Sebagai bangsa plural dari
segi agama, Indonesia memiliki persoalan krusial, yakni potensi konflik
horisontal di tingkatan masyarakat akar rumput. Persoalan tersebut
mewujud dalam bentuk kekerasan antarsuku, agama, ras, etnis, hingga
aliran yang berbeda dari arus utama. Oleh karenanya, perlu diretas
kembali pentingnya penelusuran akar-akar radikalisme yang makin akut
dewasa ini. Hal tersebut dilakukan demi harmonisasi multikultural (baca:
kebhinnekaan) di bumi pertiwi.
Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara yang Bhinneka Tunggal Ika, terdapat pesan multikultural
untuk membangun harmonisasi kehidupan yang selaras dengan tuntunan Al
Quran. Yakni, manusia diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan
jenis kelamin berbeda. (Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah SWT, ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal), QS. Al-Hujurat: 13.
Ayat di atas menunjukkan
betapa keragaman dan perbedaan yang dimiliki bangsa ini merupakan rahmat
Tuhan yang patut disyukuri. Memaknai keragaman secara benar merupakan manifestasi
rasa syukur tersebut. Pesan ini menjadi relevan dan kontekstual mengingat
kekerasan dan disharmoni di hampir semua lini kehidupan masih mewarnai
perjalanan bangsa kita. Sayangnya, kesalahan pemaknaan terhadap
pluralitas acapkali melahirkan sikap egois sektoral nan radikal. Hal ini
disebabkan pemahaman parsial, minus integral. Akibatnya, ketidakadilan
dan ketimpangan yang memicu konflik dalam relasi antaragama, antarkultur,
dan antaretnis menjadi hal lumrah.
Peristiwa ketegangan intra
umat dan antar-umat beragama hingga kini masih setia mengiringi
perjalanan bangsa ini. Kerugian baik materi maupun non materi sudah tak
terbilang lagi. Melihat kondisi mutakhir, saatnya Republik dikelola
dengan manajemen multikultural yang bukan hanya menerima perbedaan dan
keragaman sebagai sunnatullah semata, namun juga mampu melahirkan
semangat untuk saling memahami satu sama lain.
Kekerasan yang terjadi di
masyarakat setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, persoalan intra
agama seperti Syi'ah di Madura beberapa waktu lalu mestinya menjadi
pelajaran berharga betapa kita mudah tersulut untuk berbuat anarkis.
Tragisnya, pascakerusuhan muncul pula fatwa MUI yang memvonis kelompok
yang berbeda dengan arus utama tersebut dengan label "sesat dan menyesatkan".
Tak ayal, fatwa tersebut
kemudian dijadikan senjata pamungkas untuk menebas kaum minoritas oleh
kelompok radikal (yang juga minoritas). Efek domino dari fatwa tersebut
kemudian menyulut kerusuhan bagi kelompok minoritas di tempat lain.
Pertanyaan yang sering muncul dalam benak publik adalah, mengapa
mayoritas selalu diunggulkan dan dipermudah segala urusannya sedangkan
minoritas selalu dituntut mengalah atau dikalahkan haknya?
Jawaban atas pertanyaan ini
kadang tidak konsisten. Tergantung siapa mayoritas, siapa pula yang
minoritas. Secara teoritis idealis, sikap mendua demikian akan melahirkan
paradoks. Sudah tentu, bakal dikecam publik.
Sayangnya, sikap demikian
kerap terjadi di sekitar kita. Realitas yang terjadi di depan mata seakan
melegalkan penguasaan kelompok mayoritas atas hak-hak minoritas. Sikap
seperti ini mestinya diredam untuk menghindari eskalasi kekerasan yang
berujung pertumpahan darah dan air mata.
Kedua, persoalan antar
agama. Semua sepakat jika persoalan antar umat beragama hingga kini bak
bara dalam sekam. Tinggal menunggu kapan akan meledak. Kasus GKI Yasmin
di Bogor, misalnya, menjadi potret buram betapa persoalan agama dengan
mudah diseret ke wilayah politik. Betapa tidak, soal Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) yang ditolak oleh Pemda setempat yang berujung diterima
banding di Mahkamah Agung, namun hingga kini tak jua diberi izin oleh
Sang Walikota.
Untuk menyikap fenomena ini,
setidaknya ada tiga pihak yang memiliki peran dalam meretas perdamaian
dan harmonisasi multikultural. Pertama, para da'i (penyeru agama).
Sebagai panutan umat, para da'i hendaknya memaksimalkan transfer
nilai-nilai moral universal yang langsung dapat dipraktekkan dalam
kehidupan nyata. Nilai-nilai tersebut harus mampu memberi manfaat bagi
masyarakat luas. Artinya, para da'i mampu menjadi motivator sekaligus
inspirator lahirnya pengakuan atas keragaman di dalam diri sekaligus di
luar dirinya, bukan hanya terbatas golongan seiman dan sealiran saja.
Dengan kata lain, seorang
muslim perlu melihat orang lain apa adanya, sehingga kehidupan ini
dipandang sebagai suatu rajutan kompleks dari berbagai faktor, yang
melaluinya harmoni dapat disulam satu sama lain. Kebersamaan dan
kepedulian antar sesama secara universal semacam inilah yang akan
menjadikan bangsa ini menjadi kuat. Pandangan ini dapat membantu kaum
muslim untuk memahami bahwa antara keragaman internal dan eksternal sama
kompleksnya.
Kedua, para pemeluk agama.
Umat patut waspada dan kritis jika menemui tokoh yang menyeru kepada
permusuhan atas nama agama. Apalagi dengan ekstrim berdalih demi membela
Tuhan. Umat harus sadar bahwa Tuhan tidak butuh pembelaan manusia yang
lemah lagi terbatas. Tuhan mencipta manusia di bumi bukan untuk berbuat
kerusakan, apalagi sampai menyebabkan lenyapnya nyawa manusia. Keberadaan
manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi justru untuk menjaga
kelestarian alam semesta.
Ketiga, pemerintah. Sebagai
pemegang kendali negara, pemerintah wajib memposisikan diri sebagai
pengayom bagi setiap warga. Tidak terjebak pada perbedaan warna kulit,
ras, agama, dan keyakinan, dan pemerintah mesti memberi perlindungan yang
sama terhadap hak-hak warga negara termasuk hak beragama dan
berkeyakinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar