Dari
diskusi "Pilar Negara: Penguatan Peran Politik Perempuan" di
Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, baru-baru ini terungkap bahwa langkah
partai politik merekrut kaum perempuan dalam perspektif gender sebagai
pengurus partai maupun calon anggota legislatif masih sebatas kuantitas.
Partai politik baru berusaha memenuhi aturan perundangan secara kuantitatif,
yakni keterwakilan perempuan 30 persen.
Tak jarang, demi memenuhi
kuota keterwakilan ini, parpol-parpol akhirnya mengobral kursi caleg
kepada para perempuan, tanpa menimbang aspek kualitas si bakal caleg.
Celakanya, meski sudah diobral, toh tetap saja tidak mudah bagi parpol
untuk memadati kuota tersebut. Realitasnya, hasil Pemilu Legislatif 2009,
keterwakilan perempuan di DPR RI sekitar 18 persen, di DPRD provinsi
sekitar 16 persen, serta di DPRD kabupaten dan kota sekitar 12 persen.
Tak sedikit pihak yang
kurang sepakat terhadap aturan keterwakilan perempuan di parlemen melalui
afirmasi, yakni kemudahan terhadap kaum perempuan. Mereka berpandangan,
anggota parlemen adalah wakil rakyat yang harus mengokomodasi aspirasi
rakyat sehingga akan lebih baik kalau persaingan di partai politik dibuat
terbuka tanpa afirmasi kepada kaum perempuan, sehingga figur-figur yang
terpilih benar-benar memiliki kompetensi dan berkualitas.
Sesungguhnya untuk bisa
menghasilkan figur-figur perempuan yang kompeten dan berkualitas dalam
berpolitik, maka menjadi penting adanya proses pembinaan untuk
menghasilkan sosok-sosok kader perempuan yang siap bergerak. Namun, perlu
diingat bahwa kader perempuan ini tak cukup hanya berbekal semangat,
melainkan juga harus dibekali dengan pemahaman yang utuh tentang makna
aktivitas politik, padat pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengaturan
urusan masyarakat. Dengan demikian, ia betul-betul merupakan sosok yang
layak dijadikan teladan di tengah masyarakat.
Untuk melahirkan sosok yang
seperti itu, tentu ia harus dibina/ditempa dulu dalam sebuah wadah
pembinaan yang kondusif. Dan, partai politik adalah rumah tempat membina
kader-kader handal tersebut. Namun, ternyata tak sembarang partai politik
bisa melakukan pembinaan/penempaan secara sempurna.
Partai politik seperti apa
yang bisa melahirkan kader-kader berkualitas? Arah politik shahih jelas
harus keluar dari tubuh partai politik yang shahih juga. Untuk itu,
menjadi penting bagi perempuan untuk bernaung di bawah pembinaan partai
yang berlandaskan pada ideologi yang shahih.
Kader perempuan jelas
memiliki tantangan yang lebih besar dibanding kader laki-laki. Para
politisi perempuan mengemban peran ganda. Pertama, sebagai politisi yang
berkiprah di ranah publik.
Kedua, sebagai istri dan ibu pendidik
generasi. Dua peran ini menuntut curahan pikiran, waktu, dan tenaga
ekstra. Dan, hanya perempuan-perempuan hebat yang bisa menjalankan kedua
peran tersebut secara seimbang. Ini artinya, politisi perempuan haruslah
orang yang betul-betul berkualitas.
Sayangnya, sistem
demokrasi-kapitalistik yang mencengkeram berbagai negeri, termasuk
Indonesia telah mendistorsi kualitas para perempuannya. Karena,
pergerakan perempuan dalam politik demokrasi sesungguhnya hanyalah gerak
semu. Mereka hanya akan lelah sendiri, karena gerak mereka takkan pernah
membawa perubahan sejati.
Perempuan yang belum
berperan dalam ranah politik pun, jika masih hidup dalam sistem
demokrasi, maka mereka cenderung individualistis, menjadi ibu hanya
sebatas dapur, sumur, kasur hingga tak sempat berpikir yang lain.
Generasi yang dihasilkan pun layak diragukan kualitasnya untuk meneruskan
penjagaan kualitas umat manusia selanjutnya.
Sejatinya upaya
mengoptimalkan peran perempuan haruslah tetap berpijak di dua kaki, yaitu
di sektor domestik dan sektor publik. Di sektor domestik, perempuan harus
dibina dan didorong perannya dalam mencetak generasi yang berkualitas.
Ini merupakan pekerjaan berat sekaligus mulia. Di samping optimalisasi
peran di sektor ini, perempuan juga harus optimal perannya di sektor
publik yaitu peran politik perempuan.
Persoalannya, mengapa masih
sedikit perempuan yang mampu berperan dalam politik? Tak sekedar bisa
berperan, namun lebih dari itu, yaitu bagaimana bisa berperan dalam
politik dengan perspektif yang benar? Ini penting karena tak sedikit
fenomena perempuan politikus saat ini yang menggunakan perspektif keliru
dalam berpolitik. Ini tampak dari mereka yang memandang bahwa hak-hak
perempuan akan terpenuhi jika para perempuannya ada di posisi puncak
penentu kebijakan.
Termasuk, fenomena partai politik berburu caleg
perempuan yang terkadang mengabaikan kualitas perempuannya. Ini jelas
merupakan praktik politik dengan kesalahan perspektif karena parpol
sekedar bertumpu kepada terpenuhinya kuota, tanpa lebih dalam berpikir
apa tujuan perempuan berpolitik.
Yang tak kalah pentingnya
untuk dicermati adalah definisi politik yang dipakai. Kalau yang menjadi
landasan/pijakan mengapa perempuan harus berpolitik adalah demi meraih
kekuasaan (duduk di parlemen) agar kepentingan kaum perempuan bisa
diakomodir di berbagai kebijakan negara, maka cara berpikir seperti ini
harus diluruskan. Karena, semestinya dasar pijakan perempuan terjun dan
melakukan aktivitas politik adalah untuk melakukan aktivitas menyeru
kepada kebaikan dan meninggalkan kejahatan/keburukan demi terwujudnya
pengaturan kehidupan masyarakat yang shahih.
Makna politik di sini adalah
mengurusi urusan umat/masyarakat. Dengan berlandaskan politik yang shahih
maka perjuangan politik perempuan tidak akan terjebak kepada
kepentingan-kepentingan jangka pendek, tidak akan tersandra oleh
perspektif-perspektif yang keliru, seperti berpolitik untuk kekuasaan
atau berpolitik untuk mengamankan kendaraan parpolnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar