Selasa, 23 April 2013

Prestasi Ekonomi Semu


Prestasi Ekonomi Semu
Ichsanuddin Noorsy  Direktur Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik (LPKP) 
SUARA KARYA, 22 April 2013


Saya mungkin salah seorang yang tidak terkejut saat mengetahui defisit transaksi berjalan menjadi negatif dan cadangan devisa pada kuartal satu 2013 menurun menjadi 104,8 miliar dolar AS. Saya pun tidak berbangga jika prediksi tentang perekonomian Indonesia yang melahirkan banyak konflik sosial, ketimpangan dan kemiskinan harkat martabat menjadi kenyataan. Sebaliknya, saya heran menyaksikan betapa hebatnya pujian buat "prestasi" ekonomi Indonesia pada panggung diplomasi di satu sisi.

Pemimpin Indonesia disebut lame duck (The Economist edisi 25 Februari 2012) dan limp (The Economist edisi 23 Februari 2013). Yang menarik, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi kelima terbesar pada 2030 di tengah struktur ekspor Indonesia yang mengandalkan bahan mentah--yang berarti tidak berubah sejak era penjajahan VOC, dan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor barang modal, bahan baku dan impor bahan bakar minyak (BBM).

Jika cadangan devisa masih cukup untuk impor selama 5,7 bulan dan bayar utang luar negeri, hal itu disebabkan investasi portofolio cukup deras memburu SBN. Ini pun dipandang sebagian besar ekonom sebagai prestasi. Tentu saja para pemilik modal berburu global medium term note (SBN berdenominasi dolar AS) karena imbal hasilnya 3,375 persen di saat Fed Rate tetap bertengger 0,25 persen, bunga Bank of Japan 0,1 persen, dan bunga ECB juga mendekati 1 persen.

Bahkan Indonesia pada 2009 pernah menjual surat utangnya dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor 5 tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Tentu saja para pemodal di negeri Paman Sam tergiur. Lalu, atas nama net oil importer, pemerintah menyatakan subsidi BBM salah sasaran, dan karenanya harga eceran perlu dinaikkan agar defisit APBN tidak membesar dan tekanan fiskal bisa dikurangi.

Persoalan di atas tentu tidak sederhana dan sulit diatasi untuk jangka pendek. Yang pasti, impor barang modal, bahan baku industri, dan BBM serta struktur ekspor yang didominasi barang mentah, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen pada 2011 dan 6,2 persen (tahun 2012) sebagai pertumbuhan semu.

Pertama, yang mengekspor adalah swasta (asing dan domestik) dan menempatkan devisa hasil ekspornya di luar negeri. Kedua, impornya adalah bahan baku industri, barang modal, dan BBM yang mengakibatkan transaksi berjalan berpotensi defisit. Ketiga, transaksi modal dan finansial yang membesar membuktikan bahwa Indonesia hanya dijadikan tempat tumbuh yang buahnya diambil oleh investor (asing).

Keempat, liberalisasi investasi dan perdagangan serta keuangan mengakibatkan nilai tukar rupiah mudah sekali berfluktuasi sehingga mudah mendorong inflasi. Kelima, makin besar kita bayar utang luar negeri (ULN), makin besar pula jumlah utang. Inilah jebakan ULN karena dengan ULN bangsa Indonesia makin dalam terjajah.

Alhasil, barang-barang impor dan gejolak nilai tukar berbuah inflasi dan inflasi sendiri adalah senjata yang siap menghunus debitur ULN. Sisi lain benar bahwa kelas menengah kini mencapai 56,6 persen dari jumlah penduduk meski dengan posisi ketahanan ekonomi yang lemah.

Lihat saja, impor cabai, bawang, daging sapi, garam, ikan, beras, gula dan barang konsumsi lainnya. Ini berarti pasar domestik yang besar bukan dipasok produsen domestik. Saat yang sama, pemerintah bermain semantik menyesatkan dengan menyebut TKI adalah pahlawan devisa di saat penduduk negara yang mempekerjakan TKI menyebut Indonesia sebagai negara eksportir pembantu. Inilah prestasi semu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar