Saya mungkin salah seorang
yang tidak terkejut saat mengetahui defisit transaksi berjalan menjadi
negatif dan cadangan devisa pada kuartal satu 2013 menurun menjadi 104,8
miliar dolar AS. Saya pun tidak berbangga jika prediksi tentang
perekonomian Indonesia yang melahirkan banyak konflik sosial, ketimpangan
dan kemiskinan harkat martabat menjadi kenyataan. Sebaliknya, saya heran
menyaksikan betapa hebatnya pujian buat "prestasi" ekonomi
Indonesia pada panggung diplomasi di satu sisi.
Pemimpin Indonesia disebut lame duck (The Economist edisi 25 Februari 2012) dan limp (The Economist edisi 23
Februari 2013). Yang menarik, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan
ekonomi kelima terbesar pada 2030 di tengah struktur ekspor Indonesia
yang mengandalkan bahan mentah--yang berarti tidak berubah sejak era
penjajahan VOC, dan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor
barang modal, bahan baku dan impor bahan bakar minyak (BBM).
Jika cadangan devisa masih
cukup untuk impor selama 5,7 bulan dan bayar utang luar negeri, hal itu
disebabkan investasi portofolio cukup deras memburu SBN. Ini pun
dipandang sebagian besar ekonom sebagai prestasi. Tentu saja para pemilik
modal berburu global medium term note (SBN berdenominasi dolar AS) karena
imbal hasilnya 3,375 persen di saat Fed Rate tetap bertengger 0,25
persen, bunga Bank of Japan 0,1 persen, dan bunga ECB juga mendekati 1
persen.
Bahkan Indonesia pada 2009
pernah menjual surat utangnya dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor
5 tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Tentu saja para pemodal di
negeri Paman Sam tergiur. Lalu, atas nama net oil importer, pemerintah
menyatakan subsidi BBM salah sasaran, dan karenanya harga eceran perlu
dinaikkan agar defisit APBN tidak membesar dan tekanan fiskal bisa
dikurangi.
Persoalan di atas tentu
tidak sederhana dan sulit diatasi untuk jangka pendek. Yang pasti, impor
barang modal, bahan baku industri, dan BBM serta struktur ekspor yang
didominasi barang mentah, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai
6,5 persen pada 2011 dan 6,2 persen (tahun 2012) sebagai pertumbuhan semu.
Pertama, yang mengekspor
adalah swasta (asing dan domestik) dan menempatkan devisa hasil ekspornya
di luar negeri. Kedua, impornya adalah bahan baku industri, barang modal,
dan BBM yang mengakibatkan transaksi berjalan berpotensi defisit. Ketiga,
transaksi modal dan finansial yang membesar membuktikan bahwa Indonesia
hanya dijadikan tempat tumbuh yang buahnya diambil oleh investor (asing).
Keempat, liberalisasi
investasi dan perdagangan serta keuangan mengakibatkan nilai tukar rupiah
mudah sekali berfluktuasi sehingga mudah mendorong inflasi. Kelima, makin
besar kita bayar utang luar negeri (ULN), makin besar pula jumlah utang.
Inilah jebakan ULN karena dengan ULN bangsa Indonesia makin dalam
terjajah.
Alhasil, barang-barang impor
dan gejolak nilai tukar berbuah inflasi dan inflasi sendiri adalah
senjata yang siap menghunus debitur ULN. Sisi lain benar bahwa kelas
menengah kini mencapai 56,6 persen dari jumlah penduduk meski dengan
posisi ketahanan ekonomi yang lemah.
Lihat saja, impor cabai,
bawang, daging sapi, garam, ikan, beras, gula dan barang konsumsi
lainnya. Ini berarti pasar domestik yang besar bukan dipasok produsen
domestik. Saat yang sama, pemerintah bermain semantik menyesatkan dengan
menyebut TKI adalah pahlawan devisa di saat penduduk negara yang
mempekerjakan TKI menyebut Indonesia sebagai negara eksportir pembantu.
Inilah prestasi semu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar