Selasa, 16 April 2013

Mengkritik Yes, Menghina No


Mengkritik Yes, Menghina No
Denny Indrayana   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 16 April 2013

  
Kami dicurigai melahirkan kembali pasal penghinaan presiden atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 
Suatu dugaan yang keliru. Pertama, kami tidak ikut merumuskan rancangan KUHP ataupun KUHAP. Kedua, Presiden SBY jangankan memerintahkan, beliau mungkin justru tidak tahu adanya usulan pasal tersebut. Ketiga, kalaupun pasal itu berhasil menjadi bagian dari KUHP, sangat mungkin tidak berlaku di era Presiden SBY, tetapi yang terlindungi adalah presiden-presiden selanjutnya. Yang pasti, perlu dipahami, mengkritik berbeda dengan menghina, menista, mencaci, memfitnah atau sejenisnya. 

Mengkritik memang harus dijamin di alam yang demokratis, sebagai prasyarat kebebasan berpendapat. Dalam negara yang demokratis, sikap kritis adalah keniscayaan. Lebih jauh, mendengarkan kritik adalah bagian dari tugas wajib bagi setiap pengemban amanat negara. Maka, mengkriminalkan sikap kritis tentu harus ditentang. Kritikan atau sikap kritis tidak dapat, dan tidak boleh dikriminalkan. Namun, mengkritik berbeda dengan menghina. Menghina siapa pun, di manapun, adalah tindak pidana. 

Tidak ada siapa pun yang rela, atau tidak ada siapa pun yang layak dihina-hina, dinistai, dicaci, difitnah—tidak juga seorang kepala negara, presiden, raja, ratu, sultan, perdana menteri, atau pejabat negara apa pun. Kalau kita sendiri tidak ingin dihina-hina, lalu kenapa presiden kita perbolehkan? Bukankah equality before the law itu berarti persamaan di hadapan hukum, persamaan bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi presiden. Dulu, jangankan menghina, menista, mencaci, atau memfitnah presiden; mengkritik saja tidak mudah. 

Pascareformasi, jangankan mengkritik presiden, menghina, menista, mencaci, atau memfitnah presiden justru sangat bebas. Kedua situasi demikian sama-sama tidak sehat. Maka itu, kita harus merumuskan norma yang tegas, tidak membiarkan seorang presiden seenaknya dihina, dinistai, dicaci, atau difitnah—namun bukan pula rumusan norma yang terlalu karet, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pendapat. 

Pasal hatzaai artikelen memang sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2006, pertimbangannya jelas. Utamanya karena Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP itu terlalu karet, sehingga cenderung mematikan kebebasan berpendapat. Dengan demikian, berdasarkan penafsiran a cotrario, jika rumusannya tegas dan jelas, pasal penghinaan presiden masih mungkin untuk diatur kembali dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Meskipun demikian, saya sependapat, bahwa rancangan KUHP sekarang, khususnya pasal 265, memang masih terlalu karet, sehingga selayaknya diperbaiki agar sejalan dengan putusan MK yang melarang norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Di dunia internasional harus diakui pasal penghinaan kepada kepala negara adalah suatu ketentuan yang mengundang kontroversi. Namun, adalah keliru jika berpendapat di negara maju sekalipun pasal penghinaan itu tidak diberlakukan. Di Belanda, sejak tahun 1881 penghinaan ratu atau raja dapat dikenai hukuman. Mengejek kepala negara bisa berbuntut meringkuk di penjara selama lima tahun. Memang, pasal tersebut sempat tidur dan tidak berlaku dalam waktu yang lama sejak tahun 1960-an. 

Namun di awal tahun 2000, pasal tersebut hidup kembali. Pada pertengahan 2007, di Amsterdam seorang terdakwa divonis pengadilan karena menyebut Ratu Beatrix seorang pelacur. Tidak berapa lama setelahnya, seorang wartawan ditangkap karena ia mengenakan kaus dengan tulisan serupa. Kala itu, penghinaan ratu tiba-tiba berubah menjadi prioritas kehakiman Belanda. 

Penindakan terhadap penghinaan ratu yang diberlakukan kembali, memang membuat Belanda menjadi berbeda di wilayah Eropa Barat. Harus diakui kebanyakan negara-negara di sekitar Belanda tidak mengenal pelarangan yang demikian. Namun, Belanda tidaklah sendirian. Spanyol memang merupakan satu dari sedikit negara yang mencabut pasal penghinaan raja dari undang-undang hukum pidana. Namun, pasal tersebut pada pertengahan 2007 nyaris bersamaan dengan pemberlakuan kembali di Belanda, hidup kembali setelah lama dibekukan. 

Kasus yang membangkitkannya adalah penghinaan raja Spanyol halaman muka majalah mingguan El Jueves. Pada halaman depan itu terpampang karikatur yang menggambarkan putra mahkota Felipe dan istrinya, Letizia, sedang berhubungan intim. Hakim Spanyol memutuskan agar majalah tersebut segera menarik 120.000 cetakan dari peredaran sebab ini menghina kehormatan kerajaan. Selain itu, majalah tersebut harus mengungkapkan nama pelukisnya. Sang pelukis itu diancam hukuman penjara dua tahun. 

Di wilayah Asia, misalnya Thailand, hukuman mati masih resmi berlaku terhadap penghinaan raja. Bahkan merobek uang kertas bergambar raja Thailand juga melanggar hukum. Namun bagaimanapun, biasanya sang raja akan memberikan grasi atas hukuman penghinaan demikian. Sedangkan di Jepang, sebagaimana dirujuk oleh putusan MK, penghinaan kepada kaisar diatur sebagai delik aduan. Negara lain yang dirujuk oleh putusan MK terkait penghinaan kepala negara adalah Jerman. 

Di sana kejahatan penghinaan terhadap presiden dikualifikasikan sebagai kejahatan yang membahayakan negara hukum yang demokratis. Ketentuan demikian, menurut dissenting opinion putusan MK, justru untuk melindungi sendi-sendi negara hukum yang demokratis di Jerman. Putusan MK sendiri memang terbelah tajam, lima berbanding empat, menandakan persoalan ini memang isu yang kontroversial. Kembali ke situasi di Indonesia, presiden diberi mandat tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara. 

Soal kepala negara ini penting diungkapkan, karena negara-negara yang mengatur pasal penghinaan, kebanyakan terkait dengan posisi kepala negara. Namun, saya sendiri berpendapat seseorang dalam posisi apa pun sebenarnya tidak layak untuk dihina, dinistai, dicaci, atau difitnah. Pernah saya sampaikan dalam kolom Novum sebelumnya, demokrasi tidak mengharamkan pembatasan. Demokrasi tidak boleh alergi regulasi. Demokrasi surplus regulasi sama berbahayanya dengan demokrasi minus regulasi. 

Demokrasi surplus regulasi menjadi tirani, sebagaimana demokrasi minus regulasi menjadi anarki. Maka pembatasan kepada siapa pun untuk tidak menghina, menista, mencaci, dan memfitnah seorang presiden adalah pembatasan yang biasa saja di negara yang demokratis sekalipun. Sekali lagi, yang penting rumusan normanya jelas, tegas, tidak multitafsir, sehingga justru membahayakan hak menyatakan pendapat yang merupakan urat nadi demokrasi. Ingatlah, demokrasi bukan semata kebebasan, tetapi juga keteraturan. Demokrasi bukan berarti bebas menghina-hina siapa pun, termasuk presiden. 

Karena itu tidak betul jika, “Sekali Merdeka, Merdeka Sekali.” Mari kita rumuskan norma hukum yang menempatkan siapa pun— tidak terkecuali presiden—untuk tidak bebas dihina, dinistai, dicaci, dan difitnah; serta pada saat yang sama, norma tersebut tidak menghambat perbedaan pendapat, kebebasan menyampaikan kritik. Semuanya harus didasari niat untuk terus memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Keep on fighting for the better Indonesia!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar