Rabu, 10 April 2013

Memutus Impor Hortikultura


Memutus Impor Hortikultura
Ali Mubarak  ;  Mantan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Majelis Syariah DPP PPP 
REPUBLIKA, 10 April 2013


Komoditas hortikultura, akhir akhir ini menjadi pusat perhatian publik. Kenaikan harga komoditas hortikultura, seperti bawang merah, bawang putih, dan kemudian disusul cabai, mengusik hati nurani kita. Sebagai negara agraris yang masih banyak bertumpu pada sektor pertanian, kenyataan tersebut tentu saja sangat me risaukan. Jika terhadap komoditas pertanian, seperti daging sapi, bawang merah dan putih, serta cabai saja kita harus bergantung pada impor, bagaimana negara kita bisa siap mewujudkan kemandirian pangan.

Tekad mewujudkan swasembada pangan tahun 2014 itu sesungguhnya sudah jauh terlambat, jika memperhitungkan sumber daya dan biaya yang di keluarkan setelah sekian lama bergantung pada impor. Sementara itu, kondisi sektor pertanian kita sekarang ini juga sudah mengalami kemunduran yang signifikan. Dalam beberapa dekade, kemunduran itu semakin memprihatinkan. Lahan- lahan pertanian sudah terjadi penurunan yang signifikan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Lahan-lahan pertanian yang subur semakin berkurang, baik karena alih fungsi lahan maupun karena menurunnya tingkat kesuburan karena faktor pemakaian pupuk anorganik. 

Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu lebih kecil dari dua persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen. 

Sementara itu, dari sisi kuantitasnya lahan pertanian sudah menurun dratis akibat konversi lahan pertanian tanpa henti. Terjadinya alih fungsi lahan tidak terkendali dan tidak ada upaya mengendalikannya. Kepemilihan lahan pertanian oleh petani juga terus berkurang, akibat luas lahan pertanian yang tidak bertambah, tetapi jumlah penduduk petani kian meningkat.

Di daerah Jawa ada kultur di mana orang tua akan memberikan pembagian warisan lahan tanah pertanian maupun kebun kepada anaknya turun-temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun untuk usaha. Sementara itu, kemajuan infrastruktur pendukung sektor pertanian juga tidak banyak mengalami kemajuan, bahkan kian menurun. 

Misalnya, pembangunan dan pengembangan waduk. Dari jumlah waduk yang ada, kemampuan menampung debit air terus menurun sedangkan kemampuan waduk untuk mengairi lahan pertanian juga masih jauh dari memadai. Dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 hektare (ha), sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari nonwaduk. 

Keseriusan pemerintah dalam mengembangkan swasembada pangan harus pula dibarengi dengan revitalisasi peran waduk, baik dalam upaya menampung debit air maupun peningkatan kemampuan pengairan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sedangkan 19 waduk masih berstatus normal.
Selain itu, masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.

Respons terhadap perkembangan komoditas pangan cenderung lambat, dan baru bereaksi jika dihadapkan pada masalah. Setelah kisruh garam impor, harga daging sapi, bawang, dan cabai, semua baru bereaksi dan saling menyalahkan. Demikian pula, setelah sekian tahun kita impor pangan, namun baru pada 2014 dicanangkan swasembada beberapa komoditas pangan. 

Pemerintah bukan cuma gagal memenuhi kebutuhan produksi pangan dalam negeri dan tergantung pada impor, tetapi juga lambat dalam menghasilkan komoditas pangan melalui modernisasi pertanian. Sebagai negara dengan sebagian besar rakyat masih hidup bergantung pada pertanian, seharusnya pemerintah sudah selangkah lebih maju dalam memodernisasi pertanian. 

Kenyataan bahwa liberalisasi perdagangan kian tidak terelakkan namun pemerintah tidak membenahi lini komoditas pangan yang sangat dibutuhkan rakyat. Padahal, komoditas pertanian pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan, dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang memiliki standar kualitas tinggi. Sementara itu, produk komoditas pangan yang kita hasilkan masih melalui proses tradisional dan tentu saja masih belum menggunakan muatan teknologi. 

Karena usaha komoditas pangan yang dihasikan rakyat masih bersifat tradisional dan diusahakan rumah tangga, maka usaha untuk meningkatkan produktivitas juga lamban. Usaha-usaha rakyat tersebut juga tidak memperoleh akses layanan usaha terutama dalam permodalan. Usaha komoditas pertanian yang dihasilkan rakyat juga belum menyentuh sisi tata niaga yang lebih maju. Mata rantai tata niaga komoditas pertanian masih terlalu panjang yang menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar