Rabu, 03 April 2013

Korupsi Korbankan Rakyat


Korupsi Korbankan Rakyat
Siti Marwiyah  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 03 April 2013


Republik tercinta ini bakalan tercabik-cabik menjadi negeri yang tidak utuh dan serba keropos akibat oportunisme kriminalistik sistemik dan masif yang dilakukan oleh pilar-pilar strategisnya. Negeri yang terlihat gemuk dan sehat dengan stigma memiliki banyak kekayaan alam ini, semakin lama kehilangan keberdayaannya akibat terus-menerus 'terkanibalisasi'.

'Kanibalisasi' yang dijalankan itu tidaklah bersifat purba dan konservatif. Pasalnya, yang dimakan atau dikorbankan demi kepuasan dan kesenangan bukanlah anatomi tubuh rakyat secara langsung, melainkan sumber dana atau sumber daya bangsa yang sejatinya digunakan menghidupi dan memakmurkannya. Namun, akibat 'dikanibalisasi' oleh para oknum penyalahguna kekuasaan, hak-haknya seperti hak untuk mengkualitaskan keberlanjutan hidup, hak mendapatkan layanan kesehatan yang memanusiakan, dan hak terbebasan dari kemiskinan, menjadi tereliminasi.

Sebagai contoh kasus, publik sementara ini dibuat 'terpesona' oleh hasil perburuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset-aset Djoko Susilo, tersangka kasus korupsi Korlantas. Sedikitnya 200 miliar rupiah aset-asetnya berhasil diamankan oleh KPK. Pertanyaannya, dari mana kekayaan tersangka bisa sedemikian banyak itu? Mengapa pilar negara yang menjadi oknum ini bisa mengumpulkan dan menimbun kekayaan (uang) demikian spektakuler? Tidakkah rakyat juga punya kesempatan secara egaliter untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya?

Sayangnya, rakyat seringkali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengumpulkan uang banyak. Kalaupun ada peluang mendapatkan uang secara ilegal, jumlahnya sangat sedikit dan masih harus menunggu ada suksesi di tingkat desa, kota/kabupaten, provinsi, dan pilpres, yang para kandidat atau tim suksesnya 'blusukan' mengedarkan uang politik.

Ini berbeda dengan para pemegang kekuasaan atau siapa pun yang berhasil membeli kekuasaan. Mereka, yang kekuasaannya dibeli dengan uang banyak, bisa dipastikan akan terus mencari celah-celah dalam lingkaran kekuasaan atau pihak-pihak yang mau diajaknya berkolaborasli kriminalisasi guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Bagaimanapun kekuasaan atau jabatan yang dipercayakan oleh rakyat (negara) pada seseorang atau sekelompok orang, merupakan peluang strategis. Kalau perlu segala modal miliknya digunakan untuk merebut dan mengendarai kekuasaan. Uang merupakan modal istimewa yang bisa digunakan untuk membeli dan tukar-menukar (barter) kekuasaan. Kalau kekuasaan berhasil dibelinya, di kemudian hari, segala bentuk pengeluaran yang 'dikonsumsikan' demi kekuasaan, akan kembali seiring dengan berjalannya mesin-mesin kekuasaan.

Dalam konteks tersebut, logis jika banyak orang memburu kekuasaan dengan mengerahkan segala daya dan tipu dayanya. Mereka berani berutang banyak pada lembaga-lembaga keuangan maupun menjarah kekayaan rakyat dalam APBD maupun APBN (khusus incumbent), asalkan bisa membeli kekuasaan.

Kekuasaan yang berhasil dibeli itu, kemudian digunakan sebagai mesin pembelot berfungsinya uang. Uang yang diamanatkan padanya guna membebaskan rakyat dari kemiskinan atau meningkatkan taraf kehidupan rakyat, digeser menjadi instrumen untuk memperkaya diri, keluarga, dan partainya. Tidak sedikit di antara mereka tidak takut di kemudian hari akan berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana, asalkan kekuasaan bisa direbut dan digunakan sebagai kendaraan mengeruk berbagai sumber daya rakyat.

Hingga tahun 2011 saja, misalnya, tercatat 148 orang lebih dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Ini artinya, saat mereka menjadi pemimpin daerah, baik sebagai walikota atau bupati, mereka sedang terpesona pada uang dan kekuasaan, sehingga menjerumuskan dirinya berelasi dengan perkara hukum.

Dalam ranah itu, kepemimpinan yang dijalankan akhirnya dibebani oleh problem hukum, yang secara umum berelasi dengan masalah dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyalah-alamatan dalam penggunaan uang rakyat.

Bagi kepala daerah, penyimpangan kekuasaan yang dilakukannya secara umum bertajukkan pada masalah penyalah-alamatan atau penyelingkuhan anggaran daerah. Anggaran daerah (APBD) menjadi salah satu 'tambang emas' yang digunakan oleh oknum kepala daerah bukan sebagaimana regulasi peruntukannya, namun digunakan memperkaya diri atau memenuhi hajat biologis kekuasaan dan kelompok eksklusifnya.

Kasus tersebut juga layak dibaca sebagai bagian dari model kepemimpinan yang lebih berorientasi pada penahbisan uang (anggaran). Kekuasaan yang dikendarainya mengerurut pada bagaimana bisa mendapatkan dan menguasai atas amanat yang dipercayakan padanya, dan bukan pada paradigma bagaimana mengelola atau mendistribusikan apa yang dikuasakan padanya sebagai modal membumikan program-program pembangunan empirik dan humanistik.

Kasus korupsi Djoko Susilo hingga pimpinan daerah di atas layak digunakan sebagai bahan refleksi, bahwa siapa pun menjadikan kekuasaan sebagai jalur utama mengumpulkan dan menimbun uang sebanyak-banyaknya, pastilah dirinya akan menghadapi problem yuridis yang berat.

Uang rakyat yang dipercayakan pengelolaannya pada setiap elemen kekuasaan, merupakan tanggung jawab besar dan mulia yang wajib ditempatkan sebagai instrumen pembebas dan pemartabat negeri ini. Mereka dipercaya untuk menghidupi dan mehumanisasikan, dan bukannya mengkanibalisasikannya.

Rakyat yang sedang papa, miskin, atau sekian lama menjalani hidup dalam kompilasi keterbatasan atau ketidakberdayaan, adalah subjek yang wajib ditempatkan sebagai 'proyek terbesar' untuk selalu dipikirkan dan dimanusiakan oleh para pemegang jabatan, di mana pun dan apa pun jabatan itu dipercayakan negara padanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar