"Kemerebakan
anak jalanan adalah indikator kegagalan negara dan keluarga mengurus
anak-anak"
Indonesia berpopulasi penduduk terbesar
keempat, setelah Amerika Serikat, China, dan India. Jumlah penduduk yang
besar bagi suatu negara adalah modal sosial luar biasa bila berkualitas.
Apalagi jika bisa dikelola secara baik sehingga pada saatnya akan menjadi
generasi emas. Namun apabila penduduk besar ini tidak berkualitas, besar
kemungkinan menjadi beban negara dan masyarakat.
Islam menegaskan lewat QS Al-Nisa:9, ’’Dan hendaklah takut kepada Allah,
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Karena itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang
benar’’.
Rasulullah saw juga berpesan kepada kaum
muda yang sudah siap mental, ekonomi, dan usia memasuki jenjang
perkawinan untuk segera menikah. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dipersyaratkan usia pria minimal 19 tahun dan wanita 16
ta-hun. Perkawinan akan membangun keluarga sejahtera, yang berperan serta
dalam penyiapan generasi berkualitas.
Kemerebakan anak jalanan yang menjurus ke
premanisme, adalah indikator kegagalan negara dan keluarga mengurus
anak-anak, atau boleh jadi karena kehadiran mereka tidak diprogramkan
secara terencana. Implikasinya, mereka itu yang tidak mendapatkan
pendidikan, cenderung hidup bebas, meninggalkan norma hukum dan agama,
tanpa masa depan yang jelas.
Padahal Nabi menganjurkan manusia untuk
berketurunan, dan tentunya keturunan yang berkualitas. Itu berarti
generasi yang tumbuh sehat, memiliki kebaikan dalam akidah, agama,
kesehatan, ekonomi, dan pendidikan sehingga pada gilirannya mampu
mengambil posisi dan masa depan yang baik. Tidak kalah penting adalah
berintegritas moral dan berakhlak mulia.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa
urusan lahir, rezeki, jodoh, mati adalah hak prerogatif Allah,
Tuhan YME. Keyakinan itu tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak
sepenuhnya benar. Dalam kacamata teologis, Tuhan mendelegasikan sebagian
kewenangan melalui tugas dan misi kekhalifahan.
Manusia mendapat amanat sebagai khalifah
(wakil/ pengganti) di muka bumi, sebagai penampakan-Nya, supaya
memakmurkan bumi seisinya. Allah menyerahkan kewenangan itu dalam bentuk
rida kepada manusia yang mau berikhtiar, merencanakan dengan baik,
bekerja keras, dan berusaha mengubah nasib.
’’Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum se-hingga mereka mengubah keadaan’’ (QS
Al-Ra’du:11).
Dalam tafsir agama, ayat itu berarti
Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa, negara, dan masyarakat,
selama mereka tidak mengubah sendiri penyebab kemunduran itu. Dengan kata
lain, kesuksesan suatu negara, bangsa, dan masyarakat, sesungguhnya bisa
direncanakan, dikalkulasi, dan diprogramkan melalui prediksi yang
terukur.
Ilustrasi itu menggambarkan perintah
agama supaya pemeluk menyiapkan generasi berkualitas melalui perencanaan
secara bijak, termasuk merencanakan keturunan. Dalam bahasa pemerintah
melalui BKKBN maka ditetapkanlah tagline ’’dua anak cukup’’.
Dalam konteks ini, ulama menganjurkan
program keluarga berencana atau tandhim al-nasl (mengatur keluarga).
Sudah barang tentu dengan cara, alat, dan tujuan yang sejalan dengan
rambu agama, tidak menyalahi hukum, norma, dan susila.
Program keluarga berencana dan
peralatannya adalah instrumen untuk menyiapkan generasi yang
berkualitas
(khaira ummah). Pengaturan itu
dikontekskan dengan merencanakan keluarga untuk mewujudkan generasi emas
tersebut.
Hasil
Maksimal
Ini sejalan dengan kaidah, ’’sesuatu yang tidak dapat sempurna
kecuali dengan sesuatu. Karena itu, keberadaan sesuatu yang menjadi
instrumen/ wasilah itu adalah wajib’’. Seandainya dalam pelaksanaan,
sebagian masyarakat merasakan dampak atau risiko yang mungkin kurang
cocok, sejatinya mereka bisa memilih yang paling pas. Hal itu mengingat
banyak alternatif yang bisa dipilih, dengan risiko minimal tapi hasil
maksimal, apalagi yang bersifat nonhormonal.
Kadang saya prihatin, dan mungkin kita
semua, ketika melintas di jalan raya dan melihat banyak anak jalanan,
bahkan yang berusia tua. Saya merasa sedih kenapa mereka harus hidup di
jalan. Tetapi terkejut juga ketika ada survei menyebutkan penghasilan
mereka bisa Rp 500 ribu/hari. Terlepas dari fakta itu, mereka perlu
ditangani secara simultan dan simbiotik oleh pemangku kepentingan di
provinsi ini.
Karena itu, semua pihak, terutama tokoh
agama dan masyarakat, perlu bersinergi memberikan pencerahan kepada
mereka, terutama yang relatif tidak atau belum tersentuh komunikasi,
informasi, dan edukasi program BKKBN.
Apalagi BKKBN mempunyai organisasi sayap
pendukung, semisal Koalisi Kependudukan, Forum Antarumat Beragama Peduli
Kesejahteraan Keluarga dan Kependudukan (Fapsedu), dan Simpul Jaringan
(Sijar)-Fapsedu, yang lebih memfokuskan pada kelompok generasi muda.
Semoga Indonesia mampu mempercepat keterwujudan generasi emas, dan bangsa
ini bangga dapat melahirkan generasi khaira
ummah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar