Komoditas
hortikultura, akhir akhir ini menjadi pusat perhatian publik. Kenaikan harga komoditas hortikultura, seperti bawang merah, bawang
putih, dan kemudian disusul cabai, mengusik hati nurani kita. Sebagai
negara agraris yang masih banyak bertumpu pada sektor pertanian,
kenyataan tersebut tentu saja sangat me risaukan. Jika terhadap komoditas
pertanian, seperti daging sapi, bawang merah dan putih, serta cabai saja
kita harus bergantung pada impor, bagaimana negara kita bisa siap
mewujudkan kemandirian pangan.
Tekad
mewujudkan swasembada pangan tahun 2014 itu sesungguhnya sudah jauh
terlambat, jika memperhitungkan sumber daya dan biaya yang di keluarkan
setelah sekian lama bergantung pada impor. Sementara itu, kondisi sektor
pertanian kita sekarang ini juga sudah mengalami kemunduran yang signifikan. Dalam
beberapa dekade, kemunduran itu semakin memprihatinkan. Lahan- lahan
pertanian sudah terjadi penurunan yang signifikan, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Lahan-lahan pertanian yang subur semakin berkurang, baik
karena alih fungsi lahan maupun karena menurunnya tingkat kesuburan
karena faktor pemakaian pupuk anorganik.
Berbagai
hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif
di Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan
mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik
dalam tanah, yaitu lebih kecil dari dua persen. Padahal, untuk memperoleh
produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih dari 2,5
persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen.
Sementara
itu, dari sisi kuantitasnya lahan pertanian sudah menurun dratis akibat
konversi lahan pertanian tanpa henti. Terjadinya alih fungsi lahan tidak
terkendali dan tidak ada upaya mengendalikannya. Kepemilihan lahan
pertanian oleh petani juga terus berkurang, akibat luas lahan pertanian
yang tidak bertambah, tetapi jumlah penduduk petani kian meningkat.
Di
daerah Jawa ada kultur di mana orang tua akan memberikan pembagian
warisan lahan tanah pertanian maupun kebun kepada anaknya turun-temurun,
sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi
menjadi lahan perumahan maupun untuk usaha. Sementara itu, kemajuan
infrastruktur pendukung sektor pertanian juga tidak banyak mengalami
kemajuan, bahkan kian menurun.
Misalnya,
pembangunan dan pengembangan waduk. Dari jumlah waduk yang ada, kemampuan
menampung debit air terus menurun sedangkan kemampuan waduk untuk
mengairi lahan pertanian juga masih jauh dari memadai. Dari total areal
sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 hektare (ha), sumber airnya 11
persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212
ha) berasal dari nonwaduk.
Keseriusan
pemerintah dalam mengembangkan swasembada pangan harus pula dibarengi
dengan revitalisasi peran waduk, baik dalam upaya menampung debit air
maupun peningkatan kemampuan pengairan. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat
berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering,
sedangkan 19 waduk masih berstatus normal.
Selain itu, masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di
daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi
salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Respons
terhadap perkembangan komoditas pangan cenderung lambat, dan baru
bereaksi jika dihadapkan pada masalah. Setelah kisruh garam impor, harga
daging sapi, bawang, dan cabai, semua baru bereaksi dan saling
menyalahkan. Demikian pula, setelah sekian tahun kita impor pangan, namun
baru pada 2014 dicanangkan swasembada beberapa komoditas pangan.
Pemerintah
bukan cuma gagal memenuhi kebutuhan produksi pangan dalam negeri dan
tergantung pada impor, tetapi juga lambat dalam menghasilkan komoditas
pangan melalui modernisasi pertanian. Sebagai negara dengan sebagian
besar rakyat masih hidup bergantung pada pertanian, seharusnya pemerintah
sudah selangkah lebih maju dalam memodernisasi pertanian.
Kenyataan
bahwa liberalisasi perdagangan kian tidak terelakkan namun pemerintah
tidak membenahi lini komoditas pangan yang sangat dibutuhkan rakyat.
Padahal, komoditas pertanian pangan (hortikultura), perikanan,
perkebunan, dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang memiliki
standar kualitas tinggi. Sementara itu, produk komoditas pangan yang
kita hasilkan masih melalui proses tradisional dan tentu saja masih belum
menggunakan muatan teknologi.
Karena
usaha komoditas pangan yang dihasikan rakyat masih bersifat tradisional
dan diusahakan rumah tangga, maka usaha untuk meningkatkan produktivitas
juga lamban. Usaha-usaha rakyat tersebut juga tidak memperoleh akses
layanan usaha terutama dalam permodalan. Usaha komoditas pertanian yang
dihasilkan rakyat juga belum menyentuh sisi tata niaga yang lebih maju.
Mata rantai tata niaga komoditas pertanian masih terlalu panjang yang
menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar