"ASAL dari mana?"
Setiap
kali diajukan pertanyaan seperti itu, jawaban saya panjang. Rupa-rupa
etnik saya sebutkan. Ujung akhirnya selalu sama, "Tapi saat liburan menjelang, kala Lebaran datang, saya
maunya pulang ke Jogja."
Mendengar kata "Jogja",
kadang datang pertanyaan susulan. "Ada
keluarga di Jogja? Rumah di sana?" Saya menggeleng, "Teman-teman saya di sana."
Jogja memang istimewa bagi saya. Saking sayangnya saya pada Jogja,
saya merasa lebih senang disapa "Mas"
ketimbang "Bang".
Nyaman di telinga, tenteram di hati.
Proses "pemanusiaan" diri saya berlangsung di Jogja.
Pindah ke Jogja dan sempat menumpang hidup di tempat tinggal keluarga di
Kotabaru-Gondokusuman beberapa bulan, selebihnya saya memilih menjadi
anak kos yang awet tinggal di daerah Miliran, Umbulharjo. Saya berani
katakan, saya adalah manifestasi betapa Jogja adalah kota kepercayaan.
Para orang tua, termasuk kelak -insya Allah- saya, berani memasrahkan
anak-anak mereka merantau mengais ilmu karena Jogja adalah keluarga bersahaja
dengan ritme hidup sederhana.
Menjelang mulai bermukim di Jogja, saya mempunyai gambaran kota itu
sebagai anak perawan yang sangat njawani. Pakai kemben batik, rambutnya
basah kena air sungai, otaknya berisi, hatinya berbudi, berjalan
menunduk, berbahasa dengan kata-kata Indonesia dan medok Jawa,
tersipu-sipu saat saya ajak bicara, dan tak pernah lupa berbasa-basi
setiap kali akan berpisah, "Mampir
dulu, Mas."
Idealitas imajiner itu selalu saya angguki. Secara nyata. Karena
itulah, ibu sahabat saya -almarhum Wegig- yang tinggal di Kaliurang
berjanji mendoakan saya agar menghabiskan hidup di Jogja.
Tidak hanya itu. Seorang abdi dalem Keraton Jogjakarto begitu
bersemangat mengajak saya untuk menjadi pengabdi sultan di sana. Saya tak
tahu apa yang dia lihat pada diri saya. Walau bahasa Jawa saya pating pecothot, si abdi dalem bilang, "Mboten
nopo-nopo, Mas. Njenengan bisa jadi pemandu wisata
untuk bule."
Satu lagi. Sepanjang tahun terakhir sebelum pindah dari Jogja, saya
kerap terbangun di tengah malam buta. Sayup-sayup sampai saya dengar
suara seperti drum band.
Saya membayangkan suara itu datang dari sekelompok pemain drum band di pertigaan UIN (dulu IAIN)
Sunan Kalijaga. Mereka, masih dalam khayalan saya, berparade dari arah
timur.
Belakangan, ketika halusinasi itu saya ceritakan ke sejumlah orang
tua, mereka katakan bahwa itu adalah rombongan drum band Keraton Jogja. Tidak semua orang
bisa mendengar suara itu. Yang mendengar, ini bikin saya terkesiap, "Musti nanti balik ke
Jogja."
Lukisan tentang Jogja nan perawan itu yang pekan-pekan belakangan
ini ternoda. Bercak terbesar yang paling mengotori, apa lagi kalau bukan
insiden di Lapas Cebongan.
Meski sudah terkuak, satu bongkah masalah yang lebih mendasar dan
dekat dengan masyarakat Jogja. Dan, itu identik dengan kerisauan
sekaligus kekesalan saya akan nasib Jogja sebenarnya telah berlangsung
cukup lama. Bukan di seputar insiden Cebongan semata.
Ibarat rayap yang sedikit demi sedikit menggerogoti kanvas lukisan,
bermunculannya pusat-pusat "hiburan" malam semacam diskotek
sungguh terasa mengganggu batin. Peristiwa Cebongan, kalau dirunut ke
belakang, berawal dari kejadian maut di salah satu sentra hiburan malam.
Tidak hanya "hiburan". Kelompok-kelompok pengamanan partikelir
(preman!) berkecambah menjadi
benih-benih kerawanan bahkan kejahatan juga. Dan. polisi "entah di
mana".
Ah, seandainya tidak ada tempat-tempat yang menghidangkan cahaya
gemerlap di saat orang-orang semestinya terlelap, Sersan Kepala Heru
Santoso hari ini masih berbicara dengan keluarganya. Sebelas rekan
sekorpsnya pun masih asyik berlatih dan bekerja sebagai kesatria
kebanggaan. Jogja tak tergores citranya sebagai wilayah modal republik.
Sebut saja saya yang kelahiran Jakarta ini kolot. Tapi, sejujurnya,
saya kadung mengasosiasikan dunia gemerlap di pusat-pusat
"hiburan" malam dengan tindak-tanduk tak patut. Narkoba,
minuman keras, perjudian, seks bebas, paling tidak itu. Ketika ketiga
setan tadi berhimpun di diskotek, dengan uang bertumpuk-tumpuk sebagai
energinya, tinggal tunggu waktu saja sampai jam pasir habis meledakkan
tragedi.
Jogja pun, tak pelak, beralih paras. Dia kini seperti perempuan
yang status kegadisannya tak lagi jelas. Norak oleh polesan gincu dan
pupur tebal menyala. Berbau menyengat oleh tumpahan minyak wangi murahan.
Lenggak-lenggoknya, alamak... membuat selera makan gudeg
hilang dua pekan. Jogja yang dulu adalah perawan yang saya puja dari
ujung kepala sampai ujung kaki, kini secara tragis telah berhasil
menjadikan beberapa bagian nyata dari dirinya terasosiasi dengan
kemesuman.
Jogja tetap saya cintai walau kini ada perasaan enggan untuk
menjamahnya. Masa lugu sudah berlalu. Mari eling lan waspodo. Betapapun kasus Cebongan
menggemparkan, ia hanya salah satu akibat dari kealpaan kronis kita dalam
mengasuh Jogja secara baik-baik.
Jogja akan tetap kaya-raya kendati tidak punya pusat-pusat
"hiburan" malam. Juga tidak begitu arif menjadikan mal-mal
sebagai tanda kemajuan perekonomian. Mengapa rendah diri mempertahankan
jatidiri sebagai kampung yang apa adanya atau ala kadarnya, dan bukan
kota yang maunya apa-apa ada?
Sederhananya, apa susahnya kembali menjadikan Jogja sebagai tujuan
bagi orang baik-baik untuk membangun impian yang baik-baik pula? Allahu a'lam.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar