”Sejuta preman mati, rakyat Yogya tidak rugi” (Kompas, 7/4)
Bunyi spanduk di atas yang
terpampang di salah satu kawasan di Yogyakarta serta pesan pendek
masyarakat yang dikutip media setempat merupakan bagian dari ekspresi
masyarakat yang resah menghadapi perilaku preman di kota budaya tersebut.
Keganasan preman di Yogyakarta dewasa ini belum seganas tahun 1980-an.
Namun, kalau dibiarkan, dapat dipastikan kekejaman preman dapat terulang
lagi. Padahal, masyarakat kini sedang menggelorakan roh budaya untuk
menata kehidupan yang oleh Sultan Hamengku Buwono X disebut ”Renaisans Yogyakarta”.
Perbuatan yang dilakukan oknum
mesin perang negara dengan mengeksekusi empat preman tidak hanya
mencederai nilai-nilai adiluhung, tetapi juga melabrak prinsip-prinsip
kehidupan. Sebagai instrumen kekerasan negara melawan kekuatan militer
eksternal (asing), mereka memang didoktrin dengan nilai-nilai yang sarat
dengan rasa solidaritas, jiwa kesatria, dan bersedia menyongsong kematian
demi kejayaan bangsa dan negara. Komando Pasukan Khusus (Kopassus) adalah
insan yang, karena totalitas dedikasinya terhadap negara, harus mampu
menjalin persahabatan dengan kematian. Mental dan fisik mereka
digembleng, terkadang sampai melewati ambang batas kemampuan menahan
derita.
Sikap mereka yang dengan cepat
mengakui perbuatannya merupakan hasil penanaman nilai tersebut.
Ironisnya, sikap gagah berani itu ditemukan pada pribadi yang dewasa ini
dinistakan karena membunuh preman, yang notabene telah membunuh anggota
Kopassus. Tentu hal itu juga tidak dapat dilepaskan dari pimpinan TNI
yang ingin menjaga martabat dan profesionalisme institusi yang mengaku
telah melakukan reformasi. Sikap gagah juga disampaikan Komandan Jenderal
Kopassus yang menyatakan bahwa dirinya yang paling bertanggung jawab atas
perilaku anak buahnya. Ia seakan ingin menegaskan dalil di lingkungan
TNI, anak buah salah, pimpinan yang mengambil alih tanggung jawab. Mutasi
Panglima Kodam Diponegoro dan Kepala Polda DIY merupakan salah satu
bentuk pertanggungjawaban mereka sebagai pimpinan. Karena itu, banyak
kalangan, termasuk Presiden, sangat menghargai sikap itu.
Perilaku yang sangat kontras
dengan kasatmata dapat disaksikan dalam mengungkapkan kasus korupsi
politik atau penyalahgunaan kekuasaan. Diperlukan waktu berbulan-bulan
dan terkadang tahunan untuk mengungkapkan korupsi politik. Para tersangka
menggunakan segala cara untuk menyelamatkan diri dari perbuatan yang
sangat nista dan durhaka serta menyengsarakan rakyat. Ironisnya, mereka
adalah sosok yang diberi mandat, kepercayaan, martabat, dan kekuasaan
untuk memenuhi harapan masyarakat. Namun, perilaku mereka justru jauh
dari sikap negarawan karena telah menjadi penikmat kekuasaan.
Kejahatan luar biasa tersebut
tidak hanya membunuh individu. Korupsi telah membunuh kehidupan. Pelaku
telah menumpas nilai yang menjadi tonggak dan roh bangsa serta negara.
Kejahatan yang mengancam peradaban bangsa. Mereka adalah preman politik
yang lapar kekuasaan. Eksekusi mereka membunuh kehidupan tidak dengan
bersenjata laras panjang dan muka ditutup kaus atau sejenisnya, tetapi
dengan bertransaksi kepentingan disertai muka bermimik welas asih dan
senyum palsu.
Karena itu, apresiasi sejumlah
kalangan terhadap sikap kesatria para prajurit itu sebenarnya juga
merupakan percikan dari ekspektasi dan desakan masyarakat agar di dunia
politik kejujuran jangan dianggap sebagai kebodohan. Di ranah yang
dijejali janji-janji kosong, adu lihai, dan siasat, transaksi politik
dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan. Akibatnya, negara seakan lumpuh
dan bingung sehingga tak mampu bertindak tegas terhadap maraknya preman
jalanan, anarki massa, serta merajalelanya preman politik.
Dengan tidak mengurangi sedikit
pun penyesalan terhadap kekejaman para eksekutor di Cebongan, sikap
mereka yang mau mengakui perbuatannya memberikan pelajaran bahwa bangsa
Indonesia berhasil memproduksi generasi muda berkarakter yang mempunyai
totalitas mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Namun, pembinaan
mereka—terutama disiplin, pengendalian diri, serta implementasi semangat
solidaritas terhadap kesatuan—masih sangat perlu ditingkatkan.
Di medan perjuangan politik
sudah seharusnya dilakukan pendidikan karakter sehingga menghasilkan
generasi muda yang berwatak karena mereka adalah calon pemimpin bangsa
dan negara yang akan menentukan nasib dan masa depan Indonesia. Tanpa
menanamkan benih keutamaan yang dapat membekali calon pemegang kekuasaan
sama halnya dengan menyerahkan negara kepada para pembunuh peradaban.
Sementara itu, untuk memberantas
preman jalanan, pembangunan lembaga hukum tidak hanya berhenti pada
retorika dan seremoni, tetapi juga harus dilakukan dengan politik dan
strategi pendidikan yang benar. Antara lain, rekrutmen aparat penegak
hukum harus bebas dari campur tangan politik, kepentingan uang, serta faktor
favoritisme.
Betapa prihatinnya masyarakat
terhadap maraknya premanisme. Kuotasi SMS di koran lokal mencerminkan
itu: Kopassus sudah mengakui
tindakannya di Lapas Cebongan, tapi nuraniku tetap dukung pembasmian
preman di bumi Indonesia.....!!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar