Jumat, 19 April 2013

Meretas Harmonisasi Multikutural


Meretas Harmonisasi Multikutural
Lilik Ummi Kaltsum ;  Dosen Ulumul Quran, Tahfidz dan Tafsir pada Departemen Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 19 April 2013


Sebagai bangsa plural dari segi agama, Indonesia memiliki persoalan krusial, yakni potensi konflik horisontal di tingkatan masyarakat akar rumput. Persoalan tersebut mewujud dalam bentuk kekerasan antarsuku, agama, ras, etnis, hingga aliran yang berbeda dari arus utama. Oleh karenanya, perlu diretas kembali pentingnya penelusuran akar-akar radikalisme yang makin akut dewasa ini. Hal tersebut dilakukan demi harmonisasi multikultural (baca: kebhinnekaan) di bumi pertiwi.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang Bhinneka Tunggal Ika, terdapat pesan multikultural untuk membangun harmonisasi kehidupan yang selaras dengan tuntunan Al Quran. Yakni, manusia diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan jenis kelamin berbeda. (Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT, ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal), QS. Al-Hujurat: 13.

Ayat di atas menunjukkan betapa keragaman dan perbedaan yang dimiliki bangsa ini merupakan rahmat Tuhan yang patut disyukuri. Memaknai keragaman secara benar merupakan manifestasi rasa syukur tersebut. Pesan ini menjadi relevan dan kontekstual mengingat kekerasan dan disharmoni di hampir semua lini kehidupan masih mewarnai perjalanan bangsa kita. Sayangnya, kesalahan pemaknaan terhadap pluralitas acapkali melahirkan sikap egois sektoral nan radikal. Hal ini disebabkan pemahaman parsial, minus integral. Akibatnya, ketidakadilan dan ketimpangan yang memicu konflik dalam relasi antaragama, antarkultur, dan antaretnis menjadi hal lumrah.

Peristiwa ketegangan intra umat dan antar-umat beragama hingga kini masih setia mengiringi perjalanan bangsa ini. Kerugian baik materi maupun non materi sudah tak terbilang lagi. Melihat kondisi mutakhir, saatnya Republik dikelola dengan manajemen multikultural yang bukan hanya menerima perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah semata, namun juga mampu melahirkan semangat untuk saling memahami satu sama lain.

Kekerasan yang terjadi di masyarakat setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, persoalan intra agama seperti Syi'ah di Madura beberapa waktu lalu mestinya menjadi pelajaran berharga betapa kita mudah tersulut untuk berbuat anarkis. Tragisnya, pascakerusuhan muncul pula fatwa MUI yang memvonis kelompok yang berbeda dengan arus utama tersebut dengan label "sesat dan menyesatkan".

Tak ayal, fatwa tersebut kemudian dijadikan senjata pamungkas untuk menebas kaum minoritas oleh kelompok radikal (yang juga minoritas). Efek domino dari fatwa tersebut kemudian menyulut kerusuhan bagi kelompok minoritas di tempat lain. Pertanyaan yang sering muncul dalam benak publik adalah, mengapa mayoritas selalu diunggulkan dan dipermudah segala urusannya sedangkan minoritas selalu dituntut mengalah atau dikalahkan haknya?

Jawaban atas pertanyaan ini kadang tidak konsisten. Tergantung siapa mayoritas, siapa pula yang minoritas. Secara teoritis idealis, sikap mendua demikian akan melahirkan paradoks. Sudah tentu, bakal dikecam publik.

Sayangnya, sikap demikian kerap terjadi di sekitar kita. Realitas yang terjadi di depan mata seakan melegalkan penguasaan kelompok mayoritas atas hak-hak minoritas. Sikap seperti ini mestinya diredam untuk menghindari eskalasi kekerasan yang berujung pertumpahan darah dan air mata.

Kedua, persoalan antar agama. Semua sepakat jika persoalan antar umat beragama hingga kini bak bara dalam sekam. Tinggal menunggu kapan akan meledak. Kasus GKI Yasmin di Bogor, misalnya, menjadi potret buram betapa persoalan agama dengan mudah diseret ke wilayah politik. Betapa tidak, soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang ditolak oleh Pemda setempat yang berujung diterima banding di Mahkamah Agung, namun hingga kini tak jua diberi izin oleh Sang Walikota.

Untuk menyikap fenomena ini, setidaknya ada tiga pihak yang memiliki peran dalam meretas perdamaian dan harmonisasi multikultural. Pertama, para da'i (penyeru agama). Sebagai panutan umat, para da'i hendaknya memaksimalkan transfer nilai-nilai moral universal yang langsung dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai tersebut harus mampu memberi manfaat bagi masyarakat luas. Artinya, para da'i mampu menjadi motivator sekaligus inspirator lahirnya pengakuan atas keragaman di dalam diri sekaligus di luar dirinya, bukan hanya terbatas golongan seiman dan sealiran saja.

Dengan kata lain, seorang muslim perlu melihat orang lain apa adanya, sehingga kehidupan ini dipandang sebagai suatu rajutan kompleks dari berbagai faktor, yang melaluinya harmoni dapat disulam satu sama lain. Kebersamaan dan kepedulian antar sesama secara universal semacam inilah yang akan menjadikan bangsa ini menjadi kuat. Pandangan ini dapat membantu kaum muslim untuk memahami bahwa antara keragaman internal dan eksternal sama kompleksnya.

Kedua, para pemeluk agama. Umat patut waspada dan kritis jika menemui tokoh yang menyeru kepada permusuhan atas nama agama. Apalagi dengan ekstrim berdalih demi membela Tuhan. Umat harus sadar bahwa Tuhan tidak butuh pembelaan manusia yang lemah lagi terbatas. Tuhan mencipta manusia di bumi bukan untuk berbuat kerusakan, apalagi sampai menyebabkan lenyapnya nyawa manusia. Keberadaan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi justru untuk menjaga kelestarian alam semesta.

Ketiga, pemerintah. Sebagai pemegang kendali negara, pemerintah wajib memposisikan diri sebagai pengayom bagi setiap warga. Tidak terjebak pada perbedaan warna kulit, ras, agama, dan keyakinan, dan pemerintah mesti memberi perlindungan yang sama terhadap hak-hak warga negara termasuk hak beragama dan berkeyakinan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar