Rabu, 10 April 2013

Mengorupsi Daerah


Mengorupsi Daerah
Hifdzil Alim  ;  Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
SUARA MERDEKA, 10 April 2013


Mendagri Gamawan Fauzi ketika membuka Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah bagi Bupati/ Wali Kota dan Wakil Bupati/ Wakil Wali Kota di kantor badan diklat kementeriannya baru-baru ini menyampaikan pernyataan bahwa 291 kepala daerah dari 536 kabupaten/ kota menjadi tersangka korupsi. 

Angka itu meningkat pesat bila dikaitkan dengan informasi yang disampaikan Direktur Pengawas Keuangan Daerah BPKP Kasminto bahwa ada 173 kepala daerah terlibat korupsi, lewat 3.423 modus penyimpangan (SM, 29/5/12).

Kabar mengenai banyak kepala daerah tersandung kasus hukum bukanlah hal  baru. Informasi lebih dari 50 persen jumlah kepala daerah tersangkut kasus korupsi juga tidak terlalu mengagetkan. Sepertinya fenomena itu mulai dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Pertanyaannya adalah jika kepala daerah kerap terganjal kasus hukum, kenapa sampai saat ini tak bisa menemukan formula tepat untuk menghentikan? Seandainya fakta ’’penyakit’’ tersebut adalah hal biasa, kenapa belum bisa mengobati? 

Untuk menentukan obat tepat bagi penyakit korupsi, tentu kita lebih dahulu harus mencari tahu penyebab penyakit itu. Salah satu sebab yang kentara adalah politik biaya tinggi yang terjadi di daerah. Dalam satu penelitian, LPSI Jawa Tengah menyatakan bahwa dalam pemilihan umum kepala daerah yang akan digelar di Jawa Tengah pada 26 Mei mendatang, tiap kandidat calon gubernur membutuhkan dana segar Rp 200 miliar-Rp 700 miliar (SM, 22/2/13).

Untuk pemilihan umum legislatif (pileg), dana yang disebar kepada calon pemilih, jauh lebih besar. Di Jawa Timur misalnya, perkiraan perputaran dana terkait dengan  pencalonan anggota legislatif berkisar Rp 6,2 triliun (SurabayaPost Online, 2/4/ 2013). Itu berarti  politik biaya tinggi seperti ini boleh jadi --dan sangat mungkin-- menjadi penyebab kerentanan kepala daerah (atau anggota legislatif) terpilih, tersandung kasus hukum berkait korupsi.

Hukuman Ringan

Dalam lima tahun masa jabatan, pola yang muncul guna mengimbangi politik biaya tinggi ini adalah model 2-1-2. Dua tahun pertama masa jabatan akan digunakan untuk mengumpulkan duit guna mengembalikan modal yang dikeluarkan pada masa pemilihan. Satu tahun tengah masa jabatan mungkin menjadi waktu yang relatif bebas untuk bekerja sebagai kepala daerah. 

Adapun dua tahun terakhir masa jabatan akan dimanfaatkan lagi oleh kepala daerah petahana (incumbent) untuk kembali mengumpulkan dana demi perlombaan pemilihan kepala daerah periode berikut.
Dengan demikian, politik biaya tinggi memang dapat dibilang sebagai salah satu penyebab kemerebakan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Tapi tunggu dulu, apakah politik biaya tinggi cuma satu-satunya penyebab kepala daerah terjerat korupsi? Tidak. Ada faktor atau sebab lain di luar politik biaya tinggi.

Pola penghukuman yang relatif ringan yang selama ini dijatuhkan kepada kepala daerah koruptor juga menjadi pemicu. Rata-rata putusan pengadilan yang dijatuhkan untuk kepala daerah terdakwa korupsi adalah antara 1 tahun dan 4 tahun 6 bulan. Dengan kebijakan remisi, masa hukuman tersebut dapat lebih kurang lagi. Kurang ada efek jera dari sisi hukum memberikan jalan tol bagi kepala daerah dengan segala kekuasaan dan kewenangan untuk  mengutak-atik anggaran, menerbitkan dan mencabut kebijakan, sampai pada praktik KKN  jabatan.

Karena itu, akan sia-sia ketika politik biaya tinggi diubah dengan politik biaya rendah, namun di sisi lain kita tidak mengubah pola penghukuman. Kita sedang menunggu negara untuk segera  mengubah pola penghukuman bagi koruptor, demi menghasilkan efek jera senyatanya. Kita harus setia untuk menunggu.

Satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari usaha perubahan politik biaya tinggi dan pola penghukuman adalah dukungan masyarakat. Dalam usaha menyusun serangkaian sistem antikorupsi, perilaku masyarakat menjadi faktor yang sangat penting. Masyarakat atau secara individu, tidak boleh mendorong pejabat supaya berperilaku korup. 
Bagaimana bisa? Dalam satu waktu atau masa tertentu, sebagai contoh, masyarakat jangan memasukkan proposal fiktif, baik untuk bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, maupun pengembangan kapasitas warga. Berita mengenai ada mahasiswa di Jateng membuat proposal fiktif, sangat menghambat usaha pemberantasan korupsi.
Pendek kata, langkah tepat untuk menghentikan usaha mengorupsi daerah adalah pelibatan kerja sama semua pihak, baik secara politik, hukum, maupun dukungan masyarakat. Tanpa kolaborasi tiga sektor dan subjek ini maka korupsi akan lebih nyaman bersemayam pada tiap jemari, otak, dan lingkungan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar