkembangnya energi alternatif.
Benar bahwa secara nominal subsidi BBM
naik pesat dari hanya sebesar Rp90 sebesar Rp90 triliun pada 2005 menjadi
Rp193 triliun pada 2013. Bahkan bila memasukkan energi listrik, yang di
da lamnya juga ada subsidi untuk BBM, total akan mencapai Rp274,7
triliun. Angka itu bisa membengkak menjadi Rp300 triliun karena kuota 40
juta kiloliter pasti akan terlampaui.
Walaupun secara persentase porsi subsidi BBM terhadap APBN hampir tetap,
dengan disodori angka nominalnya, siapa pun yang saat ini menolak untuk
mengurangi anggaran subsidi BBM akan dianggap tidak rasional.
Sebenarnya sangat tidak fair bila masalah
subsidi BBM hanya dilihat dari kondisi saat ini. Pembengkakan subsidi BBM
tentu bukan terjadi tiba-tiba dan siapa pun tahu itu terjadi karena
pemerintah tidak melakukan strategi dan kebijakan yang seharusnya selama
bertahun-tahun. Ambil contoh saja. Kalau pada 2005 setelah terjadi
penaikan harga BBM rata-rata 126% kemudian pemerintah mengelola BBM
dengan menyelesaikan penyebab kenaikan subsidi BBM baik dari sisi pasok
maupun permintaan, tidak akan terjadi masalah pelik seperti saat ini.
Saat pengurangan subsidi BBM akan dilakukan, masyarakat diminta tutup
mata atas semua hal tersebut.
Adil
dan pada Akarnya
Mendekati Pemilu 2014, pemerintah tidak
akan menggunakan istilah `penaikan
harga BBM bersubsidi' untuk pengurangan subsidi, tetapi `pengendalian BBM subsidi'
walaupun keduanya akan tetap berpengaruh terhadap beban masyarakat. Meski
harga BBM untuk sepeda motor dan kendaraan pelat kuning mungkin tidak
naik, misalnya, masyarakat pengguna sepeda motor dan usaha kecil tetap
akan terkena dampak tidak langsung akibat kenaikan harga barang.
Meski dijaga dengan memberikan pembagian
dana kepada kelompok miskin lewat program prasejahtera (lagi-lagi untuk
menghindari istilah bantuan langsung tunai/BLT), daya beli masyarakat
bawah tetap terganggu. Dampak tidak langsung lainnya, banyak usaha mikro
ataupun kecil menggunakan mobil pelat hitam untuk kegiatan usaha mereka.
Pelarangan BBM bersubsidi untuk mobil pelat hitam akan berdampak pada
bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bila turunnya daya saing
dibarengi dengan daya beli masyarakat, itu sangat mungkin berdampak pada
PHK di UMKM.
Oleh karena itu, bila ingin mengurangi
dampak negatif pengurangan subsidi BBM, pemerintah harus melakukannya
dengan adil. Bila pemerintah menilai subsidi BBM saat ini lebih banyak
dinikmati orang kaya, harus jujur diakui, orang kaya yang tidak berhak
tersebut tidak hanya para pengguna mobil pribadi, tetapi juga industri
yang mendapat kan manfaat dari bocornya BBM subsidi ataupun yang menyelundupkan
BBM ke luar negeri. Telah diakui pejabat BPH Migas, jumlah BBM subsidi
yang belok ke industri atau ke luar negeri cukup besar karena setiap
tahun kasus yang terungkap saja mencapai ratusan. Pengurangan konsumsi
BBM subsidi tanpa mengurangi konsumsi oleh pihak yang tidak semestinya
menikmati tidak akan mengurangi konsumsi secara signifikan.
Orang kaya lainnya yang selama ini
menikmati `subsidi BBM' juga beberapa pedagang perantara kebutuhan minyak
mentah dan BBM Pertamina. Bukan rahasia lagi, keberadaan segelintir
pengusaha terus langgeng karena terkait dengan kekuasaan. Oleh karena
itu, bila ingin subsidi tidak dinikmati para pengusaha tersebut, harus
ada political will dari
pemerintah. Mendorong Pertamina untuk membeli lewat kontrak langsung
dengan para produsen minyak dunia, misalnya, akan menjadi bagian solusi
penting.
Pertama, harga minyak mentah dalam
perhitungan subsidi BBM oleh Pertamina saat ini dapat ditekan. Kedua,
tidak akan mengganggu nilai tukar dan stabilitas rupiah. Meskipun Bank
Indonesia selalu mengatakan Pertamina tidak membeli dolar dari pasar,
saya yakin itu masih terjadi. Bila pembelian minyak dilakukan dengan
kontrak dan pembayaran jangka panjang, tekanan terhadap stabilitas dolar
akan mereda. Ketiga, pembangunan kilang di Indonesia. Dengan pasar yang
sangat besar, pembangunan kilang di Indonesia akan sangat menarik bagi
produsen minyak mentah. Namun karena BBM komoditas yang sangat strategis,
pemerintah juga wajib membangun kilang lewat BUMN atau memberikan ke
sempatan bagi swasta nasional untuk terlibat.
Pengurangan subsidi dengan menaikkan
harga juga harus dilakukan dengan menggunakan anggaran subsidi yang
dihemat untuk dialokasikan pada proyek pembangunan yang akan mengompensasi
beban biaya rumah tangga dan sektor usaha akibat kenaikan harga. Dunia
usaha sering menyatakan mendukung penaikan karena pengusaha merasa lebih
baik harga BBM naik dan daya beli masyarakat terganggu, tapi kemudian
akan ada pembangunan infrastruktur yang masif sehingga ada kompensasi
biaya, misalnya untuk transportasi dan logistik. Itu tidak seperti
penaikan harga BBM 2005 dan 2008 yang ternyata tidak menjadikan
pembangunan infrastruktur lebih baik. Kali ini, rencana pengurangan
subsidi BBM harus terintegrasi dengan rencana pemanfaatan dana
penghematan bagi pembangunan infrastruktur.
Terakhir, agar kebijakan itu lebih adil,
pertimbangan dan langkah kebijakan yang akan diambil harus
memprioritaskan kepentingan nasional. Sebagaimana diketahui, dalam setiap
pertemuan kerja sama ekonomi baik G-20, APEC, maupun kerja sama
bilateral, Indonesia selalu `dinasihati'
untuk segera memangkas subsidi. Seperti saat ini, lembaga rating pun ikut-ikut mendukung
alasan `inilah waktunya'
menaikkan harga BBM atau tepatnya menghilangkan subsidi BBM. Ancaman investment grade akan terganggu
tentu menjadi senjata sangat ampuh untuk menekan pemerintah. Padahal,
sangat pasti yang memengaruhi rangking daya saing investasi Indonesia
bukan harga BBM semata, melainkan lebih karena masih banyaknya pekerjaan
rumah (PR) untuk menaikkan daya saing.
Oleh karena itu, pemetaan masalah dan
pertimbangan pilihan kebijakan harus dilakukan dengan hati-hati dan harus
menekankan kepentingan nasional, bukan kepentingan negara lain, lembaga
lain, apalagi sekadar kepentingan politik. Jangan sampai `bapa polah, anak kepradah'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar