Gagasan
yang digulirkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk menyelenggarakan konvensi pemilihan calon presiden Demokrat menarik
untuk disimak.
Gagasan
konvensi tersebut kini mulai direspons partai-partai politik lain. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, telah mengeluarkan pernyataan akan
menyelenggarakan konvensi juga. Adapun Partai Nasional Demokrat (NasDem)
tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan hal yang sama. Ada
sejumlah pertanyaan relevan yang terkait dengan rencana penyelenggaraan
konvensi oleh ketiga partai politik tersebut.
Apakah
sebenarnya target yang ingin diraih oleh partai-partai politik yang
hendak menyelenggarakan konvensi? Benarkah konvensi tersebut dilakukan
dalam rangka mencari sosok calon presiden (capres) yang akan diusung
partai penyelenggara ataukah sekadar sebagai forum penahbisan bagi capres
yang sebenarnya telah mereka kantongi namanya?
Krisis Calon Pemimpin
Dari
pernyataan yang dikeluarkan para petinggi partai penyelenggara konvensi,
yakni Demokrat dan PPP, maksudnya memang tampak berbeda. Demokrat
menegaskan bahwa latar belakang dilaksanakannya konvensi adalah untuk
membuka partisipasi politik yang seluas-luasnya kepada siapa pun untuk
menjadi capres Demokrat. Sementara PPP berdalih bahwa konvensi
dimaksudkan untuk memfasilitasi capres-capres independen yang sampai saat
ini belum diakomodasi dalam Undang-Undang (UU) Pilpres.
Namun, ada
satu benang merah yang dapat ditarik dari alasan penyelenggaraan konvensi,
yaitu bahwa kedua partai tersebut sebenarnya tengah mencari sosok capres
yang tepat untuk berkontestasi pada Pemilu 2014. Dengan kata lain, ada
krisis calon pemimpin yang tengah melanda partai-partai politik. Seperti
diketahui, baik Demokrat maupun PPP sampai saat ini belum menentukan
siapa capres yang akan diusungnya. Sementara banyak partai politik lain
telah lebih dulu melakukannya.
Golkar dengan
Aburizal Bakrie, PAN dengan Hatta Radjasa, Gerindra dengan Prabowo
Subianto, dan Hanura dengan Wiranto. Tentu saja faktor-faktor penyebab
minimnya stok capres di dalam sebuah partai politik berbeda- beda antara
satu dengan yang lain. Pada kasus Demokrat problem utamanya terkait
dengan kasus-kasus korupsi yang melilitnya. Mantan ketua umum partai berlambang
mercy itu, yakni Anas Urbaningrum, pada awalnya digadang- gadang sebagai
capres Demokrat paling potensial.
Tipikal gaya
politiknya hampir sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY):
santun, tidak emosional dan sebagainya, ditambah dengan usianya yang
masih muda. Namun, sayangnya, Anas diduga terlibat dalam kasus korupsi
pembangunan sarana olahraga di Hambalang. Bahkan saat ini Anas telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terlepas dari prokontra proses penetapannya. Sebelumnya Andi
Mallarangeng, mantan Menpora dan kader Demokrat yang juga potensial
sebagai capres, mengalami nasib serupa, bahkan lebih dulu dijadikan
tersangka.
Praktis kedua
kader muda partai berkuasa (the ruling party) tersebut telah kehilangan
kesempatan dan momentum untuk diusung Demokrat menjadi capres. Pada saat
yang sama Demokrat belum memiliki kaderkader lain yang potensial untuk
diusung sebagai capres. Nama Ani Yudhoyono yang notabene istri SBY dan
Pramono Edhi Wibowo yang juga ipar SBY kemudian disebut-sebut sebagai
kader Demokrat yang layak dijadikan capres. Namun, problemnya, relasi
kekeluargaan dengan SBY bisa menjadi batu sandungan karena dianggap
melanggengkan politik dinasti bak kerajaan.
Bukan tidak
mungkin realitas ini akan dijadikan bulan-bulanan serangan politik oleh
rival-rivalnya. Sementara PPP, meskipun tidak dilanda kasus korupsi,
selama ini memang tidak memiliki stok capres yang mampu dijual
(marketable) ke publik. Bahkan ketua umumnya, Suryadharma Ali (SDA),
jarang sekali ada yang menyebutnyebutnya sebagai tokoh yang layak diusung
sebagai capres sekalipun dari kalangan internal. Tokoh-tokoh politik di
kalangan partai-partai Islam pada kenyataannya memang tidak populer di
mata publik, kalah dari tokoh-tokoh partai nasionalis.
Konsistensi
Tidak dapat
dimungkiri bahwa dari perspektif partisipasi politik, penyelenggaraan
konvensi partai politik untuk mencari seorang capres cukup tepat.
Konvensi, bagaimanapun, mampu membuka peluang yang sama kepada siapa pun,
baik dari kalangan internal maupun eksternal partai, untuk berkontestasi
menjadi capres dari partai politik penyelenggara.
Dengan kata
lain, inilah salah satu bentuk pengejawantahan dari partisipasi politik.
Dengan demikian, penyelenggaraan konvensi tentu akan memberikan nilai
positif di mata publik bagi partai politik penyelenggara. Partai Golkar
di bawah pimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung yang notabene partai pertama
penyelenggara konvensi di Indonesia mendapatkan kredit poin yang tinggi
dari publik seusai melaksanakan konvensi.
Terlepas dari
hasilnya yang kurang memuaskan dan tidak ditradisikan oleh
pengurus-pengurus berikutnya, konvensi tersebut menjadi catatan
bersejarah bagi partai beringin. Oleh karena itu, penyelenggaraan
konvensi baik oleh Demokrat maupunpartaipolitik lain harus benar-benar
dilakukan secara konsisten atau sesuai dengan tujuan, yakni mencari
capres secara terbuka dan transparan. Salah satunya harus dibuat
mekanisme atau aturan yang jelas, misalnya siapa pun dapat berkontestasi
untuk menjadi capres. Jangan sampai ada kecenderungan bahwa konvensi
hanya dijadikan sebagai forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya
sudah dipersiapkan.
Tujuannya
tentu untuk memopulerkan capres tersebut. Meskipun begitu, tetap harus
ada kriteria-kriteria yang jelas dan tegas, misalnya terkait dengan rekam
jejak (track record) dari kontestan. Tentu tidak elok kalau ada tokoh
yang sebenarnya punya rekam jejakburuk, misalnya terkait kasus korupsi
atau pelanggaran HAM, dapat lolos sebagai capres dalam konvensi karena memiliki
kekuatan finansial dan jaringan yang kuat. Sebab, inilah yang kemudian
bisa menyebabkan fenomena politik uang (voter buying), padahal politik
uang merupakan hal paling banyak disorot dalam kasus konvensi terdahulu.
Yang tidak
kalah penting juga adalah konsistensi setelah konvensi. Capres yang telah
dihasilkan melalui konvensi yang terbuka dan transparan harus didukung
sepenuhnya oleh partai politik terkait pada saat pencapresan nanti.
Jangan sampai terjadi seperti kasus Golkar di mana Wiranto yang terpilih
ketika itu ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar. Akibatnya,
bukan hanya capres Golkar tersebut mengalami kekalahan yang cukup telak
pada pemilu, tetapi yang lebih parah menjadikan konvensi tidak berguna.
Oleh karena
itu, konvensi capres jika nanti benar-benar dilaksanakan harus
dipersiapkan sematang mungkin, mulai dari mekanisme, aturan hingga bahkan
sanksi, bila diperlukan, jika ada tendensi pelanggaran seperti politik
uang oleh kontestan. Hanya dengan cara seperti itulah konvensi akan
memberikan manfaat bagi partai politik terkait dan pada saat yang sama
memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar