Dalam catatan sejarah
terdapat berbagai pendapat mengenai waktu tepat lahirnya Nabi Muhammad
SAW. Baik mengenai tahun, bulan, hari maupun tanggalnya. Ibnu Katsir
dalam Kitab Al Bidayah wa Al nihayah (juz II, 206-267) juga menjelaskan
keanekaragaman pendapat para ulama tentang kelahiran panutan umat Islam
di seluruh dunia ini.
Di Indonesia dikenalkan
dengan tahun gajah sebagai tahun lahirnya Nabi, 12 Rabbiul Awal sebagai
tanggal lahirnya dan hari Senin sebagai hari lahirnya. Namun, diluar itu,
ternyata terdapat berbagai asumsi tentang hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas,
Nabi lahir tepat pada saat peristiwa penyerbuan pasukan bergajah pimpinan
Raja Abrahah Al Habsy. Sedangkan menurut Abu Ja'far Al Baqir, Nabi
dilahirkan 55 hari setelah peristiwa tersebut. Lain lagi dengan pendapat
Abu Zakaria Al Ajalani yang menyatakan bahwa Nabi dilahirkan empat tahun
setelah tahun gajah.
Selanjutnya mengenai bulan
lahirnya Nabi, sebagian ulama berpendapat kelahiran Nabi pada bulan
Rabbi'ul Awwal seperti dipercaya hingga saat ini. Ibnu Hazm menyatakan
bahwa kelahiran Nabi jatuh pada 8 Rabbiul Awwal. Sedangkan Ibnu Ishaq
berpendapat pada tanggal 12 Rabbi'ul Awwal. Ada juga yang berpendapat
antara tanggal 2, 9, dan 17 Rabbi'ul Awwal. Namun ternyata selain di
bulan Rabbiul Awwal beberapa ulama lain ada yang berpendapat pada bulan
Muharram, Safar dan Rajab. Hari lahir Nabi pun juga tak lepas dari
kontroversi, ada yang berasumsi pada hari Senin dan ada pula yang
mengatakan hari Jumat.
Bermacam pendapat di atas
jelas bisa saja terjadi di antara para ulama, karena memang pada masa
kelahiran Nabi belum terdapat tradisi pencatatan waktu lahir seperti
sekarang ini. Sebab itu pula, hingga saat ini tidak ada konsensus ulama
tentang waktu tepat lahirnya Nabi. Memang, suatu hal yang sangat sulit
juga harus menetapkan secara persis kelahiran tokoh besar beribu tahun
yang lalu, seperti juga nabi-nabi sebelumnya.
Meski demikian, dalam
penanggalan Indonesia Maulid Nabi di tetapkan pada tanggal 12 Rabbiul
Awwal, dan diperingati pula oleh mayoritas ummat Islam pada tanggal
tersebut. Banyak hal yang dilakukan sebagai bentuk perayaan atas lahirnya
Nabi hingga saat ini, mulai dari berkumpul bersama untuk membaca
sholawat, pembacaan tarikh nabi, pengajian akbar, dan lain sebagainya.
Meskipun kemudian ritual-ritual perayaan tersebut mendapat kritikan demi
kritikan dari beberapa pihak, tentunya dikarenakan perbedaan dalam
pemahaman Al Qur’an maupun Hadits.
Anggapan perayaan auled Nabi
sebagai bentuk sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah SAW
atau disebut bid’ah dijadikan alasannya. Menyatakan sesuai dalil naqli
bahwa setiap bid’ah adalah sesat sering diungkapkan. Meskipun kemudian
menurut pandangan ulama pendiri madzhab Syafii mengatakan bahwa bid’ah
itu ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan, yang tercela. Yang sesuai
dengan sunah Nabi itulah yang terpuji sedangkan yang bertentangan dengan
sunah Nabi itulah yang tercela (Hilyatul Auliyaa Karya Abu Na’im (IX/113)
dan Fathul Baari (XIII/253).
Inilah dewasa ini yang
sering menjadi bahan perdebatan antar golongan pro dan kontra terhadap
peringatan maulid Nabi. Setiap kelompok tentunya memiliki dasar
sendiri-sendiri dalam setiap tindakan yang dilakukan. Memaksakan dasar
yang dimiliki untuk juga menjadi dasar orang lain dalam bertindak, yang
mana orang lain tersebut juga memiliki dasar sendiri jelas tidak bisa
dibenarkan.
Apalagi jika kemudian setiap perdebatan itu tidak atas niatan
menegakkan agama, akan tetapi untuk memamerkan ketinggian intelektual
yang dimiliki semata. Sangat memprihatinkan jika ternyata itu yang
terjadi.
Akan lebih baik jika
perbedaan pendapat karena dasar yang dimiliki masing-masing itu saling
dihargai daripada harus diperselisihkan yang kemudian menimbulkan
perpecahan. Bukankah Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan kepada
umatnya untuk memelihara perpecahan karena perselisihan pendapat. Salah
besar jika pada momen kelahiran Nabi kita malah mengiringi dengan hal-hal
yang tak diajarkan bahkan tercela.
Maulid Nabi seharusnya bisa
menjadi bahan refleksi diri. Mengingat kembali perjuangan Nabi dalam
menyiarkan agama Islam yang tentunya tidak mudah. Bagaimana beliau
bersikap dalam menghadapi setiap rintangan yang diberikan musuh-musuh
Islam ketika itu. Apa saja yang telah beliau ajarkan pada ummatnya di
tengah rong-rongan kaum kafir yang tak henti-hentinya mengancam.
Poin refleksi diri selanjutnya
adalah apakah keteladanan yang beliau tunjukkan dalam setiap tingkah laku
maupun ucapannya telah kita jalankan? Ketika beliau menjadi seorang
pemimpin rakyat, ketika beliau menjadi orang tua terhadap anak-anaknya,
ketika beliau bersikap dengan seluruh lapisan masyarakat, dan
teladan-teladan yang lainnya. Bukankah sangat banyak risalah yang
disampaikan.
Salahkan jika kita mengaku
bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun tindakan kriminal
di lancarkan di mana-mana. Pencurian, pencopetan, penganiyaan bahkan
pembunuhan seakan menjadi hal biasa dikalangan masyarakat. Belum lagi
kasus-kasus para pejabat yang korup, menindas rakyat jelata dengan
kecendekiaannya memainkan laporan-laporan keuangan.
Masihkah terus menerus
berselisih dengan asumsi-asumsi pribadi golongan, di tengah keadaan
bangsa yang kian galau. Negeri ini sedang membutuhkan kerja nyata dari
warganya yang mengaku beragama dengan misi rahmatan lilalamin. Bukan
sekedar adu mulut yang katanya untuk menegakkan agama namun sebenarnya jauh
dari tujuan itu. Jadikanlah Nabi 1434 H ini sebagai ajang refleksi diri
atas kelalaian yang terjadi selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar