Beberapa minggu terakhir
pasca ditangkapnya pentolan preman, Hercules Rosario Marshal, disusul
terjadinya pembunuhan terhadap Sersan Satu Heru Santosa di Hugo's Cafe
oleh sekelompok preman, topik tentang premanisme menjadi booming. Hampir
semua media berita, baik cetak maupun elektronik memuat headline tentang
premanisme.
Sebenarnya, kasus premanisme
bukan hal baru. Sejak zaman Orde Baru, premanisme sudah ada. Premanisme
merupakan istilah bahasa Belanda, vrijman yang berarti orang bebas,
merdeka. Dan, 'isme' menunjukkan aliran atau paham. Sekarang ini, istilah
premanisme merupakan sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk
merujuk kepada kegiatan sekelompok orang untuk mendapatkan penghasilan
dengan cara kekerasan, seperti pemerasan, penjambretan, perampokan dan
lain sebagainya. Menurut Kartodirdjo (1984), bandit sosial (preman)
adalah sebagai suatu struktur tipe kepemimpinan sosial yang secara wajar
muncul dalam celah-celah ruang sosial di mana penguasa tidak dapat
melakukan pengawasan.
Jika dikaitkan dengan
realita sekarang, maka tampak sangat tepat pendapat Kartodirjo. Tidak
bisa dinafikan bahwa tipe kepemimpinan ala preman hanya akan muncul
ketika pemerintah tidak dapat melakukan pengawasan secara komprehensif
terhadap aktivitas gejala sosial.
Di era Orde Baru, masalah
premanisme cenderung lebih terkondisikan dibandingkan dengan sekarang.
Saat ini, premanisme semakin menjamur dan tak terkendali, terutama di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan lain
sebagainya. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, kejahatan premanisme tahun
2012 meningkat 19,89 persen dibanding tahun 2011, atau dari 580 kasus
menjadi 707 kasus. Dan, diprediksi akan meningkat jika tidak ditangani
secara serius.
Faktor lain yang menjadi
pemicu munculnya premanisme adalah karena lemahnya supremasi hukum. Hukum
tidak ditempatkan pada posisi tertinggi sebagaimana mestinya, sehingga
banyak orang berani melanggar atau bahkan membuat hukum dengan cara
mereka sendiri.
Cara yang digunakan
pemerintah Orde Baru, untuk menghilangkan premanisme adalah dengan
menerjunkan penembak misterius atau 'petrus' di tempat-tempat yang rawan
kejahatan, seperti stasiun, terminal, pasar dan tempat umum lainnya.
Petrus bertugas mengeksekusi orang-orang yang dianggap mengganggu
kestabilan keamanan negara. Jika ada orang yang berani melakukan praktik
premanisme, maka nyawa adalah taruhannya.
Jumlah premanisme seharusnya
dapat ditekan. Tentu cara yang digunakan harus lebih manusiawi. Tidak
bisa asal tembak, karena akan melanggar HAM, bahkan dapat dianggap
sebagai premanisme baru. Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan
kembali fungsi dan peran intelijen.
Zaman Orde Baru, intelijen
begitu kuat dan ditakuti serta tersebar di mana-mana, sehingga jarang ada
orang yang berani berbuat macam-macam. Selain untuk memerangi premanisme,
fungsi intelijen saat itu juga sebagai alat kekuasaan untuk memata-matai
gerakan politik yang berbeda haluan.
Pasca bergulirnya reformasi,
sudah saatnya intelijen Indonesia kembali kepada fungsi utama yaitu
sebagai peringatan dini (early
warning) dan pendeteksian dini (early
detection). Di lapangan, intelijen bertugas sebagai pencari informasi
(information seekers) dan
pengumpul data (data collector),
sehingga jika ada aktivitas yang berpotensi mengganggu kestabilan negara,
dapat segera diatasi.
Dalam hal ini, Badan
Intelijen Negara (BIN) ataupun Intelijen Keamanan, yakni Intelkam Polri
harus ikut andil dan bersinergi dalam menstabilkan atmosfer keamanan
negara. Untuk itu, harus ada koordinasi yang jelas antar-lembaga
intelijen, sehingga dalam mekanisme kinerja tidak terjadi tumpang tindih.
Secara humanisme, kaum
preman pada dasarnya sama dengan masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki
rasa malu, bosan, takut, dan ada pula keinginan untuk menjadi orang yang
lebih baik, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, upaya
penanggulangan premanisme tidak cukup hanya dengan penegakkan hukum
berupa ancaman sanksi pidana, namun juga dengan pemberian bimbingan
konseling (BK). Hal ini sebagai langkah terakhir (finishing). Bimbingan konseling dapat dilakukan dengan
beberapa cara.
Pertama, pemberian wawasan
dan ketrampilan. Hal ini perlu dilakukan sebagai modal utama ketika yang
bersangkutan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Dengan modal wawasan
dan ketrampilan, tentu tidak ada alasan untuk kembali lagi ke dunia
premanisme. Karena, menjadi preman bukanlah sebuah pilihan, melainkan
konsekuensi hidup yang harus ditempuh ketika keadaan tidak seperti yang
diharapkan.
Kedua, dakwah. Sekeras apa
pun, hati ataupun tipikal seseorang, bukan mustahil hatinya akan luluh
apabila terus disirami dengan nasihat-nasihat yang baik sesuai dengan
ajaran agama. Sebagai misal, di zaman Nabi, mantan preman Arab sekaliber
Umar bin Khattab yang begitu ditakuti oleh masyarakat saat itu, akhirnya
luluh menjadi pribadi mulia ketika menerima bimbingan Islam. Bahkan
setelah menerima ajaran Islam, Umar bin Khattab dapat menjadi pengawal
setia Nabi sekaligus menjadi benteng keamanan umat muslim. Di zaman
sekarang, mantan preman Anton Medan mendeklarasikan untuk memilih jalan
hidup secara normal setelah mendapat teguran dari istrinya supaya
bertobat saat ditahan di Nusa Kambangan.
Bagaimanapun praktik
premanisme merupakan salah satu gejala sosial akibat lemahnya supremasi
hukum dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Penghapusan
praktik premanisme tidak cukup dengan cara pemberian sanksi pidana, namun
juga dengan cara pemberian bimbingan konseling (BK). Dengan demikian,
penghapusan premanisme tidak hanya perlu tegas tetapi juga bijaksana. Wallahu aa'lam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar