Pada tahun 1950-an di Ambarawa, Jawa Tengah, saya sering mendengar
orang-orang berkata menggunakan bahasa Jawa halus, ”Piyambakipun ngagem préman kok.” (Beliau berbusana preman, kok.) Waktu itu siapa pun tahu apa
yang dimaksud sebab ada dua jenis busana: dinas dan preman. Preman adalah
antonim dari dinas. Di luar busana dinas dan preman, ada pakaian
sehari-hari: kain lurik, baju lurik, atau tanpa baju bagi kaum perempuan.
Bagi laki-laki, pakaian sehari-hari, ya, celana kolor tanpa baju, kain
sarung dengan kaus oblong, atau surjan.
Mobil pun ada yang preman, ada yang tidak preman. Waktu itu istilah
mobil belum ada. Kalau ada orang bilang mobil, asosiasi masyarakat pasti
tertuju ke tulisan Mobil Oil pada truk tangki bensin berlogo Shell. Pada
tahun 1950-an mobil disebut montor. Pesawat terbang disebut montor mabur
'montor terbang'. Motor untuk mewadahi pengertian sepeda motor adalah pit
montor. Montor dalam pengertian mobil masih dikelompok-kelompokkan
menjadi montor sedan, montor jip, montor pickup, montor truk, dan montor
bis. Semua itu masih dibagi dua menjadi montor dinas dan montor preman.
Masyarakat kelas menengah bisa dengan mudah membedakan mana montor
dinas, pengangkut, dan mana yang preman, sesuai dengan warna pelat
nomornya. Warna pelat sama dengan yang berlaku sampai sekarang. Pelat
nomor tentara ada tiga: hijau AD, biru AL, dan abu-abu AU. Pelat nomor
polisi hitam, kantor pemerintah merah, dan montor pengangkut, baik truk,
bis, maupun oplet kuning. Montor preman berpelat nomor hitam. Yang
dimaksud sebagai oplet adalah montor sedan atau jip, yang diubah susunan
bangku dan pintunya agar bisa digunakan sebagai pengangkut umum.
Pengertian sipil dan militer belum memasyarakat. Yang ada preman
dan dinas. Dinas adalah segala hal yang menyangkut tugas lembaga, baik
sipil maupun militer. Jadi seseorang yang berbusana dinas, bisa tentara,
polisi, pegawai pos, pegawai bank, mantri/mandor hutan, pegawai kantor
pengairan (sekarang PU), dan dinas-dinas lainnya. Ketika tentara tidak
berpakaian tentara, maka ia disebut berbusana preman. Semua orang tahu
bahwa tentara yang berbusana preman, berarti tidak sedang berdinas
sebagai tentara.
Pada zaman itu pasti juga ada perampok, penodong, pemeras,
pencopet, yang beraksi di jalan raya. Sebutan untuk profesi perampok,
penodong, dan pencopet juga sudah ada dan tetap digunakan oleh masyarakat
luas sampai sekarang. Sebutan untuk profesi pemeras waktu itu belum ada
karena orang yang terjun ke profesi ini baru satu dua. Mereka menjalankan
aksinya juga dengan sembunyi-sembunyi, tetapi akhirnya orang tahu juga
bahwa ada anggota masyarakat yang berprofesi minta sesuatu (tidak harus
uang) sambil mengancam.
Masyarakat etnisitas Jawa biasa memberi predikat terhormat pada
sesuatu yang ditakuti atau dibenci. Harimau disebut Kiai, tikus dipanggil
Den Bagus. Para pemeras yang ditakuti dan dibenci ini pun diberi predikat
”preman” yang sebenarnya berasal dari free
man, manusia bebas, manusia merdeka. Supaya tidak rancu dengan preman
dalam arti bukan dinas, maka di belakang kata preman ini diberi tambahan
jalanan. Jadilah preman jalanan. Terlalu panjang, maka cukup mereka
disebut preman, sementara preman sebagai wadah pengertian tidak
menyangkut kedinasan meski masih menjadi entri di KBBI, pelan-pelan
hilang tergerus waktu.
Dalam KBBI, entri preman yang pertama dimaknai (1) partikelir;
swasta; (2) bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dan
sebagainya); (3) kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dan sebagainya).
Entri preman yang kedua diartikan ’sebutan kepada orang jahat (penodong,
perampok, pemeras, dan sebagainya)’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar