Sudah puluhan kali Presiden SBY menyampaikan pesan
toleransi dalam berbagai kesempatan. Tapi semua pesan itu tidak berbekas,
hanya politik kata-kata dan paradoks dengan realitas yang terjadi.
Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merobohkan
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Setu. Pemerintah Kabupaten
Bekasi beralasan, pembongkaran dilakukan karena tempat ibadah tersebut
tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (Koran Tempo, 23 Maret
2013). Menurut kabar, ternyata IMB Gereja HKBP Tamansari Setu, Kabupaten
Bekasi, sudah ada, dan ada izin dari warga sekitar.
Sebelumnya, juga di daerah Bekasi, Gereja HKBP
Filadelfia juga disegel karena alasan tak punya IMB. Selain itu, pemda
Bekasi beralasan keberadaan gereja itu ditentang oleh masyarakat
setempat. Belakangan, pihak kepolisian menetapkan pendeta HKBP
Filadelfia, Palti Hatuguan Panjaitan, sebagai tersangka kasus
penganiayaan. Kemudian, pada 2010, pemda Bekasi juga menyegel Gereja HKBP
Ciketing. Alasannya pun sama: bangunan gereja ini tidak mengantongi IMB.
Tampaknya, alasan IMB ini menjadi senjata efektif pemerintah lokal untuk
menyegel tempat ibadah. Inilah yang terjadi pada GKI Yasmin di Bogor, 7
gereja di Rancaekek Bogor, 5 gereja di Malang Selatan, 17 gereja di Aceh,
dan lain-lain.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, kemerdekaan
beragama di Indonesia mengalami gangguan serius. Survei The Wahid Institute pada November
2012 menyebutkan, terdapat 193 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama
yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan.
Muncul pertanyaan, apakah karena masalah persyaratan IMB kemudian dapat
dibenarkan melakukan perobohan gereja? Apakah negara dapat memaksakan dan
menindas suatu keyakinan dengan melakukan pelarangan?
Sekadar mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum,
bukan negara agama, bukan negara sekuler. Dalam wadah itu, semua agama
dan keyakinan seharusnya memperoleh hak dan perlakuan yang sama. Negara
seharusnya netral terhadap semua keyakinan warganya, tidak pilih kasih.
Inilah raison d'etre berdirinya negara kita. Indonesia punya dasar negara
atau falsafah bangsa, yaitu Pancasila. Seperti diketahui, Pancasila
mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan
aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Kita mengenal semboyan
yang terkenal: Bhinneka Tunggal Ika. Soekarno sendiri mengatakan, "Negara Republik Indonesia bukan
milik sesuatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik sesuatu
suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua
dari Sabang sampai ke Merauke!"
Semangat pendirian bangsa ini adalah semangat
kebersamaan, di mana di dalamnya disuguhkan banyak muatan budaya, agama,
maupun latar belakang para pejuang. Itu sebabnya, negara perlu menjamin
kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi
hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan. Indonesia juga
telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara
atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara kita sudah
mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama.
Pertanyaannya, kalau dasar negara Pancasila dan UUD
1945 sudah menjamin kemerdekaan beragama, mengapa masih terjadi tindakan
yang mengganggu kemerdekaan beragama itu? Letak persoalannya ada di
penyelenggara negara. Di sini, pemerintah dan aparatusnya membiarkan
berbagai tindakan dan aksi-aksi intoleransi beragama. Negara ini minus
toleransi. Terbukti dengan apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten
Bekasi, yang hanya puluhan kilometer dari Istana Presiden, DPR/MPR,
Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri, yang membiarkan
terjadinya perobohan Gereja HKBP.
Negara terkadang juga ikut mendorong proses
diskriminasi dan intoleransi beragama. Misalnya melalui konstitusi,
undang-undang, atau peraturan daerah agar pembangunan tempat ibadah sulit
dilakukan. Aturan itu memang tidak melarang keberadaan umat beragama,
namun membatasi umat beragama untuk menjalankan ritualnya, membatasi umat
beragama untuk melakukan sesuatu yang mulia (ibadah). Aturan-aturan itu
memang ada nilai baiknya, mencegah eksklusivitas. Namun, realitasnya,
aturan itu justru melanggar sesuatu yang sifatnya hakiki, yaitu hak asasi
manusia (HAM).
Tindakan perobohan Gereja HKBP Tamansari Setu oleh
pemerintah daerah Bekasi sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28-E
ayat (1-3) dan Pasal 29 ayat (1 dan 2). Alasan tidak punya IMB tidak bisa
dijadikan dalih untuk menghalang-halangi kemerdekaan beragama. Kalau
memang tidak punya IMB, adalah tugas pemerintah setempat untuk memudahkan
proses pengurusan IMB tersebut. Bukan membongkar sarana ibadahnya. Yang
menjadi masalah, Presiden SBY kelihatannya sangat toleran terhadap
berbagai tindakan intoleransi beragama. Presiden SBY tidak menciptakan
kebijakan politik nyata untuk melindungi kemerdekaan beragama.
Yang tampak, SBY lebih gemar berpidato tentang
toleransi daripada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan
toleransi dengan memberi jaminan kebebasan terhadap warga negaranya.
Sudah puluhan kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam
berbagai kesempatan. Tapi semua pesan itu tidak berbekas, hanya politik
kata-kata dan paradoks dengan realitas yang terjadi. Karena itu, tidak
mengherankan jika kita menilai Presiden SBY telah gagal menjamin
kebebasan beragama. Negara absen, dan presiden pun gagal melindungi
warganya.
Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan
agama yang diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya. Sebab,
pada dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama,
institusi, dan kebijakan yang dapat menjamin kebebasan itu. Bila salah
satunya timpang, kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warganya akan
terancam juga. Kita meminta Presiden SBY bertindak tegas, jelas, dan adil
atas nama konstitusi demi keutuhan NKRI sebagai rumah bersama berbagai
golongan.
Karena itu, solusi masalah gereja HKBP
Tamansari Setu, Bekasi, harus lepas dari kecenderungan pemaksaan dan
legalitas formal belaka, yang pada ujungnya hanya menghasilkan
keharmonisan normatif. Solusi harus konstruktif terhadap keharmonisan
sosial atas dasar toleransi dan apresiasi terhadap kebebasan individu
untuk berkeyakinan dan beriman sesuai dengan nuraninya serta mendukung persatuan
dan kesatuan bangsa. Sudah semestinya pemerintah terkait mempermudah
memberikan IMB gereja HKBP Tamansari Setu, bukan mesin buldoser yang
justru dikedepankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar