BELAKANGAN masyarakat dicekam berbagai
peristiwa kejahatan kekerasan. Pelakunya bukan hanya penjahat kepada
anggota masyarakat, seperti kasus pembunuhan mutilasi dan kekerasan
sehari-hari di jalanan. Terjadi pula kejahatan yang diciptakan oknum
aparat, misalnya penyerbuan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering
Ulu (OKU), Sumsel (7/3), dan serbuan Lapas Cebongan, Sleman, yang
mengeksekusi mati empat tahanan di depan puluhan tahanan lain (23/3).
Kemarin, setelah dua minggu serbuan itu, penyelidik TNI-AD mengumumkan bahwa
tersangka pelaku penyerbuan ke lapas tersebut adalah sebelas anggota
Kopassus dan delapan orang lain yang membantu.
Sebagai institusi penyebar informasi di
masyarakat, media massa harus memberitakan realitas faktual tindak-tindak
kejahatan tersebut. Tetapi, ada kriminolog yang memandang bahwa
pemberitaan kejahatan yang intensif, eksploitatif, dan terperinci modus
operandinya bisa menimbulkan beberapa efek psikologis. Efek itu, antara
lain, menciptakan ketakutan masyarakat yang tinggi terhadap kejahatan (fear
of crime), yang melahirkan kesadaran bahwa lingkungannya sudah tidak
aman. Reaksi mereka, bisa saja mereka makin memercayakan penanganan
kejahatan itu kepada aparat hukum melalui sistem peradilan pidana atau
meningkatkan siskamling. Namun, bisa juga masyarakat bertindak negatif
dengan main hakim sendiri terhadap penjahat yang tertangkap.
Bila kejahatan itu melibatkan aparat hukum
(keamanan) sebagai beking atau malah pelaku utama, seperti penyerangan ke
Mapolres OKU, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem formal
penanggulangan kejahatan akan meningkat. Terlebih bila putusan peradilan
pidana tidak menjerakan penjahat, baik karena korupsi dalam peradilan,
terintimidasi, atau ketidakpedulian, masyarakat akan terdorong untuk
mengambil langkah sendiri. Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana dan
hubungan yang tak kohesif di antara aparat keamanan justru menjadi faktor criminogenic (akar terjadinya kejahatan) bagi
maraknya perilaku jahat.
Pemberitaan media massa tentang kejahatan
dengan memerinci modus operandi, misalnya pemberitaan penyerbuan Lapas
Cebongan, memang bisa menyuguhkan informasi utuh tentang proses
penyerbuan mulai awal hingga akhir kepada khalayak. Namun, efek
sampingnya, bisa juga hal itu memberi pembelajaran yang bisa dicontoh
bila ada calon penjahat atau kelompok masyarakat yang ingin melakukan hal
serupa. Seperti dikatakan kriminolog Edwin Sutherland, kejahatan adalah
proses belajar (crime is a learning process). Bisa secara langsung
(direct) melalui asosiasi/pertemanan dengan pelaku kriminal,
tetapi bisa juga secara tidak langsung (indirect) melalui belajar
dari informasi modus operandi kriminalitas yang dideskripsikan secara
terperinci.
Kecenderungan kuat media merepresentasikan
pemberitaan kejahatan yang tidak proporsional itu melahirkan pemikiran newsmaking criminology. Tokoh utamanya kriminolog Gregg
Barak. Dia memfokuskan peran pemberitaan media massa tentang kejahatan
yang kondusif untuk pengendalian kejahatan dan berkontribusi pada
pembaruan kebijakan kriminal yang responsif.
Kata kuncinya, pemberitaan itu
proporsional dan tidak bias. Jauh dari tendensi untuk sensasionalitas dan
bombastis demi mengejar oplah (tiras) semata. Contoh pemberitaan yang
bias, misalnya, pemberitaan-pemberitaan dari Makassar, Sulsel, (terutama
oleh stasiun TV swasta) yang menonjolkan kekerasan yang terjadi. Mulai
perkelahian antarmahasiswa, demo yang rusuh, hingga balapan liar yang
bentrok dengan polantas. Terciptalah citra bahwa Makassar adalah kota
yang keras dan sering rusuh. Padahal, sangat banyak prestasi masyarakat
di Makassar beserta kampus-kampusnya. "Kebijakan redaksional"
seperti itu, tanpa disadari, sesungguhnya tengah mengonstruksikan pula
kepanikan moral publik.
Fida Mohammad (2004) mencontohkan bahwa
bias pemberitaan sering dilakukan oleh media Barat dalam memberitakan
terorisme -yang secara membabi buta, tanpa analisis substansial- yang
dikaitkan dengan ajaran jihad dalam Alquran. Selain menistakan Alquran,
pemberitaan seperti itu membangun opini negatif dan melahirkan paranoia
terhadap umat Islam yang distereotipkan pro kekerasan. Tak heran kaum
muslim lebih dicurigai. Saya pernah diinterogasi petugas Bandara
Melbourne, Australia, ketika antre di imigrasi bandara dengan mengenakan
kopiah putih dan baju takwa.
Pemberitaan tentang kejahatan sesungguhnya
juga dapat digunakan untuk membuka wawasan publik agar lebih awas.
Maraknya pemberitaan tentang korupsi di negeri ini membangun wawasan
bahwa korupsi adalah kejahatan serius dan lebih akut di negeri ini
daripada kejahatan konvensional. Karena itu, keberadaan KPK disetujui
bersama sebagai lembaga superbodi serta
upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dilawan dengan gerakan moral,
struktural, dan kultural oleh publik.
Dalam kasus kejahatan kekerasan, Jawa Pos (2/4) memberitakan bahwa
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono berjanji menyeret anggota TNI ke
pengadilan militer bila ada yang terbukti menyerang Lapas Cebongan.
Berita-berita ketegasan pimpinan negara untuk mengendalikan kejahatan
bisa meredam kepanikan dan memulihkan kepercayaan publik pada wibawa
pemerintahan serta sistem peradilan pidana. Pers kemudian wajib mengawal
keseriusan janji itu.
Pemberitaan berimbang antara kejahatan dan
upaya melawannya seperti itu juga mencegah pers terjebak dalam
pemberitaan yang bias, hanya "jualan" peristiwa kejahatan.
Dalam masyarakat yang gerah karena kejahatan, pers seyogianya menjelma
sebagai corong yang menyejukkan dengan terus konsisten dan kontinu
memberitakan langkah-langkah pengendalian kejahatan oleh aparat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar