Dunia
hiburan Indonesia diramaikan dengan keberadaan Eyang Subur yang dianggap
sebagai guru spiritual oleh beberapa artis dan selebritas Indonesia.
Gara-gara Adi Bing Slamet, Eyang Subur jadi bahan pembicaraan banyak
pihak.
Pembicaraan
Eyang Subur mendapat respons dari berbagai kalangan. Tak kurang dari
ormas Front Pembela Islam (FPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan tanggapannya. Jika
ditelusuri, kasus Eyang Subur bermuara pada beberapa penjelasan. Pertama,
terkait dengan dugaan aliran sesat yang disampaikan beberapa artis yang
pernah menjadi muridnya.
Meski
melanggar, hal itu tak serta-merta bisa menetapkan Subur termasuk
pengikut sesat. Kedua, sebagaimana disampaikan MUI, terkait dengan jumlah
delapan istri yang dimiliki Subur yang dianggap melanggar undang-undang
perkawinan. Ketiga, tidak kalah pentingnya dan ini menjadi realitas
keseharian masyarakat Indonesia, menempatkan sosok paranormal sebagai
sebuah solusi kehidupan dari berbagai persoalan yang menderanya.
Keberadaan
Subur sebenarnya fenomena biasa yang dengan mudah dijumpai di berbagai
daerah di Indonesia. Yang membuat kasus ini mencuat karena korban dan
murid-murid Subur adalah kalangan selebritas. Tentu saja kalangan
selebritis selalu menarik diberitakan dari berbagai sisi kehidupan
personalnya. Media massa berkepentingan memberitakan apapun yang
di-lakukan oleh setiap selebritas.
Pergeseran Budaya
Kasus Subur
yang dianggap paranormal sejatinya menjadi gunung es dari keberadaan
paranormal yang akrab dijumpai di berbagai daerah. Paranormal atau
sejenisnya selalu dijumpai dalam masyarakat berkembang di mana tingkat
pendidikan dan pengetahuan masih terus berkembang. Jika kita melihat
sejarah sosialnya, keberadaan paranormal atau dukun sebenarnya banyak
dijumpai di masyarakat perdesaan yang secara pendidikan masih rendah.
Mereka lebih
percaya menjadikan dukun dan paranormal sebagai otoritas yang dianggap
memiliki kekuatan dan mampu menyelesaikan masalah-masalahnya. Di
desa-desa, sebagian besar masalah yang dihadapi antara lain masalah
kesehatan (penyakit), ekonomi, hingga urusan asmara. Dukun ditempatkan
sebagai kekuatan eksternal seorang manusia. Keberadaan dukun dalam
masyarakat perdesaan adalah cermin dari kondisi rasionalitasnya
masyarakat.
Artinya,
mereka berhadapan dengan masalah rasionalitas yang berseberangan dengan
desakan masalah sehari-hari yang harus dihadapi. Di sisi lain, mereka
juga dihadapkan pada masalah ekonomi yang melilitnya. Mereka tidak
mungkin pergi ke dokter karena ketidakmampuan biaya. Di daerah-daerah
perdesaan, dukun dan paranormal seolah menjadi budaya dan ritual yang
tidak terpisahkan.
Keberadaan
tokoh-tokoh agama sering kali juga tidak mampu menyadarkan perilaku
masyarakat yang akrab dengan dukun dan paranormal yang sudah mengakar
dalam budaya masyarakat. Faktanya, budaya dukun dan paranormal tersebut
tidak hanya didominasi oleh masyarakat perdesaan tetapi juga dilakukan
masyarakat perkotaan dari berbagai latar belakang. Salah satu kelompok
sosial perkotaan tersebut adalah dunia selebritis.
Selain
selebritas, kita sering mendengar kalangan politisi juga akrab dengan
paranormal biasanya menjelang ajang pilkada maupun pemilu. Mereka meminta
wejangan, mantra, dan petuah-petuah lainnya yang dianggap sebagai “jimat”
dalam pertarungan politik. Tidak heran jika, perilaku ini akrab dengan
dunia mistis. Sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat apalagi
prinsip-prinsip religusitas.
Dunia mistis
kemudian menjadi dunia paranormal yang “dijual” kepada klien-kliennya sebagai
daya ikat yang dianggap bisa menyelesaikan masalah berbagai kliennya. Di
kalangan selebritas, sandaran paranormal dianggap bisa membekali dirinya
dalam persaingan sesama selebritis yang keras dan bisa bertahan dalam
dunia hiburan. Mereka berharap bisa terus eksis dalam dunia hiburan Tanah
Air.
Kalangan
selebritas dan politisi adalah mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi dan kondisi ekonomi yang mapan. Fenomena ini
menjelaskan bahwa terjadi pergeseran perilaku masyarakat. Pertama, dunia
paranormal berkembang pesat di perkotaan. Seolah memecahkan mitos
dominasi masyarakat perdesaan. Kedua, tidak ada korelasinya dengan latar
belakang pendidikan pada masyarakat yang akrab menggunakan jasa
paranormal sebagaimana tesis utama pada masyarakat perdesaan.
Faktanya, di
masyarakat perkotaan, klien-klien paranormal kebanyakan adalah masyarakat
terdidik. Ketiga, pergeseran juga tampak dalam status “dukun” atau
“paranormal”. Peran dan status ini sejalan dengan riset profesor
antropologi, University Freiburg Jerman Judith Schleke yang berjudul “Paranormal Practitioners and Popular
Religion in Contemporary Java”.
Dalam
risetnya, Schleke menunjukkan bahwa, paranormal modern di Indonesia
enggan disebut “dukun”, sebab kata ini menimbulkan kesan tradisional,
kuno dan desa. Oleh karena itu, para praktisi paranormal ini lebih
memilih sebutan pakar supranatural, hipernatural atau spiritual. Keempat,
terjadi juga pergeseran dalam hal kasuskasus yang ditangani paranormal
perkotaan. Kasusnya mulai urusan dunia hiburan kalangan selebritas,
urusan rumah tangga (percekcokan/perceraian), politik (pilkada) hingga
kasus yang paling ekstrem seperti santet atau teluh.
Krisis Rasionalitas
Keberadaan
Eyang Subur dan fenomena dukun maupun paranormal lainnya yang bergulat
dengan dunia mistis adalah fenomena yang tidak terbantahkan dalam akar
budaya masyarakat kita. Dalam realitas sosial, eksistensi paranormal
sudah secara laten terlembagakan dalam struktur kognitif masyarakat kita.
Fenomena ini dalam penjelasan Weber disebut dengan “mistifikasi dunia
sosial”, yaitu menempatkan ruang mistis atau magic sebagai pilihan
rasional dibandingkan dengan rasionalitas itu sendiri.
Penjelasan
Max Weber ini menunjukkan bahwa masyarakat kita berada pada titik krisis
rasionalitas. Weber menggunakan logika mistifikasi dunia ketika
menjelaskan masyarakat Calvin di Jerman yang dianggap sebagai pengikut
Kristen yang patuh, taat, disiplin, kerja keras dan menjauhkan dari
berbagai perilaku mistis atau magis. Di sini, para Calvinis merasionalisasikan
doktrinnya untuk mengatasi pertanyaan masalah mendasar yaitu jalan
keselamatan menuju surga.
Prinsip
rasionalitas kemudian digunakan sebagai doktrin perilaku hidup dengan
cara menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berbau mistis atau berkaitan
dengan magis. Perilaku ini kemudian disebut dengan “demistifikasi dunia”.
Masyarakat Indonesia berbeda dengan kaum Calvinis yang dianggap sebagai
sekte paling taat di Protestan. Mereka berhasil menegasikan dunia mistik
yang dianggap irasional dengan pilihan perilaku yang rasional.
Keberadaan
Eyang Subur tentu tidak bisa dengan mudah ditiadakan dalam keseharian
masyarakat kita. Beberapa tahun lalu, kita juga pernah digegerkan dengan
keberadaan dukun cilik Ponari yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit
hanya dengan cara menyemplungkan batu ke air yang disemburkan ke kepala
orang yang sakit.
Kita akan
berhadapan reproduksi sosial perilaku mistis seperti ini di kemudian
hari. Kita akan menyaksikan Ponari yang lain atau penerusnya Eyang Subur.
Singkatnya, kita menjumpai sebuah tembok kuat yang bernama mistifikasi
dunia sosial. Tak ada pilihan lain, kita harus secara masif melakukan
“demistifikasi dunia” kepada masyarakat sebagai bagian dari pencerahan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar