Sabtu, 13 April 2013

Mistifikasi Dunia Sosial


Mistifikasi Dunia Sosial
Rakhmat Hidayat  ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & 
Kandidat PhD Bidang Sosiologi Université Lumière Lyon 2 France
KORAN SINDO, 13 April 2013
  

Dunia hiburan Indonesia diramaikan dengan keberadaan Eyang Subur yang dianggap sebagai guru spiritual oleh beberapa artis dan selebritas Indonesia. Gara-gara Adi Bing Slamet, Eyang Subur jadi bahan pembicaraan banyak pihak. 

Pembicaraan Eyang Subur mendapat respons dari berbagai kalangan. Tak kurang dari ormas Front Pembela Islam (FPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan tanggapannya. Jika ditelusuri, kasus Eyang Subur bermuara pada beberapa penjelasan. Pertama, terkait dengan dugaan aliran sesat yang disampaikan beberapa artis yang pernah menjadi muridnya. 

Meski melanggar, hal itu tak serta-merta bisa menetapkan Subur termasuk pengikut sesat. Kedua, sebagaimana disampaikan MUI, terkait dengan jumlah delapan istri yang dimiliki Subur yang dianggap melanggar undang-undang perkawinan. Ketiga, tidak kalah pentingnya dan ini menjadi realitas keseharian masyarakat Indonesia, menempatkan sosok paranormal sebagai sebuah solusi kehidupan dari berbagai persoalan yang menderanya. 

Keberadaan Subur sebenarnya fenomena biasa yang dengan mudah dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Yang membuat kasus ini mencuat karena korban dan murid-murid Subur adalah kalangan selebritas. Tentu saja kalangan selebritis selalu menarik diberitakan dari berbagai sisi kehidupan personalnya. Media massa berkepentingan memberitakan apapun yang di-lakukan oleh setiap selebritas. 

Pergeseran Budaya 

Kasus Subur yang dianggap paranormal sejatinya menjadi gunung es dari keberadaan paranormal yang akrab dijumpai di berbagai daerah. Paranormal atau sejenisnya selalu dijumpai dalam masyarakat berkembang di mana tingkat pendidikan dan pengetahuan masih terus berkembang. Jika kita melihat sejarah sosialnya, keberadaan paranormal atau dukun sebenarnya banyak dijumpai di masyarakat perdesaan yang secara pendidikan masih rendah. 

Mereka lebih percaya menjadikan dukun dan paranormal sebagai otoritas yang dianggap memiliki kekuatan dan mampu menyelesaikan masalah-masalahnya. Di desa-desa, sebagian besar masalah yang dihadapi antara lain masalah kesehatan (penyakit), ekonomi, hingga urusan asmara. Dukun ditempatkan sebagai kekuatan eksternal seorang manusia. Keberadaan dukun dalam masyarakat perdesaan adalah cermin dari kondisi rasionalitasnya masyarakat. 

Artinya, mereka berhadapan dengan masalah rasionalitas yang berseberangan dengan desakan masalah sehari-hari yang harus dihadapi. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada masalah ekonomi yang melilitnya. Mereka tidak mungkin pergi ke dokter karena ketidakmampuan biaya. Di daerah-daerah perdesaan, dukun dan paranormal seolah menjadi budaya dan ritual yang tidak terpisahkan. 

Keberadaan tokoh-tokoh agama sering kali juga tidak mampu menyadarkan perilaku masyarakat yang akrab dengan dukun dan paranormal yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat. Faktanya, budaya dukun dan paranormal tersebut tidak hanya didominasi oleh masyarakat perdesaan tetapi juga dilakukan masyarakat perkotaan dari berbagai latar belakang. Salah satu kelompok sosial perkotaan tersebut adalah dunia selebritis. 

Selain selebritas, kita sering mendengar kalangan politisi juga akrab dengan paranormal biasanya menjelang ajang pilkada maupun pemilu. Mereka meminta wejangan, mantra, dan petuah-petuah lainnya yang dianggap sebagai “jimat” dalam pertarungan politik. Tidak heran jika, perilaku ini akrab dengan dunia mistis. Sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat apalagi prinsip-prinsip religusitas. 

Dunia mistis kemudian menjadi dunia paranormal yang “dijual” kepada klien-kliennya sebagai daya ikat yang dianggap bisa menyelesaikan masalah berbagai kliennya. Di kalangan selebritas, sandaran paranormal dianggap bisa membekali dirinya dalam persaingan sesama selebritis yang keras dan bisa bertahan dalam dunia hiburan. Mereka berharap bisa terus eksis dalam dunia hiburan Tanah Air. 

Kalangan selebritas dan politisi adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan kondisi ekonomi yang mapan. Fenomena ini menjelaskan bahwa terjadi pergeseran perilaku masyarakat. Pertama, dunia paranormal berkembang pesat di perkotaan. Seolah memecahkan mitos dominasi masyarakat perdesaan. Kedua, tidak ada korelasinya dengan latar belakang pendidikan pada masyarakat yang akrab menggunakan jasa paranormal sebagaimana tesis utama pada masyarakat perdesaan. 

Faktanya, di masyarakat perkotaan, klien-klien paranormal kebanyakan adalah masyarakat terdidik. Ketiga, pergeseran juga tampak dalam status “dukun” atau “paranormal”. Peran dan status ini sejalan dengan riset profesor antropologi, University Freiburg Jerman Judith Schleke yang berjudul “Paranormal Practitioners and Popular Religion in Contemporary Java”. 

Dalam risetnya, Schleke menunjukkan bahwa, paranormal modern di Indonesia enggan disebut “dukun”, sebab kata ini menimbulkan kesan tradisional, kuno dan desa. Oleh karena itu, para praktisi paranormal ini lebih memilih sebutan pakar supranatural, hipernatural atau spiritual. Keempat, terjadi juga pergeseran dalam hal kasuskasus yang ditangani paranormal perkotaan. Kasusnya mulai urusan dunia hiburan kalangan selebritas, urusan rumah tangga (percekcokan/perceraian), politik (pilkada) hingga kasus yang paling ekstrem seperti santet atau teluh. 

Krisis Rasionalitas 

Keberadaan Eyang Subur dan fenomena dukun maupun paranormal lainnya yang bergulat dengan dunia mistis adalah fenomena yang tidak terbantahkan dalam akar budaya masyarakat kita. Dalam realitas sosial, eksistensi paranormal sudah secara laten terlembagakan dalam struktur kognitif masyarakat kita. Fenomena ini dalam penjelasan Weber disebut dengan “mistifikasi dunia sosial”, yaitu menempatkan ruang mistis atau magic sebagai pilihan rasional dibandingkan dengan rasionalitas itu sendiri. 

Penjelasan Max Weber ini menunjukkan bahwa masyarakat kita berada pada titik krisis rasionalitas. Weber menggunakan logika mistifikasi dunia ketika menjelaskan masyarakat Calvin di Jerman yang dianggap sebagai pengikut Kristen yang patuh, taat, disiplin, kerja keras dan menjauhkan dari berbagai perilaku mistis atau magis. Di sini, para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi pertanyaan masalah mendasar yaitu jalan keselamatan menuju surga. 

Prinsip rasionalitas kemudian digunakan sebagai doktrin perilaku hidup dengan cara menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berbau mistis atau berkaitan dengan magis. Perilaku ini kemudian disebut dengan “demistifikasi dunia”. Masyarakat Indonesia berbeda dengan kaum Calvinis yang dianggap sebagai sekte paling taat di Protestan. Mereka berhasil menegasikan dunia mistik yang dianggap irasional dengan pilihan perilaku yang rasional. 

Keberadaan Eyang Subur tentu tidak bisa dengan mudah ditiadakan dalam keseharian masyarakat kita. Beberapa tahun lalu, kita juga pernah digegerkan dengan keberadaan dukun cilik Ponari yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan cara menyemplungkan batu ke air yang disemburkan ke kepala orang yang sakit. 

Kita akan berhadapan reproduksi sosial perilaku mistis seperti ini di kemudian hari. Kita akan menyaksikan Ponari yang lain atau penerusnya Eyang Subur. Singkatnya, kita menjumpai sebuah tembok kuat yang bernama mistifikasi dunia sosial. Tak ada pilihan lain, kita harus secara masif melakukan “demistifikasi dunia” kepada masyarakat sebagai bagian dari pencerahan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar