Jumat, 05 April 2013

Negara Minus Toleransi Beragama


Negara Minus Toleransi Beragama
Joko Riyanto ;   Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
KORAN TEMPO, 05 April 2013

  
Sudah puluhan kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan. Tapi semua pesan itu tidak berbekas, hanya politik kata-kata dan paradoks dengan realitas yang terjadi. 
Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merobohkan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Setu. Pemerintah Kabupaten Bekasi beralasan, pembongkaran dilakukan karena tempat ibadah tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (Koran Tempo, 23 Maret 2013). Menurut kabar, ternyata IMB Gereja HKBP Tamansari Setu, Kabupaten Bekasi, sudah ada, dan ada izin dari warga sekitar. 
Sebelumnya, juga di daerah Bekasi, Gereja HKBP Filadelfia juga disegel karena alasan tak punya IMB. Selain itu, pemda Bekasi beralasan keberadaan gereja itu ditentang oleh masyarakat setempat. Belakangan, pihak kepolisian menetapkan pendeta HKBP Filadelfia, Palti Hatuguan Panjaitan, sebagai tersangka kasus penganiayaan. Kemudian, pada 2010, pemda Bekasi juga menyegel Gereja HKBP Ciketing. Alasannya pun sama: bangunan gereja ini tidak mengantongi IMB. Tampaknya, alasan IMB ini menjadi senjata efektif pemerintah lokal untuk menyegel tempat ibadah. Inilah yang terjadi pada GKI Yasmin di Bogor, 7 gereja di Rancaekek Bogor, 5 gereja di Malang Selatan, 17 gereja di Aceh, dan lain-lain. 
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, kemerdekaan beragama di Indonesia mengalami gangguan serius. Survei The Wahid Institute pada November 2012 menyebutkan, terdapat 193 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan. Muncul pertanyaan, apakah karena masalah persyaratan IMB kemudian dapat dibenarkan melakukan perobohan gereja? Apakah negara dapat memaksakan dan menindas suatu keyakinan dengan melakukan pelarangan? 
Sekadar mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara agama, bukan negara sekuler. Dalam wadah itu, semua agama dan keyakinan seharusnya memperoleh hak dan perlakuan yang sama. Negara seharusnya netral terhadap semua keyakinan warganya, tidak pilih kasih. Inilah raison d'etre berdirinya negara kita. Indonesia punya dasar negara atau falsafah bangsa, yaitu Pancasila. Seperti diketahui, Pancasila mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Kita mengenal semboyan yang terkenal: Bhinneka Tunggal Ika. Soekarno sendiri mengatakan, "Negara Republik Indonesia bukan milik sesuatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke!" 
Semangat pendirian bangsa ini adalah semangat kebersamaan, di mana di dalamnya disuguhkan banyak muatan budaya, agama, maupun latar belakang para pejuang. Itu sebabnya, negara perlu menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara kita sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama. 
Pertanyaannya, kalau dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sudah menjamin kemerdekaan beragama, mengapa masih terjadi tindakan yang mengganggu kemerdekaan beragama itu? Letak persoalannya ada di penyelenggara negara. Di sini, pemerintah dan aparatusnya membiarkan berbagai tindakan dan aksi-aksi intoleransi beragama. Negara ini minus toleransi. Terbukti dengan apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bekasi, yang hanya puluhan kilometer dari Istana Presiden, DPR/MPR, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri, yang membiarkan terjadinya perobohan Gereja HKBP. 
Negara terkadang juga ikut mendorong proses diskriminasi dan intoleransi beragama. Misalnya melalui konstitusi, undang-undang, atau peraturan daerah agar pembangunan tempat ibadah sulit dilakukan. Aturan itu memang tidak melarang keberadaan umat beragama, namun membatasi umat beragama untuk menjalankan ritualnya, membatasi umat beragama untuk melakukan sesuatu yang mulia (ibadah). Aturan-aturan itu memang ada nilai baiknya, mencegah eksklusivitas. Namun, realitasnya, aturan itu justru melanggar sesuatu yang sifatnya hakiki, yaitu hak asasi manusia (HAM). 
Tindakan perobohan Gereja HKBP Tamansari Setu oleh pemerintah daerah Bekasi sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28-E ayat (1-3) dan Pasal 29 ayat (1 dan 2). Alasan tidak punya IMB tidak bisa dijadikan dalih untuk menghalang-halangi kemerdekaan beragama. Kalau memang tidak punya IMB, adalah tugas pemerintah setempat untuk memudahkan proses pengurusan IMB tersebut. Bukan membongkar sarana ibadahnya. Yang menjadi masalah, Presiden SBY kelihatannya sangat toleran terhadap berbagai tindakan intoleransi beragama. Presiden SBY tidak menciptakan kebijakan politik nyata untuk melindungi kemerdekaan beragama. 
Yang tampak, SBY lebih gemar berpidato tentang toleransi daripada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberi jaminan kebebasan terhadap warga negaranya. Sudah puluhan kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan. Tapi semua pesan itu tidak berbekas, hanya politik kata-kata dan paradoks dengan realitas yang terjadi. Karena itu, tidak mengherankan jika kita menilai Presiden SBY telah gagal menjamin kebebasan beragama. Negara absen, dan presiden pun gagal melindungi warganya. 
Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan agama yang diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamnya. Sebab, pada dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi, dan kebijakan yang dapat menjamin kebebasan itu. Bila salah satunya timpang, kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warganya akan terancam juga. Kita meminta Presiden SBY bertindak tegas, jelas, dan adil atas nama konstitusi demi keutuhan NKRI sebagai rumah bersama berbagai golongan. 
Karena itu, solusi masalah gereja HKBP Tamansari Setu, Bekasi, harus lepas dari kecenderungan pemaksaan dan legalitas formal belaka, yang pada ujungnya hanya menghasilkan keharmonisan normatif. Solusi harus konstruktif terhadap keharmonisan sosial atas dasar toleransi dan apresiasi terhadap kebebasan individu untuk berkeyakinan dan beriman sesuai dengan nuraninya serta mendukung persatuan dan kesatuan bangsa. Sudah semestinya pemerintah terkait mempermudah memberikan IMB gereja HKBP Tamansari Setu, bukan mesin buldoser yang justru dikedepankan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar