Selasa, 16 April 2013

Kapan UN akan Berakhir?


Kapan UN akan Berakhir?
Ahmad Baedowi  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 April 2013


Hari ini ujian nasional (UN) dimulai lagi. Dalam dua minggu terakhir ada begitu banyak foto dan gambar, baik di media cetak maupun internet, yang menunjukkan adanya kecemasan luar biasa dari siswa-siswi kita yang akan mengikuti UN. Meskipun intinya berdoa, ditampakkan oleh raut kesedihan anak-anak yang seolah akan ada bencana. Pendidikan kita yang kurang menghargai dan memercayai pentingnya proses dan lebih berharap pada hasil akhir seolah mereduksi makna penting pendidikan yang dapat menjamin keadaban.

Jika pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses, jangan terlalu banyak berharap akan ada sebuah akhir. Sebagaimana maksim Arab yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah proses pencarian seumur hidup (min al-mahdi ila al-lahdi), maka common believes dan energi para pendidik seharusnya lebih berorientasi dan mencintai prosesnya. Akan tetapi, karena ada ilmu ukur, pendidikan pun menjadi sumir karena tak jarang para pendidik lebih mengejar hasil (result oriented) tinimbang mencintai prosesnya.

Tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan yang serbahasil itu memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional. Yaitu, ‘berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan di atas diselesaikan oleh ujung mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah napas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process) karena hampir semua pilihan kata yang digunakan ialah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus-menerus.

Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik. Bahwa, untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak dengan guru, orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar. Membiasakannya secara terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat memperoleh teladan yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.

Jika dihitung secara kalkulatif, seharusnya ujian nasional (UN) ditiadakan di tahun depan. Mengapa? Jika pemerintah jadi me-launching kurikulum baru bagi semua level dan jenjang pendidikan, konsekuensi logisnya ialah akan terjadi perubahan signifikan pada tiga aspek, yaitu proses, evaluasi, dan manajerial pengelolaan sekolah. Hal itu merupakan konsekuensi yang tidak mungkin dihindari ketika pilihan orientasi pendidikan kita akan lebih banyak menekankan kompetensi sikap (attitude) tinimbang pengetahuan (knowledge/cognitive).

Pada aspek proses, penting bagi otoritas pendidikan kita untuk menggali sebanyak mungkin pedagogical tools yang akan memperkaya wawasan dan kreativitas guru dalam melakukan proses belajar mengajar. Di aspek manajerial, sekolah harus lebih siap dalam menghadapi perubahan pola rekrutmen siswa sekaligus rekrutmen guru agar lebih siap dalam menghadapi perubahan kurikulum. 

Sebagai contoh, peminatan siswa SMA yang akan dimulai sejak mereka di kelas 10 jelas harus disikapi dengan instrumen pola penerimaan siswa yang menghargai bakat dan minat siswa sejak dini.
Pada aspek evaluasi, penggunaan pola paper-test seperti yang saat ini sering digunakan jelas harus ditambah dengan kemampuan guru dan manajemen sekolah dalam membuat jenis dan ragam penilaian melalui mekanisme portofolio. Mengapa portofolio penting? Kesadaran tentang pentingnya penilaian secara komprehensif terhadap perkembangan siswa dimulai oleh Howard Gardner (1983) yang menulis buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam buku itu kemampuan siswa diakui sangat beragam, dan karena itu harus dinilai secara berkesinambungan sesuai dengan tingkat pencapaian kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dialaminya. Adapun guru memiliki tanggung jawab untuk merevisi kurikulum yang dikembangkan dalam proses belajar mengajar, atau semacam curriculum revision check list.

Dalam Portfolios Assessment Resources Kit, Forster Margaret & Masters Geoff (1996) memberikan pengertian portofolio sebagai kumpulan hasil kerja siswa yang sering disebut sebagai artefak. Artefak-artefak tersebut dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam periode tertentu, untuk kemudian diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio. Dengan kata lain, portofolio merupakan koleksi pribadi hasil pekerjaan seorang siswa (bersifat individual) yang menggambarkan sekaligus merefl eksikan taraf pencapaian, kegiatan belajar, kekuatan, dan pekerjaan terbaik siswa tersebut. Karena itu, sifat dari kumpulan koleksi artefak itu memiliki ciri yang dinamis dan berubah sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.

Jika semua guru dan sekolah memiliki pandangan yang sama tentang portofolio, masa depan UN jelas harus segera di akhiri. UN sesungguhnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecuali bergoyang di tempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir.

1 komentar: