Selasa, 09 April 2013

Merindu Keluguan Jogja


Merindu Keluguan Jogja
Reza Indragiri Amriel ;  Utusan DIJ pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia 1995-1996, Alumnus SMAN 9 Jogja dan Psikologi UGM, Kini Psikolog Forensik
JAWA POS, 09 April 2013

  
"ASAL dari mana?"

Setiap kali diajukan pertanyaan seperti itu, jawaban saya panjang. Rupa-rupa etnik saya sebutkan. Ujung akhirnya selalu sama, "Tapi saat liburan menjelang, kala Lebaran datang, saya maunya pulang ke Jogja."

Mendengar kata "Jogja", kadang datang pertanyaan susulan. "Ada keluarga di Jogja? Rumah di sana?" Saya menggeleng, "Teman-teman saya di sana."

Jogja memang istimewa bagi saya. Saking sayangnya saya pada Jogja, saya merasa lebih senang disapa "Mas" ketimbang "Bang".

Nyaman di telinga, tenteram di hati.

Proses "pemanusiaan" diri saya berlangsung di Jogja. Pindah ke Jogja dan sempat menumpang hidup di tempat tinggal keluarga di Kotabaru-Gondokusuman beberapa bulan, selebihnya saya memilih menjadi anak kos yang awet tinggal di daerah Miliran, Umbulharjo. Saya berani katakan, saya adalah manifestasi betapa Jogja adalah kota kepercayaan. Para orang tua, termasuk kelak -insya Allah- saya, berani memasrahkan anak-anak mereka merantau mengais ilmu karena Jogja adalah keluarga bersahaja dengan ritme hidup sederhana.

Menjelang mulai bermukim di Jogja, saya mempunyai gambaran kota itu sebagai anak perawan yang sa­ngat njawani. Pakai kemben batik, rambutnya basah kena air sungai, otaknya berisi, hatinya berbudi, berjalan menunduk, berbahasa dengan kata-kata Indonesia dan medok Jawa, tersipu-sipu saat saya ajak bicara, dan tak pernah lupa berbasa-basi setiap kali akan berpisah, "Mampir dulu, Mas." 

Idealitas imajiner itu selalu saya angguki. Secara nyata. Karena itulah, ibu sahabat saya -almarhum Wegig- yang tinggal di Kaliurang berjanji mendoakan saya agar menghabiskan hidup di Jogja.

Tidak hanya itu. Seorang abdi dalem Keraton Jogjakarto begitu bersemangat mengajak saya untuk menjadi pengabdi sultan di sana. Saya tak tahu apa yang dia lihat pada diri saya. Walau bahasa Jawa saya pating pecothot, si abdi dalem bilang, "Mboten nopo-nopo, Mas. Njenengan bisa jadi pemandu wisata untuk bule."

Satu lagi. Sepanjang tahun terakhir sebelum pindah dari Jogja, saya kerap terbangun di tengah malam buta. Sayup-sayup sampai saya dengar suara seperti drum band. Saya membayangkan suara itu datang dari sekelompok pemain drum band di pertigaan UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga. Mereka, masih dalam khayalan saya, berparade dari arah timur.

Belakangan, ketika halusinasi itu saya ceritakan ke sejumlah orang tua, mereka katakan bahwa itu adalah rombongan drum band Keraton Jogja. Tidak semua orang bisa mendengar suara itu. Yang mendengar, ini bikin saya terkesiap, "Musti nanti balik ke Jogja."

Lukisan tentang Jogja nan perawan itu yang pekan-pekan belakangan ini ternoda. Bercak terbesar yang paling mengotori, apa lagi kalau bukan insiden di Lapas Cebongan. 

Meski sudah terkuak, satu bongkah masalah yang lebih mendasar dan dekat dengan masyarakat Jogja. Dan, itu identik dengan kerisauan sekaligus kekesalan saya akan nasib Jogja sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Bukan di seputar insiden Cebongan semata. 

Ibarat rayap yang sedikit demi sedikit menggerogoti kanvas lukisan, bermunculannya pusat-pusat "hiburan" malam semacam diskotek sungguh terasa mengganggu batin. Peristiwa Cebongan, kalau dirunut ke belakang, berawal dari kejadian maut di salah satu sentra hiburan malam. Tidak hanya "hiburan". Kelompok-kelompok pengamanan partikelir (preman!) berkecambah menjadi benih-benih kerawanan bahkan kejahatan juga. Dan. polisi "entah di mana".

Ah, seandainya tidak ada tempat-tempat yang menghidangkan cahaya gemerlap di saat orang-orang semestinya terlelap, Sersan Kepala Heru Santoso hari ini masih berbicara dengan keluarganya. Sebelas rekan sekorpsnya pun masih asyik berlatih dan bekerja sebagai kesatria kebanggaan. Jogja tak tergores citranya sebagai wilayah modal republik.

Sebut saja saya yang kelahiran Jakarta ini kolot. Tapi, sejujurnya, saya kadung mengasosiasikan dunia gemerlap di pusat-pusat "hiburan" malam dengan tindak-tanduk tak patut. Narkoba, minuman keras, perjudian, seks bebas, paling tidak itu. Ketika ketiga setan tadi berhimpun di diskotek, dengan uang bertumpuk-tumpuk sebagai energinya, tinggal tunggu waktu saja sampai jam pasir habis meledakkan tragedi. 

Jogja pun, tak pelak, beralih paras. Dia kini seperti perempuan yang status kegadisannya tak lagi jelas. Norak oleh polesan gincu dan pupur tebal menyala. Berbau menyengat oleh tumpahan minyak wangi murahan. Lenggak-lenggoknya, alamak... membuat selera makan gudeg hilang dua pekan. Jogja yang dulu adalah perawan yang saya puja dari ujung kepala sampai ujung kaki, kini secara tragis telah berhasil menjadikan beberapa bagian nyata dari dirinya terasosiasi dengan kemesuman. 

Jogja tetap saya cintai walau kini ada perasaan enggan untuk menjamahnya. Masa lugu sudah berlalu. Mari eling lan waspodo. Betapapun kasus Cebongan menggemparkan, ia hanya salah satu akibat dari kealpaan kronis kita dalam mengasuh Jogja secara baik-baik.

Jogja akan tetap kaya-raya kendati tidak punya pusat-pusat "hiburan" malam. Juga tidak begitu arif menjadikan mal-mal sebagai tanda kemajuan perekonomian. Mengapa rendah diri mempertahankan jatidiri sebagai kampung yang apa adanya atau ala kadarnya, dan bukan kota yang maunya apa-apa ada? 

Sederhananya, apa susahnya kembali menjadikan Jogja sebagai tujuan bagi orang baik-baik untuk membangun impian yang baik-baik pula? Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar