Hari
Nelayan Indonesia kembali diperingati pada 6 April 2013 lalu. Sudah 53
tahun lamanya sejak pertama kali dirayakan, masyarakat nelayan masih
identik dengan kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di
10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total
sekitar 524 kabupaten/kota se- Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau
25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta
jiwa. Label lain yang dilekatkan kepada masyarakat nelayan adalah profesi
mereka yang cenderung diabaikan.
Indikasinya, negara tidak memberikan perlindungan khusus kepada
masyarakat nelayan untuk keselamatan dan kesehatan jiwanya. Faktanya,
akibat cuaca ekstrem yang berlangsung hanya di Januari 2013, sebanyak 28
nelayan hilang dan meninggal dunia di laut tanpa perlindungan sedikit
pun. Jumlah ini terus meningkat sejak tahun 2010 (86 jiwa nelayan), 2011
(149 jiwa), 2012 (186 jiwa), dan Januari 2013 (28 jiwa).
Padahal, Acheson, seorang ahli antropologi nelayan, pada 1981 menyebut
bahwa “Laut adalah dunia yang berbahaya
dan asing, di mana manusia diperlengkapi secara minimal (poor) untuk
bertahan hidup. Laut adalah dunia di mana manusia hanya bisa memasukinya
dengan bantuan alat buatan (perahu, alat selam, dll), itu pun jika cuaca
dan kondisi laut memungkinkan.
Ancaman yang konstan dari ombak kencang, kecelakaan, dan kerusakan
mekanis membuat kegiatan melaut menjadi pekerjaan yang paling
membahayakan”. Dalam konteks inilah, mestinya negara menaruh
perhatian ekstra terhadap masyarakat nelayan. Apalagi, jumlahnya mencapai
2,2 juta jiwa.
Christophe Bene, peneliti asal Universitas Paris, Prancis,
menggarisbawahi adanya mispersepsi yang mengakibatkan masyarakat nelayan
dilabeli negatif. Pertama, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah
yang termiskin (the poorest of the
poor). Fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam
memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan
nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini.
Alhasil, prinsip survival of the
fittest berlaku di perkampungan nelayan. Kedua, kerentanan nelayan
semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah
hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah
tangkapnya. Di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan dimandatkan oleh
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Dalam analisis Bene, ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan
mandat UU inilah yang berujung pada tingginya risiko kegagalan ekonomi,
kebijakan dan institusi masyarakat nelayan. Ketiga, marjinalisasi sosial
dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan
terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, dan
pemberdayaan ekonomi.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mencatat sedikitnya 17 kabupaten/ kota
pesisir di Indonesia menerapkan kebijakan reklamasi pantai dan
menempatkan nelayan tradisional sebagai pihak yang tergusur dan dipaksa
beralih profesi. Ironisnya, praktek ini dilegalisasi oleh Presiden SBY
melalui Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Belakangan, kriminalisasi seolah menjadi tren perampasan tanah-air
masyarakat nelayan. KIARA mencatat sedikitnya 25 nelayan dan pembudi daya
diancam pasal-pasal karet saat memperjuangkan haknya atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat selama Januari–Maret 2013. Padahal, Pasal 66
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjamin “Setiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Dalam
Penjelasan Pasal 66 UU PPLH disebutkan, ketentuan ini dimaksudkan untuk
melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat
pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini
dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui
pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan
kemandirian peradilan.
Ulasan di atas menggambarkan bahwa mispersepsi terhadap masyarakat
nelayan berimbas negatif, di antaranya eksklusivitas perspektif pemangku
kebijakan maupun masyarakat profesi lainnya. Padahal, dalam sedekade
terakhir sudah banyak perubahan terjadi di perkampungan nelayan.
Mengayomi
Fenomena pengabaian negara terhadap profesi nelayan harus diakhiri.
Malaysia, misalnya, mengayomi pahlawan proteinnya dengan baik. Tiap
bulannya, mereka mendapatkan modal melaut sebesar Rp500.000 dan bisa
langsung diakses dengan kartu nelayan yang berfungsi seperti kartu ATM
(anjungan tunai mandiri).
Layanan lain yang diperoleh adalah jaminan kesehatan dan perlindungan
jiwa, akses BBM bersubsidi, dan mendapatkan insentif jika mendaratkan
hasil tangkapan di tempat pelelangan ikan (TPI). Sebaliknya, nelayan
tradisional Indonesia harus berjuang ekstra untuk memenuhi hak-hak
dasarnya, seperti akses BBM bersubsidi, ketiadaan modal melaut dan sering
kali berujung pada hutang yang menumpuk, maraknya pungutan perikanan,
lingkungan hidup dan perairan yang jauh dari bersih dan sehat, serta
tanpa perlindungan jiwa dan kesehatan.
Tengoklah perkampungan nelayan di Pulau Miangas hingga Rote!
Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia tidak bisa melakukan hal
serupa? Tumpulnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2011 tentang Perlindungan Nelayan pada tanggal 22 November 2011 yang
memandatkan 18 menteri, panglima TNI, Kapolri, kepala BPN, kepala BPS,
para gubernur, bupati/wali kota, untuk berkoordinasi secara integratif
guna memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum
bagi nelayan harus diasah kembali agar manfaatnya sungguh-sungguh
membekas di dalam kehidupan nelayan tradisional. Selamat Hari Nelayan Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar