Mendagri Gamawan Fauzi
ketika membuka Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah bagi Bupati/ Wali Kota dan Wakil Bupati/ Wakil Wali Kota di kantor
badan diklat kementeriannya baru-baru ini menyampaikan pernyataan bahwa
291 kepala daerah dari 536 kabupaten/ kota menjadi tersangka korupsi.
Angka itu
meningkat pesat bila dikaitkan dengan informasi yang disampaikan Direktur
Pengawas Keuangan Daerah BPKP Kasminto bahwa ada 173 kepala daerah
terlibat korupsi, lewat 3.423 modus penyimpangan (SM, 29/5/12).
Kabar
mengenai banyak kepala daerah tersandung kasus hukum bukanlah hal
baru. Informasi lebih dari 50 persen jumlah kepala daerah tersangkut
kasus korupsi juga tidak terlalu mengagetkan. Sepertinya fenomena itu
mulai dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Pertanyaannya adalah jika
kepala daerah kerap terganjal kasus hukum, kenapa sampai saat ini tak
bisa menemukan formula tepat untuk menghentikan? Seandainya fakta
’’penyakit’’ tersebut adalah hal biasa, kenapa belum bisa mengobati?
Untuk
menentukan obat tepat bagi penyakit korupsi, tentu kita lebih dahulu
harus mencari tahu penyebab penyakit itu. Salah satu sebab yang kentara
adalah politik biaya tinggi yang terjadi di daerah. Dalam satu
penelitian, LPSI Jawa Tengah menyatakan bahwa dalam pemilihan umum kepala
daerah yang akan digelar di Jawa Tengah pada 26 Mei mendatang, tiap
kandidat calon gubernur membutuhkan dana segar Rp 200 miliar-Rp 700
miliar (SM, 22/2/13).
Untuk
pemilihan umum legislatif (pileg), dana yang disebar kepada calon
pemilih, jauh lebih besar. Di Jawa Timur misalnya, perkiraan perputaran
dana terkait dengan pencalonan anggota legislatif berkisar Rp 6,2
triliun (SurabayaPost Online, 2/4/ 2013). Itu berarti politik biaya
tinggi seperti ini boleh jadi --dan sangat mungkin-- menjadi penyebab
kerentanan kepala daerah (atau anggota legislatif) terpilih, tersandung
kasus hukum berkait korupsi.
Hukuman Ringan
Dalam lima
tahun masa jabatan, pola yang muncul guna mengimbangi politik biaya
tinggi ini adalah model 2-1-2. Dua tahun pertama masa jabatan akan
digunakan untuk mengumpulkan duit guna mengembalikan modal yang
dikeluarkan pada masa pemilihan. Satu tahun tengah masa jabatan mungkin
menjadi waktu yang relatif bebas untuk bekerja sebagai kepala daerah.
Adapun dua
tahun terakhir masa jabatan akan dimanfaatkan lagi oleh kepala daerah
petahana (incumbent) untuk kembali mengumpulkan dana demi perlombaan
pemilihan kepala daerah periode berikut.
Dengan
demikian, politik biaya tinggi memang dapat dibilang sebagai salah satu
penyebab kemerebakan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Tapi tunggu
dulu, apakah politik biaya tinggi cuma satu-satunya penyebab kepala
daerah terjerat korupsi? Tidak. Ada faktor atau sebab lain di luar
politik biaya tinggi.
Pola
penghukuman yang relatif ringan yang selama ini dijatuhkan kepada kepala
daerah koruptor juga menjadi pemicu. Rata-rata putusan pengadilan yang
dijatuhkan untuk kepala daerah terdakwa korupsi adalah antara 1 tahun dan
4 tahun 6 bulan. Dengan kebijakan remisi, masa hukuman tersebut dapat
lebih kurang lagi. Kurang ada efek jera dari sisi hukum memberikan jalan
tol bagi kepala daerah dengan segala kekuasaan dan kewenangan untuk
mengutak-atik anggaran, menerbitkan dan mencabut kebijakan, sampai pada
praktik KKN jabatan.
Karena itu,
akan sia-sia ketika politik biaya tinggi diubah dengan politik biaya
rendah, namun di sisi lain kita tidak mengubah pola penghukuman. Kita
sedang menunggu negara untuk segera mengubah pola penghukuman bagi
koruptor, demi menghasilkan efek jera senyatanya. Kita harus setia untuk
menunggu.
Satu hal yang
tidak dapat dilepaskan dari usaha perubahan politik biaya tinggi dan pola
penghukuman adalah dukungan masyarakat. Dalam usaha menyusun serangkaian
sistem antikorupsi, perilaku masyarakat menjadi faktor yang sangat
penting. Masyarakat atau secara individu, tidak boleh mendorong pejabat
supaya berperilaku korup.
Bagaimana bisa? Dalam satu
waktu atau masa tertentu, sebagai contoh, masyarakat jangan memasukkan
proposal fiktif, baik untuk bantuan sosial, pembangunan infrastruktur,
maupun pengembangan kapasitas warga. Berita mengenai ada mahasiswa di
Jateng membuat proposal fiktif, sangat menghambat usaha pemberantasan
korupsi.
Pendek kata, langkah tepat
untuk menghentikan usaha mengorupsi daerah adalah pelibatan kerja sama
semua pihak, baik secara politik, hukum, maupun dukungan masyarakat.
Tanpa kolaborasi tiga sektor dan subjek ini maka korupsi akan lebih
nyaman bersemayam pada tiap jemari, otak, dan lingkungan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar