Setiap bangsa memiliki kebiasaan masing-masing. Di Jepang, yang
kelihatan menonjol bagi pengunjung dari desa di Bogor ini adalah tidak
berisiknya mereka di tempat umum. Di angkutan massal, seperti kereta api,
semua orang diam. Kalau ada yang bikin suara, paling anak-anak. Menginjak
dewasa, semua orang seperti terlatih masuk dalam meditasi Zen.
Di Bandara Fukuoka orang antre untuk boarding. Antrean hening. Tiba-tiba menyeruak rombongan
kecil, orang Indonesia, memotong antrean. Dilihat dari tindak tanduk dan
pakaiannya, mereka pejabat. Yang dipotong diam saja, seakan
mempersilakan. Hanya saja di pintu pemberangkatan, petugas yang memeriksa
boarding pass tak memedulikan
penyerobot antrean. Petugas melakukan tugasnya dengan keheningannya
sendiri, melayani pengantre yang terus mengalir tenang, juga dengan
keheningan. Setiap orang berada dalam ruang dan waktu masing-masing.
Bagi yang suka menghubung-hubungkan hal-hal bersangkutan dengan
tingkah laku dan kebiasaan dengan etos, mungkin terpikir, apakah
keheningan ini berhubungan dengan fokus? Bukankah fokus lebih berhubungan
dengan telinga? Orang yang ingin mempertajam pendengaran untuk
mendengarkan dengan sungguh-sungguh umumnya diiringi dengan sedikit
menutup mata. Telinga adalah fokus, lapisan di bawahnya lagi semangat.
Ini untuk membedakan dengan bagian tubuh yang lain, misalnya bibir.
Bibir
hubungannya dengan komitmen, lapisan di bawahnya hati. Adapun mata
merefleksikan kerja, dengan lapisan di baliknya otak, di mana di situ
terbaca seseorang kerja keras, kerja cerdas, atau tengah malas bekerja,
ngantuk, pengin tidur.
Makanya ada petuah, jangan percaya pada yang kau dengar, tetapi
yang kau lihat. Pendengaran cenderung membuat otak mengembara ke
mana-mana, mengembangkan sendiri apa yang kita dengar, bahkan andai yang
kita dengar sekadar selentingan. Dari selentingan, bisa berkembang narasi
seluas-luasnya. Itulah kurang lebih anatomi gosip.
Oleh karena itu, pemimpin yang baik umumnya tidak mengandalkan
pembisik. Mereka turun langsung melihat realitas— bahkan realitas itu pun
bukan realitas yang direpresentasikan (realitas yang direpresentasikan
misalnya apa yang kita lihat di televisi, media digital, dan lain-lain).
Contoh konkretnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia menggunakan
instrumen kebudayaan yang melekat pada kehidupan manusia: srawung.
Pengin tertawa rasanya melihat ributnya orang membicarakan pemimpin
yang menggunakan Twitter, sampai adanya perayaan untuk memperingati kali
pertama penggunaan peranti itu. Kenyataan yang direpresentasikan tadi,
masih diolah lagi oleh sejumlah staf yang memediasinya, sebelum kemudian
sampai ke kuping.
Dalam beberapa hal, inilah kenyataan masyarakat kontemporer. Kita
cenderung kian meng-outsource-kan
fungsi tubuh dan diri kita pada gadget,
termasuk fungsi memori kita pada microchip.
Keajaiban tubuh, siapa peduli kini....
Baik dari cerita wayang sampai dunia kependekaran Shaolin, pemimpin
selalu menempa dirinya dalam sunyi dan hening. Lima Pandawa—seperti dalam
episoda Bale Sigala-gala—masuk hutan terlebih dahulu sebagai ikhtiar
untuk memimpin kerajaan. Mereka ingin mendengarkan yang paling dasar dari
suara, yakni kesunyian, sebagai sesuatu yang dipercaya sebagai asal
muasal suara dan ada itu sendiri, alias sangkan paran. Mereka ingin
menangkap bukan hanya yang terdengar, terungkap, termanifestasikan (manifested), melainkan juga yang
tak terungkap, tak termanifestasikan (unmanifested).
Karena apa? Karena pada tingkat tertentu kepemimpinan tidak cukup hanya
sampai ke masalah teknis, tetapi juga perlu memiliki daya prophetic.
Inilah persoalan sekaligus krisis kepemimpinan di Indonesia
sekarang. Pemimpin terbawa arus ingar-bingar dan kegaduhan yang dibawa
oleh kemajuan teknologi informasi yang terus memperbarui diri setiap
waktu. Mereka hanyut, tidak menguasai keadaan, tetapi dikuasai keadaan.
Percayalah, Anda mau mengajukan sejuta keluhan lewat kicauan
Twitter, keadaan tidak akan banyak berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar