Rabu, 03 April 2013

Mengobral Kursi Caleg Perempuan


Mengobral Kursi Caleg Perempuan
Siti Nuryati  ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUARA KARYA, 03 April 2013

  
Dari diskusi "Pilar Negara: Penguatan Peran Politik Perempuan" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, baru-baru ini terungkap bahwa langkah partai politik merekrut kaum perempuan dalam perspektif gender sebagai pengurus partai maupun calon anggota legislatif masih sebatas kuantitas. Partai politik baru berusaha memenuhi aturan perundangan secara kuantitatif, yakni keterwakilan perempuan 30 persen.

Tak jarang, demi memenuhi kuota keterwakilan ini, parpol-parpol akhirnya mengobral kursi caleg kepada para perempuan, tanpa menimbang aspek kualitas si bakal caleg. Celakanya, meski sudah diobral, toh tetap saja tidak mudah bagi parpol untuk memadati kuota tersebut. Realitasnya, hasil Pemilu Legislatif 2009, keterwakilan perempuan di DPR RI sekitar 18 persen, di DPRD provinsi sekitar 16 persen, serta di DPRD kabupaten dan kota sekitar 12 persen.

Tak sedikit pihak yang kurang sepakat terhadap aturan keterwakilan perempuan di parlemen melalui afirmasi, yakni kemudahan terhadap kaum perempuan. Mereka berpandangan, anggota parlemen adalah wakil rakyat yang harus mengokomodasi aspirasi rakyat sehingga akan lebih baik kalau persaingan di partai politik dibuat terbuka tanpa afirmasi kepada kaum perempuan, sehingga figur-figur yang terpilih benar-benar memiliki kompetensi dan berkualitas.

Sesungguhnya untuk bisa menghasilkan figur-figur perempuan yang kompeten dan berkualitas dalam berpolitik, maka menjadi penting adanya proses pembinaan untuk menghasilkan sosok-sosok kader perempuan yang siap bergerak. Namun, perlu diingat bahwa kader perempuan ini tak cukup hanya berbekal semangat, melainkan juga harus dibekali dengan pemahaman yang utuh tentang makna aktivitas politik, padat pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengaturan urusan masyarakat. Dengan demikian, ia betul-betul merupakan sosok yang layak dijadikan teladan di tengah masyarakat.

Untuk melahirkan sosok yang seperti itu, tentu ia harus dibina/ditempa dulu dalam sebuah wadah pembinaan yang kondusif. Dan, partai politik adalah rumah tempat membina kader-kader handal tersebut. Namun, ternyata tak sembarang partai politik bisa melakukan pembinaan/penempaan secara sempurna.

Partai politik seperti apa yang bisa melahirkan kader-kader berkualitas? Arah politik shahih jelas harus keluar dari tubuh partai politik yang shahih juga. Untuk itu, menjadi penting bagi perempuan untuk bernaung di bawah pembinaan partai yang berlandaskan pada ideologi yang shahih.
Kader perempuan jelas memiliki tantangan yang lebih besar dibanding kader laki-laki. Para politisi perempuan mengemban peran ganda. Pertama, sebagai politisi yang berkiprah di ranah publik. 

Kedua, sebagai istri dan ibu pendidik generasi. Dua peran ini menuntut curahan pikiran, waktu, dan tenaga ekstra. Dan, hanya perempuan-perempuan hebat yang bisa menjalankan kedua peran tersebut secara seimbang. Ini artinya, politisi perempuan haruslah orang yang betul-betul berkualitas.

Sayangnya, sistem demokrasi-kapitalistik yang mencengkeram berbagai negeri, termasuk Indonesia telah mendistorsi kualitas para perempuannya. Karena, pergerakan perempuan dalam politik demokrasi sesungguhnya hanyalah gerak semu. Mereka hanya akan lelah sendiri, karena gerak mereka takkan pernah membawa perubahan sejati.

Perempuan yang belum berperan dalam ranah politik pun, jika masih hidup dalam sistem demokrasi, maka mereka cenderung individualistis, menjadi ibu hanya sebatas dapur, sumur, kasur hingga tak sempat berpikir yang lain. Generasi yang dihasilkan pun layak diragukan kualitasnya untuk meneruskan penjagaan kualitas umat manusia selanjutnya.

Sejatinya upaya mengoptimalkan peran perempuan haruslah tetap berpijak di dua kaki, yaitu di sektor domestik dan sektor publik. Di sektor domestik, perempuan harus dibina dan didorong perannya dalam mencetak generasi yang berkualitas. Ini merupakan pekerjaan berat sekaligus mulia. Di samping optimalisasi peran di sektor ini, perempuan juga harus optimal perannya di sektor publik yaitu peran politik perempuan.

Persoalannya, mengapa masih sedikit perempuan yang mampu berperan dalam politik? Tak sekedar bisa berperan, namun lebih dari itu, yaitu bagaimana bisa berperan dalam politik dengan perspektif yang benar? Ini penting karena tak sedikit fenomena perempuan politikus saat ini yang menggunakan perspektif keliru dalam berpolitik. Ini tampak dari mereka yang memandang bahwa hak-hak perempuan akan terpenuhi jika para perempuannya ada di posisi puncak penentu kebijakan. 

Termasuk, fenomena partai politik berburu caleg perempuan yang terkadang mengabaikan kualitas perempuannya. Ini jelas merupakan praktik politik dengan kesalahan perspektif karena parpol sekedar bertumpu kepada terpenuhinya kuota, tanpa lebih dalam berpikir apa tujuan perempuan berpolitik.

Yang tak kalah pentingnya untuk dicermati adalah definisi politik yang dipakai. Kalau yang menjadi landasan/pijakan mengapa perempuan harus berpolitik adalah demi meraih kekuasaan (duduk di parlemen) agar kepentingan kaum perempuan bisa diakomodir di berbagai kebijakan negara, maka cara berpikir seperti ini harus diluruskan. Karena, semestinya dasar pijakan perempuan terjun dan melakukan aktivitas politik adalah untuk melakukan aktivitas menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan kejahatan/keburukan demi terwujudnya pengaturan kehidupan masyarakat yang shahih.

Makna politik di sini adalah mengurusi urusan umat/masyarakat. Dengan berlandaskan politik yang shahih maka perjuangan politik perempuan tidak akan terjebak kepada kepentingan-kepentingan jangka pendek, tidak akan tersandra oleh perspektif-perspektif yang keliru, seperti berpolitik untuk kekuasaan atau berpolitik untuk mengamankan kendaraan parpolnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar