Selasa, 16 April 2013

Menakar Urgensi Konvensi


Menakar Urgensi Konvensi
Iding R Hasan   Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute 
KORAN SINDO, 16 April 2013

  
Gagasan yang digulirkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelenggarakan konvensi pemilihan calon presiden Demokrat menarik untuk disimak. 

Gagasan konvensi tersebut kini mulai direspons partai-partai politik lain. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, telah mengeluarkan pernyataan akan menyelenggarakan konvensi juga. Adapun Partai Nasional Demokrat (NasDem) tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan hal yang sama. Ada sejumlah pertanyaan relevan yang terkait dengan rencana penyelenggaraan konvensi oleh ketiga partai politik tersebut. 

Apakah sebenarnya target yang ingin diraih oleh partai-partai politik yang hendak menyelenggarakan konvensi? Benarkah konvensi tersebut dilakukan dalam rangka mencari sosok calon presiden (capres) yang akan diusung partai penyelenggara ataukah sekadar sebagai forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya telah mereka kantongi namanya? 

Krisis Calon Pemimpin 

Dari pernyataan yang dikeluarkan para petinggi partai penyelenggara konvensi, yakni Demokrat dan PPP, maksudnya memang tampak berbeda. Demokrat menegaskan bahwa latar belakang dilaksanakannya konvensi adalah untuk membuka partisipasi politik yang seluas-luasnya kepada siapa pun untuk menjadi capres Demokrat. Sementara PPP berdalih bahwa konvensi dimaksudkan untuk memfasilitasi capres-capres independen yang sampai saat ini belum diakomodasi dalam Undang-Undang (UU) Pilpres. 

Namun, ada satu benang merah yang dapat ditarik dari alasan penyelenggaraan konvensi, yaitu bahwa kedua partai tersebut sebenarnya tengah mencari sosok capres yang tepat untuk berkontestasi pada Pemilu 2014. Dengan kata lain, ada krisis calon pemimpin yang tengah melanda partai-partai politik. Seperti diketahui, baik Demokrat maupun PPP sampai saat ini belum menentukan siapa capres yang akan diusungnya. Sementara banyak partai politik lain telah lebih dulu melakukannya. 

Golkar dengan Aburizal Bakrie, PAN dengan Hatta Radjasa, Gerindra dengan Prabowo Subianto, dan Hanura dengan Wiranto. Tentu saja faktor-faktor penyebab minimnya stok capres di dalam sebuah partai politik berbeda- beda antara satu dengan yang lain. Pada kasus Demokrat problem utamanya terkait dengan kasus-kasus korupsi yang melilitnya. Mantan ketua umum partai berlambang mercy itu, yakni Anas Urbaningrum, pada awalnya digadang- gadang sebagai capres Demokrat paling potensial. 

Tipikal gaya politiknya hampir sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): santun, tidak emosional dan sebagainya, ditambah dengan usianya yang masih muda. Namun, sayangnya, Anas diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Hambalang. Bahkan saat ini Anas telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlepas dari prokontra proses penetapannya. Sebelumnya Andi Mallarangeng, mantan Menpora dan kader Demokrat yang juga potensial sebagai capres, mengalami nasib serupa, bahkan lebih dulu dijadikan tersangka. 

Praktis kedua kader muda partai berkuasa (the ruling party) tersebut telah kehilangan kesempatan dan momentum untuk diusung Demokrat menjadi capres. Pada saat yang sama Demokrat belum memiliki kaderkader lain yang potensial untuk diusung sebagai capres. Nama Ani Yudhoyono yang notabene istri SBY dan Pramono Edhi Wibowo yang juga ipar SBY kemudian disebut-sebut sebagai kader Demokrat yang layak dijadikan capres. Namun, problemnya, relasi kekeluargaan dengan SBY bisa menjadi batu sandungan karena dianggap melanggengkan politik dinasti bak kerajaan. 

Bukan tidak mungkin realitas ini akan dijadikan bulan-bulanan serangan politik oleh rival-rivalnya. Sementara PPP, meskipun tidak dilanda kasus korupsi, selama ini memang tidak memiliki stok capres yang mampu dijual (marketable) ke publik. Bahkan ketua umumnya, Suryadharma Ali (SDA), jarang sekali ada yang menyebutnyebutnya sebagai tokoh yang layak diusung sebagai capres sekalipun dari kalangan internal. Tokoh-tokoh politik di kalangan partai-partai Islam pada kenyataannya memang tidak populer di mata publik, kalah dari tokoh-tokoh partai nasionalis.

Konsistensi 

Tidak dapat dimungkiri bahwa dari perspektif partisipasi politik, penyelenggaraan konvensi partai politik untuk mencari seorang capres cukup tepat. Konvensi, bagaimanapun, mampu membuka peluang yang sama kepada siapa pun, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai, untuk berkontestasi menjadi capres dari partai politik penyelenggara. 

Dengan kata lain, inilah salah satu bentuk pengejawantahan dari partisipasi politik. Dengan demikian, penyelenggaraan konvensi tentu akan memberikan nilai positif di mata publik bagi partai politik penyelenggara. Partai Golkar di bawah pimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung yang notabene partai pertama penyelenggara konvensi di Indonesia mendapatkan kredit poin yang tinggi dari publik seusai melaksanakan konvensi. 

Terlepas dari hasilnya yang kurang memuaskan dan tidak ditradisikan oleh pengurus-pengurus berikutnya, konvensi tersebut menjadi catatan bersejarah bagi partai beringin. Oleh karena itu, penyelenggaraan konvensi baik oleh Demokrat maupunpartaipolitik lain harus benar-benar dilakukan secara konsisten atau sesuai dengan tujuan, yakni mencari capres secara terbuka dan transparan. Salah satunya harus dibuat mekanisme atau aturan yang jelas, misalnya siapa pun dapat berkontestasi untuk menjadi capres. Jangan sampai ada kecenderungan bahwa konvensi hanya dijadikan sebagai forum penahbisan bagi capres yang sebenarnya sudah dipersiapkan. 

Tujuannya tentu untuk memopulerkan capres tersebut. Meskipun begitu, tetap harus ada kriteria-kriteria yang jelas dan tegas, misalnya terkait dengan rekam jejak (track record) dari kontestan. Tentu tidak elok kalau ada tokoh yang sebenarnya punya rekam jejakburuk, misalnya terkait kasus korupsi atau pelanggaran HAM, dapat lolos sebagai capres dalam konvensi karena memiliki kekuatan finansial dan jaringan yang kuat. Sebab, inilah yang kemudian bisa menyebabkan fenomena politik uang (voter buying), padahal politik uang merupakan hal paling banyak disorot dalam kasus konvensi terdahulu. 

Yang tidak kalah penting juga adalah konsistensi setelah konvensi. Capres yang telah dihasilkan melalui konvensi yang terbuka dan transparan harus didukung sepenuhnya oleh partai politik terkait pada saat pencapresan nanti. Jangan sampai terjadi seperti kasus Golkar di mana Wiranto yang terpilih ketika itu ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar. Akibatnya, bukan hanya capres Golkar tersebut mengalami kekalahan yang cukup telak pada pemilu, tetapi yang lebih parah menjadikan konvensi tidak berguna. 

Oleh karena itu, konvensi capres jika nanti benar-benar dilaksanakan harus dipersiapkan sematang mungkin, mulai dari mekanisme, aturan hingga bahkan sanksi, bila diperlukan, jika ada tendensi pelanggaran seperti politik uang oleh kontestan. Hanya dengan cara seperti itulah konvensi akan memberikan manfaat bagi partai politik terkait dan pada saat yang sama memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar