Jumat, 05 April 2013

Pantulan Fabel dalam Politik


Pantulan Fabel dalam Politik
Lenny Luthfiyah ;   Aktivis ''Laskar Ambisius'' Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (Ambisi) dan Mahasantri Pesantren Mahasiswi (PesMi) IAIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 05 April 2013

  
Kita tahu, fabel adalah cerita fiksi atau dongeng dengan tokoh binatang yang dibuat seakan-akan memiliki kehidupan seperti manusia. Mereka bisa bebicara, berinteraksi, dan bersosialisasi. Fabel biasanya kita kenal dalam cerita dongeng pengantar tidur bagi anak-anak. Namun, dalam perkembangannya, saat ini fabel bisa masuk ke berbagai segi kehidupan masyarakat.

Dalam budaya politik di Indonesia, istilah fabel sering digunakan oleh para petinggi politik untuk menyebut atau menyindir lawan politiknya. Banyak peristiwa politik di Indonesia yang dilabeli dengan pencitraan nama-nama binatang di dalamnya. Kadang kita tak menyadari sindiran itu dari nama binatang.

Dalam banyak penyebutan, dunia politik memang kerap diidentikkan dengan hutan rimba. Kehidupan di dalamnya dikesankan sangat buas dan kejam, memangsa antara yang satu dan yang lain. Kemudian, memunculkan istilah tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Bahkan, kongkalikong di dalamnya telah menciptakan problem korupsi yang sistemik. Para koruptor sering disimbolkan dengan tikus (binatang kotor, rakus, tak berguna). Koruptor lazim disebut tikus berdasi (meski sekarang tak hanya berdasi). 

Tentu masih segar dalam ingatan kita pemberitaan di media cetak atau elektronik mengenai perseteruan antara KPK dan kepolisian yang dikenal dengan Cicak v Buaya, kasus Bank Century yang kemudian memunculkan buku Gurita Cikeas, atau para pengunjuk rasa yang berdemo dengan membawa kerbau bertulisan Si BuYa pada hari ke-100 kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Hal itu sempat membuat tersinggung SBY. Selain itu, ada sebutan ''si burung merak'' untuk menyindir para artis yang duduk di parlemen. Baru-baru ini pun muncul istilah ''diseruduk sapi'' untuk menggambarkan keadaan yang sedang dialami oleh petinggi salah satu partai politik.

Ada pula dana aspirasi yang kemudian disamakan dengan politik ''gentong babi''. Dana aspirasi muncul sebagai dalih percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah dan pemerataan pembangunan yang menuai banyak kritik karena dinilai sebagai praktik politik pork barrel atau gentong babi yang dinilai menguntungkan politisi karena rawan dikorupsi. Pelabelan dengan tokoh fabel menjadikan kasus-kasus itu lebih mudah diingat oleh masyarakat dan lebih menarik untuk dibahas oleh media.

Dalam sejarahnya, politik gentong babi kali pertama disebut istilah Bill Bonus. Pada tahun 1817, Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan timur dan selatan dengan barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison. 

Di negara-negara lain, praktik ''gentong babi'' juga disebut patronage  (patronase). Di Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut election pork atau babi pemilihan karena para politikus mengumbar janji-janji sebelum pemilihan berlangsung. Di Finlandia disebut politik gorong-gorong, yang mengacu kepada politisi nasional berkonsentrasi kepada masalah-masalah lokal. Rumania menyebutnya sedekah pemilihan. Sedangkan, di Polandia disebut sosis pemilu.

Lagi-lagi istilah fabel digunakan dalam menggambarkan suatu keadaan yang ada di dunia politik, yang merujuk kepada seseorang atau kepada peristiwa tertentu yang buruk. Dalam fabel cerita dongeng, hewan yang berpenampilan buruk biasanya dijadikan tokoh yang jahat, sedangkan yang berwajah lucu dijadikan tokoh yang baik. Misalnya, kisah dongeng gadis berkerudung merah dan serigala. Dalam dongeng ini, serigala menjadi tokoh yang antagonis karena penampilan buruknya sehingga anak-anak bisa dengan mudah membedakan mana hewan yang memiliki watak teladan dan mana hewan jahat. 

Jika dalam politik fabel, istilah-istilah dimunculkan berdasar atas tabiat kehidupan setiap hewan yang dianggap sesuai dengan keadaan buruk yang digambarkan. Tokoh fabel dijadikan alat atau simbol komunikasi politik di lingkungan sosial masyarakat untuk menyampaikan pesan secara tersurat dan asyik. Sindir-menyindir antara para elite politik yang ditujukan kepada perorangan pada akhirnya juga akan bisa pada kredibilitas partai yang menaungi orang tersebut. Sisi positif dari sindir-menyindir dengan istilah fabel menjadi warning kepada masyarakat agar tidak lagi memilih tokoh-tokoh politik yang bertingkah hewani.

Apakah dengan maraknya nama binatang berseliweran di dunia politik, kita tak boleh mendongengkan kisah fabel kepada anak-anak? Tentu tetap boleh, bahkan dianjurkan. Yang perlu dicermati adalah jangan sampai salah mengambil pelajaran moral dari fabel itu. Dongeng Kancil Mencuri Ketimun, misalnya, jangan ditekankan kepada kekaguman atas kelicikan si kancil maling yang selalu lolos dari jebakan. Tetapi, sebagai pengingat betapa liciknya pencuri itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar