Selasa, 23 April 2013

Mengingat Kembali Gerakan Seni Rupa


Mengingat Kembali Gerakan Seni Rupa
Hendro Wiyanto  Pengamat Seni Rupa
KOMPAS, 21 April 2013

  
Setelah melewati kurun sekitar empat dasawarsa, generasi 1970-an dalam kancah seni rupa kita belum sungguh-sungguh berlalu. Lihatlah, beberapa eksponennya yang sudah merawat uban di kepala masih giat berkarya sampai kini.

Sebagian besar dari generasi itu sudah undur diri, sedangkan yang tersisa kerap merasa sebagai penumpang yang tertinggal di belakang laju kereta. Seminar Nasional Sejarah Seni Rupa bertajuk ”Gerakan-Gerakan Seni Rupa pada Masa Orde Baru Era 1970-1980-an” di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (20-21 Maret 2013), mencoba mengingat kembali visi gerakan-gerakan itu. Acara ini diadakan oleh Program Studi Seni Rupa ITB dan Galeri Soemardja, berhasil mengundang sejumlah seniman pelaku untuk menghadirkan testimoni seraya menghela pandangan-pandangan mereka melalui perspektif kekinian.

Para perupa di masa itu mencirikan diri dan identitas kekaryaan mereka dengan ”gerakan”, seperti tampak pada kecenderungan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI; 1975-1979). Di antara tahun-tahun itu, sejumlah seniman muda di Yogyakarta membentuk grup ”Pipa” (”Kepribadian Apa”; 1977-1979). ”Gerakan” adalah istilah yang digunakan oleh panitia seminar untuk mengidentifikasi kecenderungan di sekitar masa itu, mencakup misalnya kecenderungan praktik seni baru dan pemberontakan yang dijuluki ”seni rupa penyadaran” dan ”seni pembebasan”. Secara khas, sebuah gerakan lazimnya dapat ditengarai melalui letupan manifesto yang menginspirasi (tindakan) kita di sekitar ide-ide perubahan, penyempalan, pembelokan, bahkan agitasi atau penyerangan pada pihak tertentu. Kata Renato Poggioli (1968), ada sesuatu yang sungguh imanen pada gerakan-gerakan pembaruan seni rupa semacam itu, yakni sebuah kerja rasional untuk menumbangkan suatu tradisi, kaum master, akademi atau bentuk-bentuk mapan dan kolektif lain yang menubuh di dalam masyarakat.

Melalui agitasi gerakan, kita tahu pihak yang diposisikan sebagai lawan: adat seni rupa modern atau fine art yang berlaku secara dominan pada akademi-akademi seni rupa, baik di Yogyakarta maupun di Bandung. Pada era 70-an di Yogyakarta, secara ganjil tradisi otonom seni itu justru memperoleh pembenaran melalui paham politik identitas yang lazim disebut ”kepribadian nasional”.

Pada kutub yang lain, melalui arus pencarian kemodernan yang cenderung bersimpang jalan dengan mazhab kerakyatan dan kenasionalan gaya Yogyakarta, praktik itu memperoleh julukan yang berbeda di Bandung: ”laboratorium Barat”. Istilah yang terakhir itu mengekspresikan kegalauan dan kemarahan almarhum Trisno Sumardjo (1954) terhadap lukisan-lukisan seniman Bandung yang absen menampilkan keberpihakan pada masyarakat, kecuali mengadopsi satu-dua gaya modern yang dianggapnya pucat atau steril.

Menjelang 1960-an, kita pun teringat akan kritik tajam almarhum Rendra yang menyasar lukisan-lukisan yang mengikut kanon kaum modernis Barat yang dicirikan utamanya oleh bidang datar lukisan: pelukis-pelukis ”modern” di Bandung itu sesungguhnya tidak melukis, mereka cuma ”membuat lukisan”. Kritik tajam itu ditujukan misalnya pada lukisan-lukisan almarhum G Sidharta yang baru saja menginjakkan kaki di Tanah Air, sepulang dari ”Barat”.

Kebaruan

Tetapi apa yang sungguh-sungguh baru pada gerakan-gerakan (semacam) itu? Ditilik dari bentuk-bentuk kebaruan yang muncul di Barat, misalnya kecenderungan itu tentunya tak tampak sebagai sesuatu yang baru. Relasi antara bentuk-bentuk protes, advokasi sosial, komitmen politik dan praktik seni rupa bisa kita temukan dalam perkembangan seni rupa di Barat sejak awal abad lalu: seni realisme sosial di Eropa (Barat) ataupun pandangan realisme sosialis di Soviet.

Di masa silam, seni sudah berfungsi sebagai cermin, bertindak seperti palu, berguna layaknya perabot, atau sebuah pencarian yang menyuruk ke dalam diri sendiri. Tetapi ada jenis seni yang lain, yang berbicara mengenai kekuatan tautan dan meneguhkan ikatan-ikatan (sosial), yakni seni rupa yang niscaya mengingatkan kita pada relasi dengan yang lain, ujar Suzi Gablik (1991). Setelah krisis seni modern, suara seperti ini adalah upaya untuk menemukan kembali pesona yang hilang dalam seni rupa di masa pasca-Cartesian.

Yang tampak baru pada gerakan-gerakan seni rupa di Indonesia itu sesungguhnya adalah tumbuhnya kesadaran untuk mengatakan bahwa seni rupa (baru) itu membawa problem aktual keindonesiaan, yang terus-menerus merupakan sebuah upaya konstruksi dan identifikasi (sosial). Menerima pandangan ini adalah menyangkal kepercayaan akan semacam misteri atau keesensialan mengenai identitas keindonesiaan yang dianggap terberi secara apriori. Dengan kata lain, soalnya adalah ”identifikasi”, bukan ”identitas”. Identifikasi adalah sebuah konstruksi, proses yang tak pernah paripurna, bersifat kondisional atau bersyarat, dan niscaya berada dalam tegangan perubahan terus-menerus (contingency), tulis Stuart Hall (1996). Melalui kelenturan proses mengidentifikasi dan bukan menancapkan identitas keindonesiaan itulah para seniman muda (di masa itu mereka semua masih berstatus sebagai mahasiswa) muncul ke gelanggang seni rupa Indonesia di masa 1970-an itu.

Yang tak kurang pentingnya untuk dicatat adalah proto GSRBI, yakni peristiwa ”Desember Hitam” (1974) yang melontarkan protes terhadap keputusan juri yang memenangi para master pada Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di Jakarta, 1974. ”Black December” ini pecah di tahun yang sama dengan Peristiwa Malari, 15 Januari 1974 (akronim yang boleh jadi disengaja, berasosiasi dengan penyakit ”malaria”).

Gerakan-gerakan seni rupa pada dekade 1970-an itu pun tercatat tampil di tengah relasi yang menegangkan antara seni, kehidupan intelektual dan politik: mobilisasi seniman dan cendekiawan oleh Partai Golkar demi ”kebulatan tekad” menyukseskan Pemilu (1977), pelemparan bom amoniak ke panggung pembacaan puisi ”Pamflet Penyair”-nya Rendra di Taman Ismail Marzuki (1978), Jakarta, pembubaran Dewan Mahasiswa sekaligus berlakunya konsep NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) oleh Menteri Daoed Joesoef (1978-1983) dan dipenjarakannya sejumlah aktivis di Jakarta dan Yogyakarta di sekitar tahun-tahun itu (Ashadi Siregar, 2007).

Perupa Muda

Hemat saya, gerombolan perupa muda yang tergabung pada ”Pipa” merumuskan dengan lebih tajam problem identitas itu ketimbang gerakan yang mengusung nama ”baru”. Dengan mengusung isu kritikal anti-kepribadian nasional, agaknya para seniman itu ingin menyatakan setidaknya dua hal. Pertama, ”apalah kepribadian (Indonesia) itu”, dan kedua soal ”menjadi Indonesia”. Dengan kata lain, menjadi Indonesia tak lain adalah selalu berarti sebuah proses untuk mengindonesia, dan upaya semacam itu tak mungkin dibekukan dalam sebuah praktik atau didikte melalui pandangan budaya yang esensialistis. Di masa rezim Orde Baru itulah, seperti pernah dituliskan oleh Ignas Kleden (1988), sebenarnya apa yang disebut sebagai ”budaya politik” tak lain adalah juga strategi bagi beroperasinya ”politik budaya”. Orde itu mau serba mengatur bagaimana kebudayaan (nasional) harus dirumuskan menurut cita-cita politik mereka yang berkuasa.

Kita sekarang mengingat warisan-warisan bermakna dari seni rupa di era itu, antara lain karya Harsono yang sangat politis, ”Paling Top 75”: sebuah senapan mainan yang dikurung dalam kerangkeng berjeruji mirip kandang hewan. Harsono menggubah komentar sangat sinikal perihal kecenderungan militerisasi di semua segi kehidupan yang dilandasi oleh paham mengenai dwifungsi ABRI. Karya Jim Supangkat, ”Ken Dedes”, mengejek identitas palsu kita antara budaya adiluhung permuseuman dan permesuman.

Ekspresi kebudayaan kontemporer kita tampaknya bukan lagi soal pengaruh ”garis belakang”, seperti sering diungkapkan oleh seorang sosiolog terkemuka kita, melainkan justru representasi ”garis depan”. Apa yang bermakna sebagai ”yang politis” kalau bukan upaya kritis untuk menyingkapkan apa yang selama ini tersisih- kan dari penglihatan dan sensibilitas kita?

Maka, kini kita mengingat, sungguh-sungguh ada sejumput tahi manusia di ruang pameran grup ”Pipa” di Art Gallery Senisono, Yogyakarta (1979). Pada seminar pekan lalu di Bandung itu, Bonyong Munniardhi, 67 tahun, masih mampu mengenang performance seorang seniman yang mempersembahkan sebuah bingkisan berisi seonggok tahi anjing kepada para polisi yang bersikeras menutup pameran grup seniman muda ini. Sebuah pameran tidak lagi mengandalkan tokoh selebritas, kolektor atau pejabat top yang membukanya seperti kita saksikan di masa kini, tetapi yang lebih penting adalah oknum yang menutupnya, ujar Ronald Manulang.

Pameran seni rupa adalah sebuah parodi tajam terhadap peristiwa itu sendiri karena otonomi dan legitimasi seni sudah sepenuhnya berpindah ke kantor polisi. Begitulah, dalam hal pisuhan atau mengungkapkan ujaran-ujaran kotor, pemberontakan seni rupa generasi 1970-an dapat kita katakan lebih ”maju” ketimbang karya sastra dan teater modern kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar