Sabtu, 13 April 2013

Profesi yang Diabaikan


Profesi yang Diabaikan
Abdul Halim  ;  Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
KORAN SINDO, 13 April 2013

  
Hari Nelayan Indonesia kembali diperingati pada 6 April 2013 lalu. Sudah 53 tahun lamanya sejak pertama kali dirayakan, masyarakat nelayan masih identik dengan kemiskinan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekitar 524 kabupaten/kota se- Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Label lain yang dilekatkan kepada masyarakat nelayan adalah profesi mereka yang cenderung diabaikan. 

Indikasinya, negara tidak memberikan perlindungan khusus kepada masyarakat nelayan untuk keselamatan dan kesehatan jiwanya. Faktanya, akibat cuaca ekstrem yang berlangsung hanya di Januari 2013, sebanyak 28 nelayan hilang dan meninggal dunia di laut tanpa perlindungan sedikit pun. Jumlah ini terus meningkat sejak tahun 2010 (86 jiwa nelayan), 2011 (149 jiwa), 2012 (186 jiwa), dan Januari 2013 (28 jiwa). 

Padahal, Acheson, seorang ahli antropologi nelayan, pada 1981 menyebut bahwa “Laut adalah dunia yang berbahaya dan asing, di mana manusia diperlengkapi secara minimal (poor) untuk bertahan hidup. Laut adalah dunia di mana manusia hanya bisa memasukinya dengan bantuan alat buatan (perahu, alat selam, dll), itu pun jika cuaca dan kondisi laut memungkinkan. 

Ancaman yang konstan dari ombak kencang, kecelakaan, dan kerusakan mekanis membuat kegiatan melaut menjadi pekerjaan yang paling membahayakan”
. Dalam konteks inilah, mestinya negara menaruh perhatian ekstra terhadap masyarakat nelayan. Apalagi, jumlahnya mencapai 2,2 juta jiwa. 

Christophe Bene, peneliti asal Universitas Paris, Prancis, menggarisbawahi adanya mispersepsi yang mengakibatkan masyarakat nelayan dilabeli negatif. Pertama, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah yang termiskin (the poorest of the poor). Fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. 

Alhasil, prinsip survival of the fittest berlaku di perkampungan nelayan. Kedua, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. 

Dalam analisis Bene, ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya risiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan. Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. 

Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mencatat sedikitnya 17 kabupaten/ kota pesisir di Indonesia menerapkan kebijakan reklamasi pantai dan menempatkan nelayan tradisional sebagai pihak yang tergusur dan dipaksa beralih profesi. Ironisnya, praktek ini dilegalisasi oleh Presiden SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Belakangan, kriminalisasi seolah menjadi tren perampasan tanah-air masyarakat nelayan. KIARA mencatat sedikitnya 25 nelayan dan pembudi daya diancam pasal-pasal karet saat memperjuangkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat selama Januari–Maret 2013. Padahal, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjamin “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Dalam Penjelasan Pasal 66 UU PPLH disebutkan, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. 

Ulasan di atas menggambarkan bahwa mispersepsi terhadap masyarakat nelayan berimbas negatif, di antaranya eksklusivitas perspektif pemangku kebijakan maupun masyarakat profesi lainnya. Padahal, dalam sedekade terakhir sudah banyak perubahan terjadi di perkampungan nelayan. 

Mengayomi 

Fenomena pengabaian negara terhadap profesi nelayan harus diakhiri. Malaysia, misalnya, mengayomi pahlawan proteinnya dengan baik. Tiap bulannya, mereka mendapatkan modal melaut sebesar Rp500.000 dan bisa langsung diakses dengan kartu nelayan yang berfungsi seperti kartu ATM (anjungan tunai mandiri). 

Layanan lain yang diperoleh adalah jaminan kesehatan dan perlindungan jiwa, akses BBM bersubsidi, dan mendapatkan insentif jika mendaratkan hasil tangkapan di tempat pelelangan ikan (TPI). Sebaliknya, nelayan tradisional Indonesia harus berjuang ekstra untuk memenuhi hak-hak dasarnya, seperti akses BBM bersubsidi, ketiadaan modal melaut dan sering kali berujung pada hutang yang menumpuk, maraknya pungutan perikanan, lingkungan hidup dan perairan yang jauh dari bersih dan sehat, serta tanpa perlindungan jiwa dan kesehatan. 

Tengoklah perkampungan nelayan di Pulau Miangas hingga Rote! Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa? Tumpulnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan pada tanggal 22 November 2011 yang memandatkan 18 menteri, panglima TNI, Kapolri, kepala BPN, kepala BPS, para gubernur, bupati/wali kota, untuk berkoordinasi secara integratif guna memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan harus diasah kembali agar manfaatnya sungguh-sungguh membekas di dalam kehidupan nelayan tradisional. Selamat Hari Nelayan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar