Hari ini ujian nasional (UN)
dimulai lagi. Dalam dua minggu terakhir ada begitu banyak foto dan
gambar, baik di media cetak maupun internet, yang menunjukkan adanya
kecemasan luar biasa dari siswa-siswi kita yang akan mengikuti UN.
Meskipun intinya berdoa, ditampakkan oleh raut kesedihan anak-anak yang
seolah akan ada bencana. Pendidikan kita yang kurang menghargai dan
memercayai pentingnya proses dan lebih berharap pada hasil akhir seolah
mereduksi makna penting pendidikan yang dapat menjamin keadaban.
Jika pendidikan dimaknai sebagai sebuah
proses, jangan terlalu banyak berharap akan ada sebuah akhir. Sebagaimana
maksim Arab yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah proses
pencarian seumur hidup (min
al-mahdi ila al-lahdi), maka common believes dan energi para pendidik
seharusnya lebih berorientasi dan mencintai prosesnya. Akan tetapi,
karena ada ilmu ukur, pendidikan pun menjadi sumir karena tak jarang para
pendidik lebih mengejar hasil (result
oriented) tinimbang mencintai prosesnya.
Tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan
yang serbahasil itu memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang
dibangun sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu
dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan
nasional. Yaitu, ‘berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab’ (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).
Sangat tidak mungkin rasanya jika
pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan
di atas diselesaikan oleh ujung mata rantai yang bernama ujian nasional
(UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan
tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah napas panjang dari
sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process) karena
hampir semua pilihan kata yang digunakan ialah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha
secara terus-menerus.
Kesadaran terhadap proses pendidikan dan
proses belajar mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan
keyakinan setiap pendidik. Bahwa, untuk menjadikan anak bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan
secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya
untuk memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak
dengan guru, orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia
peroleh secara benar. Membiasakannya secara terus-menerus dalam konteks
budaya sekolah yang sehat memperoleh teladan yang tiada henti dari guru,
orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh
secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.
Jika dihitung secara kalkulatif,
seharusnya ujian nasional (UN) ditiadakan di tahun depan. Mengapa? Jika
pemerintah jadi me-launching
kurikulum baru bagi semua level dan jenjang pendidikan, konsekuensi
logisnya ialah akan terjadi perubahan signifikan pada tiga aspek, yaitu
proses, evaluasi, dan manajerial pengelolaan sekolah. Hal itu merupakan
konsekuensi yang tidak mungkin dihindari ketika pilihan orientasi
pendidikan kita akan lebih banyak menekankan kompetensi sikap (attitude) tinimbang pengetahuan (knowledge/cognitive).
Pada aspek proses, penting bagi otoritas
pendidikan kita untuk menggali sebanyak mungkin pedagogical tools yang akan memperkaya wawasan dan
kreativitas guru dalam melakukan proses belajar mengajar. Di aspek
manajerial, sekolah harus lebih siap dalam menghadapi perubahan pola
rekrutmen siswa sekaligus rekrutmen guru agar lebih siap dalam menghadapi
perubahan kurikulum.
Sebagai contoh, peminatan siswa SMA yang akan
dimulai sejak mereka di kelas 10 jelas harus disikapi dengan instrumen
pola penerimaan siswa yang menghargai bakat dan minat siswa sejak dini.
Pada aspek evaluasi, penggunaan pola paper-test seperti yang saat ini
sering digunakan jelas harus ditambah dengan kemampuan guru dan manajemen
sekolah dalam membuat jenis dan ragam penilaian melalui mekanisme
portofolio. Mengapa portofolio penting? Kesadaran tentang pentingnya
penilaian secara komprehensif terhadap perkembangan siswa dimulai oleh
Howard Gardner (1983) yang menulis buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam
buku itu kemampuan siswa diakui sangat beragam, dan karena itu harus
dinilai secara berkesinambungan sesuai dengan tingkat pencapaian
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dialaminya. Adapun guru memiliki
tanggung jawab untuk merevisi kurikulum yang dikembangkan dalam proses
belajar mengajar, atau semacam curriculum
revision check list.
Dalam Portfolios
Assessment Resources Kit, Forster Margaret & Masters Geoff (1996)
memberikan pengertian portofolio sebagai kumpulan hasil kerja siswa yang
sering disebut sebagai artefak. Artefak-artefak tersebut dihasilkan dari
pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam periode tertentu,
untuk kemudian diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio. Dengan kata
lain, portofolio merupakan koleksi pribadi hasil pekerjaan seorang siswa
(bersifat individual) yang menggambarkan sekaligus merefl eksikan taraf
pencapaian, kegiatan belajar, kekuatan, dan pekerjaan terbaik siswa
tersebut. Karena itu, sifat dari kumpulan koleksi artefak itu memiliki
ciri yang dinamis dan berubah sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.
Jika semua guru dan sekolah memiliki
pandangan yang sama tentang portofolio, masa depan UN jelas harus segera
di akhiri. UN sesungguhnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang
dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecuali
bergoyang di tempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan,
kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan
gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati
dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang
seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh awak kapal. Itulah makna sejati
pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir. ●
|
siipp
BalasHapus