Jumat, 19 April 2013

Berbusana Preman


Berbusana Preman
F Rahardi ;  Pujangga
KOMPAS, 19 April 2013


Pada tahun 1950-an di Ambarawa, Jawa Tengah, saya sering mendengar orang-orang berkata menggunakan bahasa Jawa halus, ”Piyambakipun ngagem préman kok.” (Beliau berbusana preman, kok.) Waktu itu siapa pun tahu apa yang dimaksud sebab ada dua jenis busana: dinas dan preman. Preman adalah antonim dari dinas. Di luar busana dinas dan preman, ada pakaian sehari-hari: kain lurik, baju lurik, atau tanpa baju bagi kaum perempuan. Bagi laki-laki, pakaian sehari-hari, ya, celana kolor tanpa baju, kain sarung dengan kaus oblong, atau surjan.

Mobil pun ada yang preman, ada yang tidak preman. Waktu itu istilah mobil belum ada. Kalau ada orang bilang mobil, asosiasi masyarakat pasti tertuju ke tulisan Mobil Oil pada truk tangki bensin berlogo Shell. Pada tahun 1950-an mobil disebut montor. Pesawat terbang disebut montor mabur 'montor terbang'. Motor untuk mewadahi pengertian sepeda motor adalah pit montor. Montor dalam pengertian mobil masih dikelompok-kelompokkan menjadi montor sedan, montor jip, montor pickup, montor truk, dan montor bis. Semua itu masih dibagi dua menjadi montor dinas dan montor preman.

Masyarakat kelas menengah bisa dengan mudah membedakan mana montor dinas, pengangkut, dan mana yang preman, sesuai dengan warna pelat nomornya. Warna pelat sama dengan yang berlaku sampai sekarang. Pelat nomor tentara ada tiga: hijau AD, biru AL, dan abu-abu AU. Pelat nomor polisi hitam, kantor pemerintah merah, dan montor pengangkut, baik truk, bis, maupun oplet kuning. Montor preman berpelat nomor hitam. Yang dimaksud sebagai oplet adalah montor sedan atau jip, yang diubah susunan bangku dan pintunya agar bisa digunakan sebagai pengangkut umum.

Pengertian sipil dan militer belum memasyarakat. Yang ada preman dan dinas. Dinas adalah segala hal yang menyangkut tugas lembaga, baik sipil maupun militer. Jadi seseorang yang berbusana dinas, bisa tentara, polisi, pegawai pos, pegawai bank, mantri/mandor hutan, pegawai kantor pengairan (sekarang PU), dan dinas-dinas lainnya. Ketika tentara tidak berpakaian tentara, maka ia disebut berbusana preman. Semua orang tahu bahwa tentara yang berbusana preman, berarti tidak sedang berdinas sebagai tentara.

Pada zaman itu pasti juga ada perampok, penodong, pemeras, pencopet, yang beraksi di jalan raya. Sebutan untuk profesi perampok, penodong, dan pencopet juga sudah ada dan tetap digunakan oleh masyarakat luas sampai sekarang. Sebutan untuk profesi pemeras waktu itu belum ada karena orang yang terjun ke profesi ini baru satu dua. Mereka menjalankan aksinya juga dengan sembunyi-sembunyi, tetapi akhirnya orang tahu juga bahwa ada anggota masyarakat yang berprofesi minta sesuatu (tidak harus uang) sambil mengancam.

Masyarakat etnisitas Jawa biasa memberi predikat terhormat pada sesuatu yang ditakuti atau dibenci. Harimau disebut Kiai, tikus dipanggil Den Bagus. Para pemeras yang ditakuti dan dibenci ini pun diberi predikat ”preman” yang sebenarnya berasal dari free man, manusia bebas, manusia merdeka. Supaya tidak rancu dengan preman dalam arti bukan dinas, maka di belakang kata preman ini diberi tambahan jalanan. Jadilah preman jalanan. Terlalu panjang, maka cukup mereka disebut preman, sementara preman sebagai wadah pengertian tidak menyangkut kedinasan meski masih menjadi entri di KBBI, pelan-pelan hilang tergerus waktu.

Dalam KBBI, entri preman yang pertama dimaknai (1) partikelir; swasta; (2) bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dan sebagainya); (3) kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dan sebagainya). Entri preman yang kedua diartikan ’sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya)’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar