Menjelang
15 tahun usia reformasi menarik untuk mengevaluasi profil TNI.
Akhir-akhir ini pemberitaan tentang TNI didominasi oleh berita buruk
karena ulah prajurit-prajurit TNI AD yang dituduh main hakim sendiri.
Pada 23 Maret
2013 dini hari 11 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari grup II Kartasura
menyerang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan Sleman. Empat tahanan
yang ditahan karena dituduh membunuh sersan satu Kopassus Santoso
beberapa hari sebelumnya diberondong di ruang selnya. Dua minggu
sebelumnya, sekitar 75 anggota TNI Yon Armed 15/76 Martapura Sumsel
mendatangi Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) terkait kasus penembakan
Prajurit Satu Heru Oktavianus oleh anggota Polres OKU, Brigadir Wijaya,
dua bulan sebelumnya.
Sejumlah
prajurit mengamuk dan melukai anggota Polres OKU dan membakar Kantor
Polres OKU. Pada 29 September 2002 terjadi bentrokan tembak-menembak
selama sekitar enam jam antara Bataliyon Lintas Udara 100 Kostrad dan
anggota Kepolisian Resort Langkat dibantu Brigade Mobil Kepolisian Daerah
Sumut yang bermarkas di Binjai Sumut. Apa reaksi publik terkait
penyerangan Kopassus itu? Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar menilai, secara politis kasus itu
teror terhadap publik dan negara.
Menurut
Menkumham Amir Syamsuddin, aksi penyerangan itu keji. Menurut Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat,
penyerangan itu mencerminkan demoralisasi angkatan bersenjata. Mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan, semua
kekerasan itu mencerminkan kepercayaan masyarakat kepada negara kian
menipis. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa
pengakuan anggota Kopassus tersebut tidak pantas disebut kesatria.
Sementara
itu, dukungan terhadap 11 prajurit Kopassus itu melalui media sosial
terus mengalir. Di bawah gerakan “Satu
miliar dukungan untuk 11 anggota Kopassus” di Facebook dalam waktu
tiga hari sejak 4 April 2013 sebanyak 10.544 orang mendukung tindakan
Kopassus yang justru dinilai menghabisi preman.
Reformasi TNI
Apa respons
TNI terhadap gerakan reformasi pascapemerintahan Presiden Soeharto?
Mantan Asisten Teritorial KSAD Mayjen Saurip Kadi (Kompas, 12/1/2001)
mengatakan: “Keberadaan TNI dengan
dwifungsinya telah menjadikan TNI mendominasi hampir semua sektor kehidupan
dan cenderung bertindak berlebihan dalam menjalankan fungsi sosial
politiknya. Dengan day to day politic, TNI akhirnya menempatkan diri
sebagai alat penguasa daripada alat negara. Hal yang terpenting bagaimana
TNI mampu memperbaiki distorsi akibat penyimpangan yang dilakukan pada
masa lalu. Untuk
itu, TNI memerlukan sebuah konsepsi pembaharuan yang meliputi redefinisi,
reaktualisasi, revitalisasi, dan restrukturisasi TNI”.
Amendemen
II UUD 1945 menggariskan landasan konstitusional TNI: “Sebagai alat negara
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara” (Pasal 30). Pasal itu menjadi landasan konstitusional
pengaturan konsep pertahanan dan keamanan berdasar paham demokrasi. TNI
tidak dimungkinkan lagi berfungsi politik dan tidak pernah lagi akan
menjadi backing Presiden RI yang berintensi sebagai penguasa otoriter.
TNI menjadi
penanggung jawab external security.
Polri penanggung jawab internal security. Turunan dari ketentuan
konstitusi itu, lahir UU No 34/2004 tentang TNI, yang menyebut: “TNI dibangun dan dikembangkan secara
profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan
prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia…”. Dari uraian
di atas tersimpul, ibarat tubuh manusia, organ vital TNI—jantung dan
otaknya— sehat.
Tercermin
dari sikap dasar TNI yang perform melaksanakan reformasi dengan
memedomani landasan konstitusional dan yuridis yang ditetapkan. Namun, di
bagian tubuh lain TNI terdapat bisul yakni ulah prajurit-prajurit yang
kadang kala main hakim sendiri. Persoalannya, adakah bisul itu sekadar
bisul karena ketidakdisipilinan anak buah? Atau simtomatik berakar dari
tekanan stres yang menerpa atasan yang merasa kecewa atas ketidakadilan
dalam penyelenggaraan pembaharuan menuju Indonesia yang clean and good governance?
Peringatan Dini
Dalam
pelaksanaan reformasi, fakta-fakta menunjukkan ketidakadilan. Meskipun
ulah prajurit-prajurit TNI AD disoroti dan dikecam karena berkali-kali
main hakim sendiri, tapi dalam reformasi sesuai dengan amanat konstitusi,
TNI siap dan taat sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi,
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
TNI mengakui
supremasi sipil, tidak berpolitik, dan tidak lagi berbisnis.
Jabatanjabatan yang sebelumnya begitu banyak diisi personel TNI kini
hampir semua telah diisi pejabat sipil. Sebaliknya, pelaksanaan reformasi
oleh pemangku kepentingan yang lain berjalan tidak sehat. Legislatif yang
semestinya dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran, melakukan
pengawasan agar sesuai kepentingan rakyat, justru memperdagangkan
otoritasnya untuk kepentingan sendiri dan kelompok. Eksekutif yang
menurut sistem semestinya eksis untuk melayani rakyat justru menempatkan
rakyat sebagai sapi perahan.
Yudikatif
yang menurut sistem semestinya menjadi penyelesai perkara hukum secara
adil justru memperjualbelikan putusan dengan bermitra dengan mafia
peradilan. Penolakan Polri terhadap permintaan Komisi Informasi Pusat
untuk mengungkap rekening gendut milik puluhan petinggi Polri berdasarkan
laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tertanggal
26 Juli 2005 dan 23 Juli 2010. Penolakan Komisaris Jenderal (Purn) Pol
Susno Duadji untuk memenuhi eksekusi Kejaksaan RI terkait putusan MA yang
menghukumnya 3,5 tahun penjara dalam perkara korupsi.
Perkara
dugaan korupsi pengaduan alat simulator SIM Korlantas Mabes Polri dan
tindak pidana pencucian uang dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo
telah menghiasi panggung media massa selama berminggu-minggu. Tiga contoh
tersebut memperkuat temuan Transparency
International Indonesia bahwa lembaga terkorup negeri ini adalah DPR,
parpol, dan kepolisian. Gambaran itu tentu saja bertolak belakang dengan
tugas konstitusional Polri yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum.
Partai
politik semestinya eksis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru
tahun-tahun terakhir media massa sarat dengan berita tentang orang-orang
parpol— di pemerintahan dan parlemen— yang mencuri dan menghisap anggaran
yang tersedia. Pengurus Pusat Partai Demokrat Nazaruddin, Angelina
Sondakh, dan Hartati Murdaya telah divonis penjara. Andi Mallarangeng dan
Anas Urbaningrum menjadi tersangka korupsi Proyek Hambalang. Presiden PKS
Luthfi Hasan Ishaaq ditahan KPK sebagai tersangka suap proyek impor
daging sapi.
Wa Ode
Nurhayati anggota DPR dari PAN divonis enam tahun penjara karena suap
dana penyesuaian infrastruktur daerah. Zulkarnaen Djabar dari Partai
Golkar menjadi tersangka korupsi pengadaan Alquran. Rusli Zainal dari
partai yang sama tersangka suap PON Pekanbaru. Emir Moeis dari PDIP
menjadi tersangka suap proyek PLTU Tarahan Lampung. Sebelumnya, berkat
pengakuan anggota DPR dari PDIP Agus Condro ke KPK (2008), puluhan
anggota Dewan utamanya dari PDIP dan Golkar dipidana penjara karena
menerima suap terkait pemenangan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur
Senior BI.
Tidak
mengherankan, belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, di Era
Reformasi ini, begitu banyak anggota Dewan, kepala daerah, menteri,
jaksa, hakim, dan pimpinan Bank Indonesia dipidana penjara karena
mengorup dana rakyat. Ulah prajurit-prajurit TNI AD seperti yang terjadi
di Langkat, Ogan Komering ULU, dan Lapas Cebongan tidak disanggah sebagai
pelanggaran hukum.
Namun,
operasi terorganisasi mendekati sempurna yang terjadi di Lapas Cebongan
bukan tidak mungkin sebagai peringatan dari petinggi TNI bahwa pasukan
elite Kopassus sangat mampu melakukan operasi sejenis terhadap pemangku
negara di lembaga penyelenggara negara yang performanya menghisap
kekayaan negara untuk kepentingan segelintir elite, seraya menciptakan
kemelaratan rakyat banyak. Kita yakin TNI tetap akan siap dan setia
kepada prinsip supremasi sipil sesuai ketentuan UU TNI.
Namun, hal
itu hanya dapat dijamin jika pejabatpejabat sipil di lembaga parlemen,
pemerintahan, penegak hukum dan parpol bertobat, serta segera kembali ke
fungsi konstitusionalnya masing-masing. Sorotan pers—yang fungsinya
melakukan kontrol dan memberi pencerahan kepada bangsa—sudah cukup banyak
menyoroti performa Kopassus tersebut. Danjen Kopassus Mayjen TNI Agus
Sutono telah menyatakan siap bertanggung jawab atas tindakan 11
anggotanya, sorotan dan kritik yang berkepanjangan dan tidak profesional
justru dapat memanaskan kondisi untuk reperkusi.
Kopassus juga
tahu, tidak ada keadilan dalam penyelenggaraan negara. TNI taat berlatih
tiap hari untuk menjaga kedaulatan negara dari musuh luar negeri.
Sementara negara sedang digerogoti oleh musuh dalam negeri yakni para
koruptor yang nyaris 100% adalah pejabat sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar