Kami
dicurigai melahirkan kembali pasal penghinaan presiden atas perintah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Suatu
dugaan yang keliru. Pertama, kami tidak ikut merumuskan rancangan KUHP
ataupun KUHAP. Kedua, Presiden SBY jangankan memerintahkan, beliau
mungkin justru tidak tahu adanya usulan pasal tersebut. Ketiga, kalaupun
pasal itu berhasil menjadi bagian dari KUHP, sangat mungkin tidak berlaku
di era Presiden SBY, tetapi yang terlindungi adalah presiden-presiden
selanjutnya. Yang pasti, perlu dipahami, mengkritik berbeda dengan
menghina, menista, mencaci, memfitnah atau sejenisnya.
Mengkritik
memang harus dijamin di alam yang demokratis, sebagai prasyarat kebebasan
berpendapat. Dalam negara yang demokratis, sikap kritis adalah
keniscayaan. Lebih jauh, mendengarkan kritik adalah bagian dari tugas
wajib bagi setiap pengemban amanat negara. Maka, mengkriminalkan sikap
kritis tentu harus ditentang. Kritikan atau sikap kritis tidak dapat, dan
tidak boleh dikriminalkan. Namun, mengkritik berbeda dengan menghina.
Menghina siapa pun, di manapun, adalah tindak pidana.
Tidak ada
siapa pun yang rela, atau tidak ada siapa pun yang layak dihina-hina,
dinistai, dicaci, difitnah—tidak juga seorang kepala negara, presiden,
raja, ratu, sultan, perdana menteri, atau pejabat negara apa pun. Kalau
kita sendiri tidak ingin dihina-hina, lalu kenapa presiden kita
perbolehkan? Bukankah equality
before the law itu berarti persamaan di hadapan hukum, persamaan bagi
setiap orang, tidak terkecuali bagi presiden. Dulu, jangankan menghina,
menista, mencaci, atau memfitnah presiden; mengkritik saja tidak mudah.
Pascareformasi,
jangankan mengkritik presiden, menghina, menista, mencaci, atau memfitnah
presiden justru sangat bebas. Kedua situasi demikian sama-sama tidak
sehat. Maka itu, kita harus merumuskan norma yang tegas, tidak membiarkan
seorang presiden seenaknya dihina, dinistai, dicaci, atau difitnah—namun
bukan pula rumusan norma yang terlalu karet, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan
menyatakan pendapat.
Pasal hatzaai artikelen memang sudah
pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2006,
pertimbangannya jelas. Utamanya karena Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP
itu terlalu karet, sehingga cenderung mematikan kebebasan berpendapat.
Dengan demikian, berdasarkan penafsiran a cotrario, jika rumusannya tegas dan jelas, pasal penghinaan
presiden masih mungkin untuk diatur kembali dan tidak bertentangan dengan
konstitusi. Meskipun demikian, saya sependapat, bahwa rancangan KUHP
sekarang, khususnya pasal 265, memang masih terlalu karet, sehingga
selayaknya diperbaiki agar sejalan dengan putusan MK yang melarang norma
yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Di dunia
internasional harus diakui pasal penghinaan kepada kepala negara adalah
suatu ketentuan yang mengundang kontroversi. Namun, adalah keliru jika
berpendapat di negara maju sekalipun pasal penghinaan itu tidak
diberlakukan. Di Belanda, sejak tahun 1881 penghinaan ratu atau raja
dapat dikenai hukuman. Mengejek kepala negara bisa berbuntut meringkuk di
penjara selama lima tahun. Memang, pasal tersebut sempat tidur dan tidak
berlaku dalam waktu yang lama sejak tahun 1960-an.
Namun di awal
tahun 2000, pasal tersebut hidup kembali. Pada pertengahan 2007, di
Amsterdam seorang terdakwa divonis pengadilan karena menyebut Ratu
Beatrix seorang pelacur. Tidak berapa lama setelahnya, seorang wartawan
ditangkap karena ia mengenakan kaus dengan tulisan serupa. Kala itu,
penghinaan ratu tiba-tiba berubah menjadi prioritas kehakiman Belanda.
Penindakan
terhadap penghinaan ratu yang diberlakukan kembali, memang membuat
Belanda menjadi berbeda di wilayah Eropa Barat. Harus diakui kebanyakan
negara-negara di sekitar Belanda tidak mengenal pelarangan yang demikian.
Namun, Belanda tidaklah sendirian. Spanyol memang merupakan satu dari
sedikit negara yang mencabut pasal penghinaan raja dari undang-undang
hukum pidana. Namun, pasal tersebut pada pertengahan 2007 nyaris
bersamaan dengan pemberlakuan kembali di Belanda, hidup kembali setelah
lama dibekukan.
Kasus yang
membangkitkannya adalah penghinaan raja Spanyol halaman muka majalah
mingguan El Jueves. Pada halaman depan itu terpampang karikatur yang
menggambarkan putra mahkota Felipe dan istrinya, Letizia, sedang
berhubungan intim. Hakim Spanyol memutuskan agar majalah tersebut segera
menarik 120.000 cetakan dari peredaran sebab ini menghina kehormatan
kerajaan. Selain itu, majalah tersebut harus mengungkapkan nama
pelukisnya. Sang pelukis itu diancam hukuman penjara dua tahun.
Di wilayah
Asia, misalnya Thailand, hukuman mati masih resmi berlaku terhadap
penghinaan raja. Bahkan merobek uang kertas bergambar raja Thailand juga
melanggar hukum. Namun bagaimanapun, biasanya sang raja akan memberikan
grasi atas hukuman penghinaan demikian. Sedangkan di Jepang, sebagaimana
dirujuk oleh putusan MK, penghinaan kepada kaisar diatur sebagai delik
aduan. Negara lain yang dirujuk oleh putusan MK terkait penghinaan kepala
negara adalah Jerman.
Di sana
kejahatan penghinaan terhadap presiden dikualifikasikan sebagai kejahatan
yang membahayakan negara hukum yang demokratis. Ketentuan demikian,
menurut dissenting opinion
putusan MK, justru untuk melindungi sendi-sendi negara hukum yang
demokratis di Jerman. Putusan MK sendiri memang terbelah tajam, lima berbanding empat, menandakan persoalan ini memang isu yang kontroversial. Kembali
ke situasi di Indonesia, presiden diberi mandat tidak hanya sebagai
kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara.
Soal kepala
negara ini penting diungkapkan, karena negara-negara yang mengatur pasal
penghinaan, kebanyakan terkait dengan posisi kepala negara. Namun, saya
sendiri berpendapat seseorang dalam posisi apa pun sebenarnya tidak layak
untuk dihina, dinistai, dicaci, atau difitnah. Pernah saya sampaikan
dalam kolom Novum sebelumnya, demokrasi tidak mengharamkan pembatasan.
Demokrasi tidak boleh alergi regulasi. Demokrasi surplus regulasi sama
berbahayanya dengan demokrasi minus regulasi.
Demokrasi
surplus regulasi menjadi tirani, sebagaimana demokrasi minus regulasi
menjadi anarki. Maka pembatasan kepada siapa pun untuk tidak menghina,
menista, mencaci, dan memfitnah seorang presiden adalah pembatasan yang
biasa saja di negara yang demokratis sekalipun. Sekali lagi, yang penting
rumusan normanya jelas, tegas, tidak multitafsir, sehingga justru
membahayakan hak menyatakan pendapat yang merupakan urat nadi demokrasi.
Ingatlah, demokrasi bukan semata kebebasan, tetapi juga keteraturan.
Demokrasi bukan berarti bebas menghina-hina siapa pun, termasuk presiden.
Karena itu
tidak betul jika, “Sekali Merdeka,
Merdeka Sekali.” Mari kita rumuskan norma hukum yang menempatkan
siapa pun— tidak terkecuali presiden—untuk tidak bebas dihina, dinistai,
dicaci, dan difitnah; serta pada saat yang sama, norma tersebut tidak
menghambat perbedaan pendapat, kebebasan menyampaikan kritik. Semuanya
harus didasari niat untuk terus memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis.
Keep on fighting for the better
Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar