Rabu, 10 April 2013

Eksekusi Mati Gembong Narkoba


Eksekusi Mati Gembong Narkoba
Kunarto Marzuki  ;  Analis Intelijen Badan Narkotika Nasional (BNN)
SUARA MERDEKA, 10 April 2013


Ada empat kejadian penting terkait dengan kasus narkoba pada Maret 2013. Kejadian itu diharapkan bisa menjadi spirit bagi semua pemangku kepentingan untuk tak lelah melakukan segala upaya melakukan pencegahan serta pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (P4GN) sebagaimana Inpres Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan P4GN. 

Empat kejadian penting itu, pertama; pelaksanaan eksekusi mati Adami Wilson, terpidana kasus narkoba asal Nigeria, di Kepulauan Seribu pada Jumat, 15 Maret 2013 dini hari. Eksekusi itu merupakan langkah berani Kejakgung di tengah keragu-raguan apatur negara menerapkan hukuman tegas terhadap bandar narkoba jaringan internasional. Tentu setelah pelaksaan eksekusi itu muncul pro dan kontra, dan itu wajar. 

Wilson adalah salah satu bandar narkoba berskala internasional yang mempunyai rekam jejak tidak pernah jera mengulangi kejahatan meskipun sudah dikurung di LP khusus di Nusakambangan, yang punya tingkat pengamanan maksimal. Mantan anggota intelijen Kepolisian Nigeria itu ditangkap tahun 2003 karena membawa 1.000 gram heroin. 
Akhir 2012 Wilson kembali ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) di perbatasan Timor Leste karena mengendalikan beberapa kurir yang membawa 8 kg sabu dari India. Dalam masa penangkapan oleh BNN, ia berbicara kepada pers bahwa akan terus bekerja untuk mengumpulkan uang Rp 3 miliar guna mengubah putusan pidana mati menjadi seumur hidup pada tingkat peninjauan kembali (PK).

Kedua; pengumuman hukuman mati pada tingkat kasasi oleh MA terhadap 5 terpidana kelas kakap pada triwulan akhir 2012. Mereka adalah Syarifudin alias Kapten, Enrizal (sopir pembawa 3,5 ton ganja), Akbar Chahar Karzei alias Mohammad Baluch (pemilik 60 kg sabu), Leng Kim Ping alias Away (warga negara Malaysia pemilik 45 kg sabu), dan Hartawan Lunardi alias Akui alias Jhon (pemilik 275 ribu ekstasi). 

Syarifudin adalah napi LP Nusakambangan. Dia bersama bandar narkotika lain, Hertoni, dan bekerja sama dengan Kepala LP Nusakambangan Marwan Adli ditangkap BNN karena mengendalikan peredaran narkoba dari Nusakambangan. Sebelumnya, Syarifudin divonis 20 tahun penjara oleh PN Cilacap dan dikuatkan oleh PT Semarang namun ditingkatkan menjadi hukuman mati oleh MA pada tingkat kasasi. 

Jaringan Baru

Di Jateng, pada pertengahan Maret 2013 PN Semarang menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap terdakwa Rosmalinda karena terbukti ’’mengimpor’’ 7 kg narkotika jenis sabu dan heroin. Kasus ini juga menjadi sorotan di Jateng mengingat jumlah barang bukti yang diselundupkan. 

Ketiga; penangkapan mantan ketua DPC PDIP Blora Hariman Siregar alias Colbert Mangaratua alias Robert Siregar oleh Mabes Polri karena diduga mendatangkan 400 ribu ekstasi dari Belanda senilai puluhan miliar rupiah. Peristiwa ini mengingatkan kita semua bahwa sindikat narkotika menyasar semua lini kehidupan di Tanah Air.

Keempat; vonis praperadilan kasus Raffi Ahmad yang memenangkan BNN. Vonis ini mengakhiri hiruk-pikuk pemberitaan yang seolah-olah menyudutkan BNN karena dinilai salah menangkap dan menahan figur publik yang mempunyai banyak penggemar. Vonis ini sekaligus menegaskan kepada masyarakat bahwa negara tidak boleh kalah melawan narkoba.

Hingga Desember 2012, berdasarkan data Susprolapnil Bidang Tindak Pidana Umum Kejakgung ada 71 terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi. Pelaksanaan eksekusi terhadap mereka tergolong lambat, dan selalu ada pro dan kontra. 

Kalangan yang pro menganggap eksekusi mati harus segera dilaksanakan mengingat bandar narkoba itu masih leluasa menjalankan bisnis dari balik jeruji besi. Adapun pihak yang kontra beralasan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, yaitu hak dasar untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945.

Eksekusi mati ini perlu segera dilaksanakan oleh Kejakgung terhadap napi yang sudah tak lagi punya hak melakukan upaya hukum, semisal PK dan grasi. Pasalnya, berdasarkan temuan BNN dan Polri, para terpidana mati itu tetap menjalankan bisnis dari LP. Kita tidak memungkiri ada sesuatu yang tidak beres yang membuat mereka tetap bisa menjalankan bisnis haram dari dalam sel. 

Ada tiga jawaban yang setidak-tidaknya bisa membuat terang benderang. Pertama; mereka tidak lagi punya harapan hidup sehingga cenderung memilih mengulangi perbuatan. Kedua; mereka bekerja dalam sindikat internasional yang menuntut untuk terus bekerja dengan membuat sel-sel ja-ringan baru. Ketiga; kita belum mempunyai sistem pemasyarakatan yang benar-benar ketat dan bisa membuat jera mereka un-tuk tidak mengulangi perbuatan. Yang ada justru sistem yang longgar sehingga mereka bisa leluasa kembali mengulangi perbuatan, yakni berbisnis narkoba dari dalam LP.

Karena itu, kita perlu mendorong ketegasan pemerintah untuk segera mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika mengingat tiga alasan itu. Makin lambat kita melaksanakan eksekusi berarti makin leluasa mereka menjalankan bisnis narkotika dan makin banyak anak bangsa kita yang menjadi korban. Makin lambat kita mengambil keputusan berarti  makin cepat kita membiarkan generasi kita hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar