Republik tercinta ini
bakalan tercabik-cabik menjadi negeri yang tidak utuh dan serba keropos
akibat oportunisme kriminalistik sistemik dan masif yang dilakukan oleh
pilar-pilar strategisnya. Negeri yang terlihat gemuk dan sehat dengan
stigma memiliki banyak kekayaan alam ini, semakin lama kehilangan
keberdayaannya akibat terus-menerus 'terkanibalisasi'.
'Kanibalisasi' yang
dijalankan itu tidaklah bersifat purba dan konservatif. Pasalnya, yang
dimakan atau dikorbankan demi kepuasan dan kesenangan bukanlah anatomi
tubuh rakyat secara langsung, melainkan sumber dana atau sumber daya
bangsa yang sejatinya digunakan menghidupi dan memakmurkannya. Namun,
akibat 'dikanibalisasi' oleh para oknum penyalahguna kekuasaan,
hak-haknya seperti hak untuk mengkualitaskan keberlanjutan hidup, hak
mendapatkan layanan kesehatan yang memanusiakan, dan hak terbebasan dari
kemiskinan, menjadi tereliminasi.
Sebagai contoh kasus, publik
sementara ini dibuat 'terpesona' oleh hasil perburuan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset-aset Djoko Susilo, tersangka
kasus korupsi Korlantas. Sedikitnya 200 miliar rupiah aset-asetnya
berhasil diamankan oleh KPK. Pertanyaannya, dari mana kekayaan tersangka
bisa sedemikian banyak itu? Mengapa pilar negara yang menjadi oknum ini
bisa mengumpulkan dan menimbun kekayaan (uang) demikian spektakuler?
Tidakkah rakyat juga punya kesempatan secara egaliter untuk mendapatkan
uang sebanyak-banyaknya?
Sayangnya, rakyat seringkali
tidak mendapatkan kesempatan untuk mengumpulkan uang banyak. Kalaupun ada
peluang mendapatkan uang secara ilegal, jumlahnya sangat sedikit dan
masih harus menunggu ada suksesi di tingkat desa, kota/kabupaten,
provinsi, dan pilpres, yang para kandidat atau tim suksesnya 'blusukan'
mengedarkan uang politik.
Ini berbeda dengan para
pemegang kekuasaan atau siapa pun yang berhasil membeli kekuasaan.
Mereka, yang kekuasaannya dibeli dengan uang banyak, bisa dipastikan akan
terus mencari celah-celah dalam lingkaran kekuasaan atau pihak-pihak yang
mau diajaknya berkolaborasli kriminalisasi guna mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya.
Bagaimanapun kekuasaan atau
jabatan yang dipercayakan oleh rakyat (negara) pada seseorang atau
sekelompok orang, merupakan peluang strategis. Kalau perlu segala modal
miliknya digunakan untuk merebut dan mengendarai kekuasaan. Uang
merupakan modal istimewa yang bisa digunakan untuk membeli dan
tukar-menukar (barter) kekuasaan. Kalau kekuasaan berhasil dibelinya, di
kemudian hari, segala bentuk pengeluaran yang 'dikonsumsikan' demi
kekuasaan, akan kembali seiring dengan berjalannya mesin-mesin kekuasaan.
Dalam konteks tersebut,
logis jika banyak orang memburu kekuasaan dengan mengerahkan segala daya
dan tipu dayanya. Mereka berani berutang banyak pada lembaga-lembaga
keuangan maupun menjarah kekayaan rakyat dalam APBD maupun APBN (khusus
incumbent), asalkan bisa membeli kekuasaan.
Kekuasaan yang berhasil
dibeli itu, kemudian digunakan sebagai mesin pembelot berfungsinya uang.
Uang yang diamanatkan padanya guna membebaskan rakyat dari kemiskinan atau
meningkatkan taraf kehidupan rakyat, digeser menjadi instrumen untuk
memperkaya diri, keluarga, dan partainya. Tidak sedikit di antara mereka
tidak takut di kemudian hari akan berstatus tersangka, terdakwa, atau
terpidana, asalkan kekuasaan bisa direbut dan digunakan sebagai kendaraan
mengeruk berbagai sumber daya rakyat.
Hingga tahun 2011 saja,
misalnya, tercatat 148 orang lebih dari 244 kepala daerah menjadi
tersangka. Ini artinya, saat mereka menjadi pemimpin daerah, baik sebagai
walikota atau bupati, mereka sedang terpesona pada uang dan kekuasaan,
sehingga menjerumuskan dirinya berelasi dengan perkara hukum.
Dalam ranah itu,
kepemimpinan yang dijalankan akhirnya dibebani oleh problem hukum, yang
secara umum berelasi dengan masalah dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau
penyalah-alamatan dalam penggunaan uang rakyat.
Bagi kepala daerah,
penyimpangan kekuasaan yang dilakukannya secara umum bertajukkan pada
masalah penyalah-alamatan atau penyelingkuhan anggaran daerah. Anggaran
daerah (APBD) menjadi salah satu 'tambang emas' yang digunakan oleh oknum
kepala daerah bukan sebagaimana regulasi peruntukannya, namun digunakan
memperkaya diri atau memenuhi hajat biologis kekuasaan dan kelompok
eksklusifnya.
Kasus tersebut juga layak
dibaca sebagai bagian dari model kepemimpinan yang lebih berorientasi
pada penahbisan uang (anggaran). Kekuasaan yang dikendarainya mengerurut
pada bagaimana bisa mendapatkan dan menguasai atas amanat yang
dipercayakan padanya, dan bukan pada paradigma bagaimana mengelola atau
mendistribusikan apa yang dikuasakan padanya sebagai modal membumikan
program-program pembangunan empirik dan humanistik.
Kasus korupsi Djoko Susilo
hingga pimpinan daerah di atas layak digunakan sebagai bahan refleksi,
bahwa siapa pun menjadikan kekuasaan sebagai jalur utama mengumpulkan dan
menimbun uang sebanyak-banyaknya, pastilah dirinya akan menghadapi
problem yuridis yang berat.
Uang rakyat yang
dipercayakan pengelolaannya pada setiap elemen kekuasaan, merupakan
tanggung jawab besar dan mulia yang wajib ditempatkan sebagai instrumen
pembebas dan pemartabat negeri ini. Mereka dipercaya untuk menghidupi dan
mehumanisasikan, dan bukannya mengkanibalisasikannya.
Rakyat yang sedang papa,
miskin, atau sekian lama menjalani hidup dalam kompilasi keterbatasan
atau ketidakberdayaan, adalah subjek yang wajib ditempatkan sebagai
'proyek terbesar' untuk selalu dipikirkan dan dimanusiakan oleh para
pemegang jabatan, di mana pun dan apa pun jabatan itu dipercayakan negara
padanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar