Selasa, 23 April 2013

Gaduh Jilid Berikut


Gaduh Jilid Berikut
Bre Redana  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 21 April 2013

  
Setiap bangsa memiliki kebiasaan masing-masing. Di Jepang, yang kelihatan menonjol bagi pengunjung dari desa di Bogor ini adalah tidak berisiknya mereka di tempat umum. Di angkutan massal, seperti kereta api, semua orang diam. Kalau ada yang bikin suara, paling anak-anak. Menginjak dewasa, semua orang seperti terlatih masuk dalam meditasi Zen.

Di Bandara Fukuoka orang antre untuk boarding. Antrean hening. Tiba-tiba menyeruak rombongan kecil, orang Indonesia, memotong antrean. Dilihat dari tindak tanduk dan pakaiannya, mereka pejabat. Yang dipotong diam saja, seakan mempersilakan. Hanya saja di pintu pemberangkatan, petugas yang memeriksa boarding pass tak memedulikan penyerobot antrean. Petugas melakukan tugasnya dengan keheningannya sendiri, melayani pengantre yang terus mengalir tenang, juga dengan keheningan. Setiap orang berada dalam ruang dan waktu masing-masing.

Bagi yang suka menghubung-hubungkan hal-hal bersangkutan dengan tingkah laku dan kebiasaan dengan etos, mungkin terpikir, apakah keheningan ini berhubungan dengan fokus? Bukankah fokus lebih berhubungan dengan telinga? Orang yang ingin mempertajam pendengaran untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh umumnya diiringi dengan sedikit menutup mata. Telinga adalah fokus, lapisan di bawahnya lagi semangat. Ini untuk membedakan dengan bagian tubuh yang lain, misalnya bibir. 

Bibir hubungannya dengan komitmen, lapisan di bawahnya hati. Adapun mata merefleksikan kerja, dengan lapisan di baliknya otak, di mana di situ terbaca seseorang kerja keras, kerja cerdas, atau tengah malas bekerja, ngantuk, pengin tidur.

Makanya ada petuah, jangan percaya pada yang kau dengar, tetapi yang kau lihat. Pendengaran cenderung membuat otak mengembara ke mana-mana, mengembangkan sendiri apa yang kita dengar, bahkan andai yang kita dengar sekadar selentingan. Dari selentingan, bisa berkembang narasi seluas-luasnya. Itulah kurang lebih anatomi gosip.

Oleh karena itu, pemimpin yang baik umumnya tidak mengandalkan pembisik. Mereka turun langsung melihat realitas— bahkan realitas itu pun bukan realitas yang direpresentasikan (realitas yang direpresentasikan misalnya apa yang kita lihat di televisi, media digital, dan lain-lain). Contoh konkretnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia menggunakan instrumen kebudayaan yang melekat pada kehidupan manusia: srawung.

Pengin tertawa rasanya melihat ributnya orang membicarakan pemimpin yang menggunakan Twitter, sampai adanya perayaan untuk memperingati kali pertama penggunaan peranti itu. Kenyataan yang direpresentasikan tadi, masih diolah lagi oleh sejumlah staf yang memediasinya, sebelum kemudian sampai ke kuping.

Dalam beberapa hal, inilah kenyataan masyarakat kontemporer. Kita cenderung kian meng-outsource-kan fungsi tubuh dan diri kita pada gadget, termasuk fungsi memori kita pada microchip. Keajaiban tubuh, siapa peduli kini....

Baik dari cerita wayang sampai dunia kependekaran Shaolin, pemimpin selalu menempa dirinya dalam sunyi dan hening. Lima Pandawa—seperti dalam episoda Bale Sigala-gala—masuk hutan terlebih dahulu sebagai ikhtiar untuk memimpin kerajaan. Mereka ingin mendengarkan yang paling dasar dari suara, yakni kesunyian, sebagai sesuatu yang dipercaya sebagai asal muasal suara dan ada itu sendiri, alias sangkan paran. Mereka ingin menangkap bukan hanya yang terdengar, terungkap, termanifestasikan (manifested), melainkan juga yang tak terungkap, tak termanifestasikan (unmanifested). Karena apa? Karena pada tingkat tertentu kepemimpinan tidak cukup hanya sampai ke masalah teknis, tetapi juga perlu memiliki daya prophetic.

Inilah persoalan sekaligus krisis kepemimpinan di Indonesia sekarang. Pemimpin terbawa arus ingar-bingar dan kegaduhan yang dibawa oleh kemajuan teknologi informasi yang terus memperbarui diri setiap waktu. Mereka hanyut, tidak menguasai keadaan, tetapi dikuasai keadaan.
Percayalah, Anda mau mengajukan sejuta keluhan lewat kicauan Twitter, keadaan tidak akan banyak berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar