Jumat, 19 April 2013

Refleksi Maulid Nabi


Refleksi Maulid Nabi
Nafisatul Husniah ;  Mahasantri Pesantren Mahasiswi IAIN Sunan Ampel, Surabaya
SUARA KARYA, 19 April 2013


Dalam catatan sejarah terdapat berbagai pendapat mengenai waktu tepat lahirnya Nabi Muhammad SAW. Baik mengenai tahun, bulan, hari maupun tanggalnya. Ibnu Katsir dalam Kitab Al Bidayah wa Al nihayah (juz II, 206-267) juga menjelaskan keanekaragaman pendapat para ulama tentang kelahiran panutan umat Islam di seluruh dunia ini.

Di Indonesia dikenalkan dengan tahun gajah sebagai tahun lahirnya Nabi, 12 Rabbiul Awal sebagai tanggal lahirnya dan hari Senin sebagai hari lahirnya. Namun, diluar itu, ternyata terdapat berbagai asumsi tentang hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, Nabi lahir tepat pada saat peristiwa penyerbuan pasukan bergajah pimpinan Raja Abrahah Al Habsy. Sedangkan menurut Abu Ja'far Al Baqir, Nabi dilahirkan 55 hari setelah peristiwa tersebut. Lain lagi dengan pendapat Abu Zakaria Al Ajalani yang menyatakan bahwa Nabi dilahirkan empat tahun setelah tahun gajah.

Selanjutnya mengenai bulan lahirnya Nabi, sebagian ulama berpendapat kelahiran Nabi pada bulan Rabbi'ul Awwal seperti dipercaya hingga saat ini. Ibnu Hazm menyatakan bahwa kelahiran Nabi jatuh pada 8 Rabbiul Awwal. Sedangkan Ibnu Ishaq berpendapat pada tanggal 12 Rabbi'ul Awwal. Ada juga yang berpendapat antara tanggal 2, 9, dan 17 Rabbi'ul Awwal. Namun ternyata selain di bulan Rabbiul Awwal beberapa ulama lain ada yang berpendapat pada bulan Muharram, Safar dan Rajab. Hari lahir Nabi pun juga tak lepas dari kontroversi, ada yang berasumsi pada hari Senin dan ada pula yang mengatakan hari Jumat.

Bermacam pendapat di atas jelas bisa saja terjadi di antara para ulama, karena memang pada masa kelahiran Nabi belum terdapat tradisi pencatatan waktu lahir seperti sekarang ini. Sebab itu pula, hingga saat ini tidak ada konsensus ulama tentang waktu tepat lahirnya Nabi. Memang, suatu hal yang sangat sulit juga harus menetapkan secara persis kelahiran tokoh besar beribu tahun yang lalu, seperti juga nabi-nabi sebelumnya.

Meski demikian, dalam penanggalan Indonesia Maulid Nabi di tetapkan pada tanggal 12 Rabbiul Awwal, dan diperingati pula oleh mayoritas ummat Islam pada tanggal tersebut. Banyak hal yang dilakukan sebagai bentuk perayaan atas lahirnya Nabi hingga saat ini, mulai dari berkumpul bersama untuk membaca sholawat, pembacaan tarikh nabi, pengajian akbar, dan lain sebagainya. Meskipun kemudian ritual-ritual perayaan tersebut mendapat kritikan demi kritikan dari beberapa pihak, tentunya dikarenakan perbedaan dalam pemahaman Al Qur’an maupun Hadits.

Anggapan perayaan auled Nabi sebagai bentuk sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah SAW atau disebut bid’ah dijadikan alasannya. Menyatakan sesuai dalil naqli bahwa setiap bid’ah adalah sesat sering diungkapkan. Meskipun kemudian menurut pandangan ulama pendiri madzhab Syafii mengatakan bahwa bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan, yang tercela. Yang sesuai dengan sunah Nabi itulah yang terpuji sedangkan yang bertentangan dengan sunah Nabi itulah yang tercela (Hilyatul Auliyaa Karya Abu Na’im (IX/113) dan Fathul Baari (XIII/253).

Inilah dewasa ini yang sering menjadi bahan perdebatan antar golongan pro dan kontra terhadap peringatan maulid Nabi. Setiap kelompok tentunya memiliki dasar sendiri-sendiri dalam setiap tindakan yang dilakukan. Memaksakan dasar yang dimiliki untuk juga menjadi dasar orang lain dalam bertindak, yang mana orang lain tersebut juga memiliki dasar sendiri jelas tidak bisa dibenarkan. 

Apalagi jika kemudian setiap perdebatan itu tidak atas niatan menegakkan agama, akan tetapi untuk memamerkan ketinggian intelektual yang dimiliki semata. Sangat memprihatinkan jika ternyata itu yang terjadi.

Akan lebih baik jika perbedaan pendapat karena dasar yang dimiliki masing-masing itu saling dihargai daripada harus diperselisihkan yang kemudian menimbulkan perpecahan. Bukankah Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk memelihara perpecahan karena perselisihan pendapat. Salah besar jika pada momen kelahiran Nabi kita malah mengiringi dengan hal-hal yang tak diajarkan bahkan tercela.

Maulid Nabi seharusnya bisa menjadi bahan refleksi diri. Mengingat kembali perjuangan Nabi dalam menyiarkan agama Islam yang tentunya tidak mudah. Bagaimana beliau bersikap dalam menghadapi setiap rintangan yang diberikan musuh-musuh Islam ketika itu. Apa saja yang telah beliau ajarkan pada ummatnya di tengah rong-rongan kaum kafir yang tak henti-hentinya mengancam.

Poin refleksi diri selanjutnya adalah apakah keteladanan yang beliau tunjukkan dalam setiap tingkah laku maupun ucapannya telah kita jalankan? Ketika beliau menjadi seorang pemimpin rakyat, ketika beliau menjadi orang tua terhadap anak-anaknya, ketika beliau bersikap dengan seluruh lapisan masyarakat, dan teladan-teladan yang lainnya. Bukankah sangat banyak risalah yang disampaikan.

Salahkan jika kita mengaku bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun tindakan kriminal di lancarkan di mana-mana. Pencurian, pencopetan, penganiyaan bahkan pembunuhan seakan menjadi hal biasa dikalangan masyarakat. Belum lagi kasus-kasus para pejabat yang korup, menindas rakyat jelata dengan kecendekiaannya memainkan laporan-laporan keuangan.

Masihkah terus menerus berselisih dengan asumsi-asumsi pribadi golongan, di tengah keadaan bangsa yang kian galau. Negeri ini sedang membutuhkan kerja nyata dari warganya yang mengaku beragama dengan misi rahmatan lilalamin. Bukan sekedar adu mulut yang katanya untuk menegakkan agama namun sebenarnya jauh dari tujuan itu. Jadikanlah Nabi 1434 H ini sebagai ajang refleksi diri atas kelalaian yang terjadi selama ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar