Jumat, 05 April 2013

Menyejukkan Berita Berdarah


Menyejukkan Berita Berdarah
Prija Djatmika ;   Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi FH Universitas Brawijaya
JAWA POS, 05 April 2013

  
BELAKANGAN masyarakat dicekam berbagai peristiwa kejahatan kekerasan. Pelakunya bukan hanya penjahat kepada anggota masyarakat, seperti kasus pembunuhan mutilasi dan kekerasan sehari-hari di jalanan. Terjadi pula kejahatan yang diciptakan oknum aparat, misalnya penyerbuan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel (7/3), dan serbuan Lapas Cebongan, Sleman, yang mengeksekusi mati empat tahanan di depan puluhan tahanan lain (23/3). Kemarin, setelah dua minggu serbuan itu, penyelidik TNI-AD mengumumkan bahwa tersangka pelaku penyerbuan ke lapas tersebut adalah sebelas anggota Kopassus dan delapan orang lain yang membantu.

Sebagai institusi penyebar informasi di masyarakat, media massa harus memberitakan realitas faktual tindak-tindak kejahatan tersebut. Tetapi, ada kriminolog yang memandang bahwa pemberitaan kejahatan yang intensif, eksploitatif, dan terperinci modus operandinya bisa menimbulkan beberapa efek psikologis. Efek itu, antara lain, menciptakan ketakutan masyarakat yang tinggi terhadap kejahatan (fear of crime), yang melahirkan kesadaran bahwa lingkungannya sudah tidak aman. Reaksi mereka, bisa saja mereka makin memercayakan penanganan kejahatan itu kepada aparat hukum melalui sistem peradilan pidana atau meningkatkan siskamling. Namun, bisa juga masyarakat bertindak negatif dengan main hakim sendiri terhadap penjahat yang tertangkap.

Bila kejahatan itu melibatkan aparat hukum (keamanan) sebagai beking atau malah pelaku utama, seperti penyerangan ke Mapolres OKU, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem formal penanggulangan kejahatan akan meningkat. Terlebih bila putusan peradilan pidana tidak menjerakan penjahat, baik karena korupsi dalam peradilan, terintimidasi, atau ketidakpedulian, masyarakat akan terdorong untuk mengambil langkah sendiri. Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana dan hubungan yang tak kohesif di antara aparat keamanan justru menjadi faktor criminogenic (akar terjadinya kejahatan) bagi maraknya perilaku jahat.

Pemberitaan media massa tentang kejahatan dengan memerinci modus operandi, misalnya pemberitaan penyerbuan Lapas Cebongan, memang bisa menyuguhkan informasi utuh tentang proses penyerbuan mulai awal hingga akhir kepada khalayak. Namun, efek sampingnya, bisa juga hal itu memberi pembelajaran yang bisa dicontoh bila ada calon penjahat atau kelompok masyarakat yang ingin melakukan hal serupa. Seperti dikatakan kriminolog Edwin Sutherland, kejahatan adalah proses belajar (crime is a learning process). Bisa secara langsung (direct) melalui asosiasi/pertemanan dengan pelaku kriminal, tetapi bisa juga secara tidak langsung (indirect) melalui belajar dari informasi modus operandi kriminalitas yang dideskripsikan secara terperinci.

Kecenderungan kuat media merepresentasikan pemberitaan kejahatan yang tidak proporsional itu melahirkan pemikiran newsmaking criminology. Tokoh utamanya kriminolog Gregg Barak. Dia memfokuskan peran pemberitaan media massa tentang kejahatan yang kondusif untuk pengendalian kejahatan dan berkontribusi pada pembaruan kebijakan kriminal yang responsif.

Kata kuncinya, pemberitaan itu proporsional dan tidak bias. Jauh dari tendensi untuk sensasionalitas dan bombastis demi mengejar oplah (tiras) semata. Contoh pemberitaan yang bias, misalnya, pemberitaan-pemberitaan dari Makassar, Sulsel, (terutama oleh stasiun TV swasta) yang menonjolkan kekerasan yang terjadi. Mulai perkelahian antarmahasiswa, demo yang rusuh, hingga balapan liar yang bentrok dengan polantas. Terciptalah citra bahwa Makassar adalah kota yang keras dan sering rusuh. Padahal, sangat banyak prestasi masyarakat di Makassar beserta kampus-kampusnya. "Kebijakan redaksional" seperti itu, tanpa disadari, sesungguhnya tengah mengonstruksikan pula kepanikan moral publik. 

Fida Mohammad (2004) mencontohkan bahwa bias pemberitaan sering dilakukan oleh media Barat dalam memberitakan terorisme -yang secara membabi buta, tanpa analisis substansial- yang dikaitkan dengan ajaran jihad dalam Alquran. Selain menistakan Alquran, pemberitaan seperti itu membangun opini negatif dan melahirkan paranoia terhadap umat Islam yang distereotipkan pro kekerasan. Tak heran kaum muslim lebih dicurigai. Saya pernah diinterogasi petugas Bandara Melbourne, Australia, ketika antre di imigrasi bandara dengan mengenakan kopiah putih dan baju takwa.

Pemberitaan tentang kejahatan sesungguhnya juga dapat digunakan untuk membuka wawasan publik agar lebih awas. Maraknya pemberitaan tentang korupsi di negeri ini membangun wawasan bahwa korupsi adalah kejahatan serius dan lebih akut di negeri ini daripada kejahatan konvensional. Karena itu, keberadaan KPK disetujui bersama sebagai lembaga superbodi serta upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dilawan dengan gerakan moral, struktural, dan kultural oleh publik.

Dalam kasus kejahatan kekerasan, Jawa Pos (2/4) memberitakan bahwa Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono berjanji menyeret anggota TNI ke pengadilan militer bila ada yang terbukti menyerang Lapas Cebongan. Berita-berita ketegasan pimpinan negara untuk mengendalikan kejahatan bisa meredam kepanikan dan memulihkan kepercayaan publik pada wibawa pemerintahan serta sistem peradilan pidana. Pers kemudian wajib mengawal keseriusan janji itu.

Pemberitaan berimbang antara kejahatan dan upaya melawannya seperti itu juga mencegah pers terjebak dalam pemberitaan yang bias, hanya "jualan" peristiwa kejahatan. Dalam masyarakat yang gerah karena kejahatan, pers seyogianya menjelma sebagai corong yang menyejukkan dengan terus konsisten dan kontinu memberitakan langkah-langkah pengendalian kejahatan oleh aparat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar