Kita tahu, fabel adalah cerita fiksi atau
dongeng dengan tokoh binatang yang dibuat seakan-akan memiliki kehidupan
seperti manusia. Mereka bisa bebicara, berinteraksi, dan bersosialisasi.
Fabel biasanya kita kenal dalam cerita dongeng pengantar tidur bagi
anak-anak. Namun, dalam perkembangannya, saat ini fabel bisa masuk ke
berbagai segi kehidupan masyarakat.
Dalam budaya politik di Indonesia, istilah
fabel sering digunakan oleh para petinggi politik untuk menyebut atau
menyindir lawan politiknya. Banyak peristiwa politik di Indonesia yang
dilabeli dengan pencitraan nama-nama binatang di dalamnya. Kadang kita
tak menyadari sindiran itu dari nama binatang.
Dalam banyak penyebutan, dunia politik
memang kerap diidentikkan dengan hutan rimba. Kehidupan di dalamnya
dikesankan sangat buas dan kejam, memangsa antara yang satu dan yang
lain. Kemudian, memunculkan istilah tidak ada kawan atau lawan abadi,
yang ada hanya kepentingan abadi. Bahkan, kongkalikong di dalamnya telah
menciptakan problem korupsi yang sistemik. Para koruptor sering
disimbolkan dengan tikus (binatang kotor, rakus, tak berguna). Koruptor
lazim disebut tikus berdasi (meski sekarang tak hanya berdasi).
Tentu masih segar dalam ingatan kita
pemberitaan di media cetak atau elektronik mengenai perseteruan antara
KPK dan kepolisian yang dikenal dengan Cicak v Buaya, kasus Bank Century
yang kemudian memunculkan buku Gurita
Cikeas, atau para pengunjuk rasa yang berdemo dengan membawa kerbau
bertulisan Si BuYa pada hari ke-100 kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Boediono. Hal itu sempat membuat tersinggung SBY. Selain itu, ada
sebutan ''si burung merak'' untuk menyindir para artis yang duduk di
parlemen. Baru-baru ini pun muncul istilah ''diseruduk sapi'' untuk
menggambarkan keadaan yang sedang dialami oleh petinggi salah satu partai
politik.
Ada pula dana aspirasi yang kemudian
disamakan dengan politik ''gentong babi''. Dana aspirasi muncul sebagai
dalih percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah dan pemerataan pembangunan
yang menuai banyak kritik karena dinilai sebagai praktik politik pork barrel atau gentong babi yang dinilai
menguntungkan politisi karena rawan dikorupsi. Pelabelan dengan tokoh
fabel menjadikan kasus-kasus itu lebih mudah diingat oleh masyarakat dan
lebih menarik untuk dibahas oleh media.
Dalam sejarahnya, politik gentong babi
kali pertama disebut istilah Bill
Bonus. Pada tahun 1817, Wakil Presiden Amerika Serikat John C.
Calhoun mengusulkan Bill
Bonus yang isinya
penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan timur
dan selatan dengan barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba
bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika
Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison.
Di negara-negara lain, praktik ''gentong
babi'' juga disebut patronage (patronase). Di Denmark,
Swedia, dan Norwegia disebut election
pork atau babi
pemilihan karena para politikus mengumbar
janji-janji sebelum pemilihan berlangsung. Di Finlandia disebut
politik gorong-gorong, yang mengacu kepada politisi nasional
berkonsentrasi kepada masalah-masalah lokal. Rumania menyebutnya sedekah
pemilihan. Sedangkan, di Polandia disebut sosis pemilu.
Lagi-lagi istilah fabel digunakan dalam
menggambarkan suatu keadaan yang ada di dunia politik, yang merujuk
kepada seseorang atau kepada peristiwa tertentu yang buruk. Dalam fabel
cerita dongeng, hewan yang berpenampilan buruk biasanya dijadikan tokoh
yang jahat, sedangkan yang berwajah lucu dijadikan tokoh yang baik.
Misalnya, kisah dongeng gadis berkerudung merah dan serigala. Dalam
dongeng ini, serigala menjadi tokoh yang antagonis karena penampilan
buruknya sehingga anak-anak bisa dengan mudah membedakan mana hewan yang
memiliki watak teladan dan mana hewan jahat.
Jika dalam politik fabel, istilah-istilah
dimunculkan berdasar atas tabiat kehidupan setiap hewan yang dianggap
sesuai dengan keadaan buruk yang digambarkan. Tokoh fabel dijadikan alat
atau simbol komunikasi politik di lingkungan sosial masyarakat untuk
menyampaikan pesan secara tersurat dan asyik. Sindir-menyindir antara
para elite politik yang ditujukan kepada perorangan pada akhirnya juga
akan bisa pada kredibilitas partai yang menaungi orang tersebut. Sisi
positif dari sindir-menyindir dengan istilah fabel menjadi warning kepada masyarakat agar tidak
lagi memilih tokoh-tokoh politik yang bertingkah hewani.
Apakah dengan maraknya nama binatang
berseliweran di dunia politik, kita tak boleh mendongengkan kisah fabel
kepada anak-anak? Tentu tetap boleh, bahkan dianjurkan. Yang perlu
dicermati adalah jangan sampai salah mengambil pelajaran moral dari fabel
itu. Dongeng Kancil
Mencuri Ketimun, misalnya, jangan ditekankan kepada kekaguman atas
kelicikan si kancil maling yang selalu lolos dari jebakan. Tetapi,
sebagai pengingat betapa liciknya pencuri itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar