Jumat, 19 April 2013

Potensi Penyiapan Generasi Emas


Potensi Penyiapan Generasi Emas
Ahmad Rofiq  ;  Guru Besar Hukum Islam IAIN Walisongo, Ketua Forum Antarumat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu) Jateng
SUARA MERDEKA, 18 April 2013

  
"Kemerebakan anak jalanan adalah indikator kegagalan negara dan keluarga mengurus anak-anak"

Indonesia berpopulasi penduduk terbesar keempat, setelah Amerika Serikat, China, dan India. Jumlah penduduk yang besar bagi suatu negara adalah modal sosial luar biasa bila berkualitas. Apalagi jika bisa dikelola secara baik sehingga pada saatnya akan menjadi generasi emas. Namun apabila penduduk besar ini tidak berkualitas, besar kemungkinan menjadi beban negara dan masyarakat.

Islam menegaskan lewat QS Al-Nisa:9, ’’Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar’’.

Rasulullah saw juga berpesan kepada kaum muda yang sudah siap mental, ekonomi, dan usia  memasuki jenjang perkawinan untuk segera menikah. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dipersyaratkan usia pria minimal 19 tahun dan wanita 16 ta-hun. Perkawinan akan membangun keluarga sejahtera, yang berperan serta dalam penyiapan generasi berkualitas.

Kemerebakan anak jalanan yang menjurus ke premanisme, adalah indikator kegagalan negara dan keluarga mengurus anak-anak, atau boleh jadi karena kehadiran mereka tidak diprogramkan secara terencana. Implikasinya, mereka itu yang tidak mendapatkan pendidikan, cenderung hidup bebas, meninggalkan norma hukum dan agama, tanpa masa depan yang jelas.

Padahal Nabi menganjurkan manusia untuk berketurunan, dan tentunya keturunan yang berkualitas. Itu berarti generasi yang tumbuh sehat, memiliki kebaikan dalam akidah, agama, kesehatan, ekonomi, dan pendidikan sehingga pada gilirannya mampu mengambil posisi dan masa depan yang baik. Tidak kalah penting adalah berintegritas moral dan berakhlak mulia.  

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa urusan lahir, rezeki,  jodoh, mati adalah hak prerogatif Allah, Tuhan YME. Keyakinan itu tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam kacamata teologis, Tuhan mendelegasikan sebagian kewenangan melalui tugas dan misi kekhalifahan.
Manusia mendapat amanat sebagai khalifah (wakil/ pengganti) di muka bumi, sebagai penampakan-Nya, supaya memakmurkan bumi seisinya. Allah menyerahkan kewenangan itu dalam bentuk rida kepada manusia yang mau berikhtiar, merencanakan dengan baik, bekerja keras, dan berusaha mengubah nasib.

’’Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum se-hingga mereka mengubah keadaan’’ (QS Al-Ra’du:11).

Dalam tafsir agama, ayat itu berarti Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa, negara, dan masyarakat, selama mereka tidak mengubah sendiri penyebab kemunduran itu. Dengan kata lain, kesuksesan suatu negara, bangsa, dan masyarakat, sesungguhnya bisa direncanakan, dikalkulasi, dan diprogramkan melalui prediksi yang terukur.  

Ilustrasi itu menggambarkan perintah agama supaya pemeluk menyiapkan generasi berkualitas melalui perencanaan secara bijak, termasuk merencanakan keturunan. Dalam bahasa pemerintah melalui BKKBN maka ditetapkanlah tagline ’’dua anak cukup’’.

Dalam konteks ini, ulama menganjurkan program keluarga berencana atau tandhim al-nasl (mengatur keluarga). Sudah barang tentu dengan cara, alat, dan tujuan yang sejalan dengan rambu agama, tidak menyalahi hukum, norma, dan susila.

Program keluarga berencana dan peralatannya adalah instrumen untuk menyiapkan generasi yang 
berkualitas (khaira ummah). Pengaturan itu dikontekskan dengan merencanakan keluarga untuk mewujudkan generasi emas tersebut.

Hasil Maksimal

Ini sejalan dengan kaidah, ’’sesuatu yang tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu. Karena itu, keberadaan sesuatu yang menjadi instrumen/ wasilah itu adalah wajib’’. Seandainya dalam pelaksanaan, sebagian masyarakat merasakan dampak atau risiko yang mungkin kurang cocok, sejatinya mereka bisa memilih yang paling pas. Hal itu mengingat banyak alternatif yang bisa dipilih, dengan risiko minimal tapi hasil maksimal, apalagi yang bersifat nonhormonal.

Kadang saya prihatin, dan mungkin kita semua, ketika melintas di jalan raya dan melihat banyak anak jalanan, bahkan yang berusia tua. Saya merasa sedih kenapa mereka harus hidup di jalan. Tetapi terkejut juga ketika ada survei menyebutkan penghasilan mereka bisa Rp 500 ribu/hari. Terlepas dari fakta itu, mereka perlu ditangani secara simultan dan simbiotik oleh pemangku kepentingan di provinsi ini.  

Karena itu, semua pihak, terutama tokoh agama dan masyarakat, perlu bersinergi memberikan pencerahan kepada mereka, terutama yang relatif tidak atau belum tersentuh komunikasi, informasi, dan edukasi program BKKBN.

Apalagi BKKBN mempunyai organisasi sayap pendukung, semisal Koalisi Kependudukan, Forum Antarumat Beragama Peduli Kesejahteraan Keluarga dan Kependudukan (Fapsedu), dan Simpul Jaringan (Sijar)-Fapsedu, yang lebih memfokuskan pada kelompok generasi muda. Semoga Indonesia mampu mempercepat keterwujudan generasi emas, dan bangsa ini bangga dapat melahirkan generasi khaira ummah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar