Setelah melewati kurun sekitar empat dasawarsa, generasi 1970-an
dalam kancah seni rupa kita belum sungguh-sungguh berlalu. Lihatlah,
beberapa eksponennya yang sudah merawat uban di kepala masih giat
berkarya sampai kini.
Sebagian besar dari generasi itu sudah undur diri, sedangkan
yang tersisa kerap merasa sebagai penumpang yang tertinggal di belakang
laju kereta. Seminar Nasional Sejarah Seni Rupa bertajuk ”Gerakan-Gerakan Seni Rupa pada Masa
Orde Baru Era 1970-1980-an” di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut
Teknologi Bandung (20-21 Maret 2013), mencoba mengingat kembali visi
gerakan-gerakan itu. Acara ini diadakan oleh Program Studi Seni Rupa ITB
dan Galeri Soemardja, berhasil mengundang sejumlah seniman pelaku untuk
menghadirkan testimoni seraya menghela pandangan-pandangan mereka melalui
perspektif kekinian.
Para perupa di masa itu mencirikan diri dan identitas kekaryaan
mereka dengan ”gerakan”, seperti tampak pada kecenderungan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
(GSRBI; 1975-1979). Di antara tahun-tahun itu, sejumlah seniman muda di
Yogyakarta membentuk grup ”Pipa” (”Kepribadian Apa”; 1977-1979).
”Gerakan” adalah istilah yang digunakan oleh panitia seminar untuk
mengidentifikasi kecenderungan di sekitar masa itu, mencakup misalnya
kecenderungan praktik seni baru dan pemberontakan yang dijuluki ”seni
rupa penyadaran” dan ”seni pembebasan”. Secara khas, sebuah gerakan
lazimnya dapat ditengarai melalui letupan manifesto yang menginspirasi
(tindakan) kita di sekitar ide-ide perubahan, penyempalan, pembelokan,
bahkan agitasi atau penyerangan pada pihak tertentu. Kata Renato Poggioli
(1968), ada sesuatu yang sungguh imanen pada gerakan-gerakan pembaruan
seni rupa semacam itu, yakni sebuah kerja rasional untuk menumbangkan suatu
tradisi, kaum master, akademi atau bentuk-bentuk mapan dan kolektif lain
yang menubuh di dalam masyarakat.
Melalui agitasi gerakan, kita tahu pihak yang diposisikan sebagai
lawan: adat seni rupa modern atau fine
art yang berlaku secara dominan pada akademi-akademi seni rupa, baik
di Yogyakarta maupun di Bandung. Pada era 70-an di Yogyakarta, secara
ganjil tradisi otonom seni itu justru memperoleh pembenaran melalui paham
politik identitas yang lazim disebut ”kepribadian
nasional”.
Pada kutub yang lain, melalui arus pencarian kemodernan yang
cenderung bersimpang jalan dengan mazhab kerakyatan dan kenasionalan gaya
Yogyakarta, praktik itu memperoleh julukan yang berbeda di Bandung: ”laboratorium Barat”. Istilah yang
terakhir itu mengekspresikan kegalauan dan kemarahan almarhum Trisno
Sumardjo (1954) terhadap lukisan-lukisan seniman Bandung yang absen
menampilkan keberpihakan pada masyarakat, kecuali mengadopsi satu-dua
gaya modern yang dianggapnya pucat atau steril.
Menjelang 1960-an, kita pun teringat akan kritik tajam almarhum
Rendra yang menyasar lukisan-lukisan yang mengikut kanon kaum modernis
Barat yang dicirikan utamanya oleh bidang datar lukisan: pelukis-pelukis
”modern” di Bandung itu sesungguhnya tidak melukis, mereka cuma ”membuat
lukisan”. Kritik tajam itu ditujukan misalnya pada lukisan-lukisan
almarhum G Sidharta yang baru saja menginjakkan kaki di Tanah Air,
sepulang dari ”Barat”.
Kebaruan
Tetapi apa yang sungguh-sungguh baru pada gerakan-gerakan (semacam)
itu? Ditilik dari bentuk-bentuk kebaruan yang muncul di Barat, misalnya
kecenderungan itu tentunya tak tampak sebagai sesuatu yang baru. Relasi
antara bentuk-bentuk protes, advokasi sosial, komitmen politik dan
praktik seni rupa bisa kita temukan dalam perkembangan seni rupa di Barat
sejak awal abad lalu: seni realisme sosial di Eropa (Barat) ataupun
pandangan realisme sosialis di Soviet.
Di masa silam, seni sudah berfungsi sebagai cermin, bertindak
seperti palu, berguna layaknya perabot, atau sebuah pencarian yang
menyuruk ke dalam diri sendiri. Tetapi ada jenis seni yang lain,
yang berbicara mengenai kekuatan tautan dan meneguhkan ikatan-ikatan
(sosial), yakni seni rupa yang niscaya mengingatkan kita pada relasi
dengan yang lain, ujar Suzi Gablik (1991). Setelah krisis seni
modern, suara seperti ini adalah upaya untuk menemukan kembali pesona
yang hilang dalam seni rupa di masa pasca-Cartesian.
Yang tampak baru pada gerakan-gerakan seni rupa di Indonesia itu
sesungguhnya adalah tumbuhnya kesadaran untuk mengatakan bahwa seni rupa
(baru) itu membawa problem aktual keindonesiaan, yang terus-menerus
merupakan sebuah upaya konstruksi dan identifikasi (sosial). Menerima
pandangan ini adalah menyangkal kepercayaan akan semacam misteri atau
keesensialan mengenai identitas keindonesiaan yang dianggap terberi
secara apriori. Dengan kata lain, soalnya adalah ”identifikasi”, bukan
”identitas”. Identifikasi adalah sebuah konstruksi, proses yang tak
pernah paripurna, bersifat kondisional atau bersyarat, dan niscaya berada
dalam tegangan perubahan terus-menerus (contingency), tulis Stuart Hall (1996). Melalui kelenturan
proses mengidentifikasi dan bukan menancapkan identitas keindonesiaan
itulah para seniman muda (di masa itu mereka semua masih berstatus
sebagai mahasiswa) muncul ke gelanggang seni rupa Indonesia di masa
1970-an itu.
Yang tak kurang pentingnya untuk dicatat adalah proto GSRBI, yakni
peristiwa ”Desember Hitam” (1974) yang melontarkan protes terhadap
keputusan juri yang memenangi para master pada Pameran Besar Seni Lukis
Indonesia di Jakarta, 1974. ”Black December” ini pecah di tahun yang sama
dengan Peristiwa Malari, 15 Januari 1974 (akronim yang boleh jadi
disengaja, berasosiasi dengan penyakit ”malaria”).
Gerakan-gerakan seni rupa pada dekade 1970-an itu pun tercatat
tampil di tengah relasi yang menegangkan antara seni, kehidupan
intelektual dan politik: mobilisasi seniman dan cendekiawan oleh Partai
Golkar demi ”kebulatan tekad” menyukseskan Pemilu (1977), pelemparan bom
amoniak ke panggung pembacaan puisi ”Pamflet Penyair”-nya Rendra di Taman
Ismail Marzuki (1978), Jakarta, pembubaran Dewan Mahasiswa sekaligus
berlakunya konsep NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) oleh Menteri Daoed
Joesoef (1978-1983) dan dipenjarakannya sejumlah aktivis di Jakarta dan
Yogyakarta di sekitar tahun-tahun itu (Ashadi Siregar, 2007).
Perupa Muda
Hemat saya, gerombolan perupa muda yang tergabung pada ”Pipa”
merumuskan dengan lebih tajam problem identitas itu ketimbang gerakan
yang mengusung nama ”baru”. Dengan mengusung isu kritikal
anti-kepribadian nasional, agaknya para seniman itu ingin menyatakan
setidaknya dua hal. Pertama, ”apalah kepribadian (Indonesia) itu”, dan
kedua soal ”menjadi Indonesia”. Dengan kata lain, menjadi Indonesia tak
lain adalah selalu berarti sebuah proses untuk mengindonesia, dan upaya
semacam itu tak mungkin dibekukan dalam sebuah praktik atau didikte
melalui pandangan budaya yang esensialistis. Di masa rezim Orde Baru
itulah, seperti pernah dituliskan oleh Ignas Kleden (1988), sebenarnya
apa yang disebut sebagai ”budaya politik” tak lain adalah juga strategi
bagi beroperasinya ”politik budaya”. Orde itu mau serba mengatur
bagaimana kebudayaan (nasional) harus dirumuskan menurut cita-cita
politik mereka yang berkuasa.
Kita sekarang mengingat warisan-warisan bermakna dari seni rupa di
era itu, antara lain karya Harsono yang sangat politis, ”Paling Top 75”: sebuah senapan
mainan yang dikurung dalam kerangkeng berjeruji mirip kandang hewan.
Harsono menggubah komentar sangat sinikal perihal kecenderungan
militerisasi di semua segi kehidupan yang dilandasi oleh paham mengenai
dwifungsi ABRI. Karya Jim Supangkat, ”Ken Dedes”, mengejek identitas
palsu kita antara budaya adiluhung
permuseuman dan permesuman.
Ekspresi kebudayaan kontemporer kita tampaknya bukan lagi soal
pengaruh ”garis belakang”, seperti sering diungkapkan oleh seorang
sosiolog terkemuka kita, melainkan justru representasi ”garis
depan”. Apa yang bermakna sebagai ”yang politis” kalau bukan upaya
kritis untuk menyingkapkan apa yang selama ini tersisih- kan dari
penglihatan dan sensibilitas kita?
Maka, kini kita mengingat, sungguh-sungguh ada sejumput tahi
manusia di ruang pameran grup ”Pipa” di Art Gallery Senisono, Yogyakarta
(1979). Pada seminar pekan lalu di Bandung itu, Bonyong Munniardhi, 67
tahun, masih mampu mengenang performance
seorang seniman yang mempersembahkan sebuah bingkisan berisi seonggok
tahi anjing kepada para polisi yang bersikeras menutup pameran grup
seniman muda ini. Sebuah pameran tidak lagi mengandalkan tokoh
selebritas, kolektor atau pejabat top yang membukanya seperti kita
saksikan di masa kini, tetapi yang lebih penting adalah oknum yang
menutupnya, ujar Ronald Manulang.
Pameran seni rupa adalah sebuah parodi tajam terhadap peristiwa itu
sendiri karena otonomi dan legitimasi seni sudah sepenuhnya berpindah ke
kantor polisi. Begitulah, dalam hal pisuhan
atau mengungkapkan ujaran-ujaran kotor, pemberontakan seni rupa generasi
1970-an dapat kita katakan lebih ”maju” ketimbang karya sastra dan teater
modern kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar