Rabu, 10 April 2013

Menghapus Praktik Premanisme


Menghapus Praktik Premanisme
Faedurrohman  ;  Mahasiswa Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, peneliti di The Fatwa Center
SUARA KARYA, 10 April 2013


Beberapa minggu terakhir pasca ditangkapnya pentolan preman, Hercules Rosario Marshal, disusul terjadinya pembunuhan terhadap Sersan Satu Heru Santosa di Hugo's Cafe oleh sekelompok preman, topik tentang premanisme menjadi booming. Hampir semua media berita, baik cetak maupun elektronik memuat headline tentang premanisme.

Sebenarnya, kasus premanisme bukan hal baru. Sejak zaman Orde Baru, premanisme sudah ada. Premanisme merupakan istilah bahasa Belanda, vrijman yang berarti orang bebas, merdeka. Dan, 'isme' menunjukkan aliran atau paham. Sekarang ini, istilah premanisme merupakan sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang untuk mendapatkan penghasilan dengan cara kekerasan, seperti pemerasan, penjambretan, perampokan dan lain sebagainya. Menurut Kartodirdjo (1984), bandit sosial (preman) adalah sebagai suatu struktur tipe kepemimpinan sosial yang secara wajar muncul dalam celah-celah ruang sosial di mana penguasa tidak dapat melakukan pengawasan.

Jika dikaitkan dengan realita sekarang, maka tampak sangat tepat pendapat Kartodirjo. Tidak bisa dinafikan bahwa tipe kepemimpinan ala preman hanya akan muncul ketika pemerintah tidak dapat melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap aktivitas gejala sosial.

Di era Orde Baru, masalah premanisme cenderung lebih terkondisikan dibandingkan dengan sekarang. Saat ini, premanisme semakin menjamur dan tak terkendali, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan lain sebagainya. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, kejahatan premanisme tahun 2012 meningkat 19,89 persen dibanding tahun 2011, atau dari 580 kasus menjadi 707 kasus. Dan, diprediksi akan meningkat jika tidak ditangani secara serius.

Faktor lain yang menjadi pemicu munculnya premanisme adalah karena lemahnya supremasi hukum. Hukum tidak ditempatkan pada posisi tertinggi sebagaimana mestinya, sehingga banyak orang berani melanggar atau bahkan membuat hukum dengan cara mereka sendiri.

Cara yang digunakan pemerintah Orde Baru, untuk menghilangkan premanisme adalah dengan menerjunkan penembak misterius atau 'petrus' di tempat-tempat yang rawan kejahatan, seperti stasiun, terminal, pasar dan tempat umum lainnya. Petrus bertugas mengeksekusi orang-orang yang dianggap mengganggu kestabilan keamanan negara. Jika ada orang yang berani melakukan praktik premanisme, maka nyawa adalah taruhannya.

Jumlah premanisme seharusnya dapat ditekan. Tentu cara yang digunakan harus lebih manusiawi. Tidak bisa asal tembak, karena akan melanggar HAM, bahkan dapat dianggap sebagai premanisme baru. Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan kembali fungsi dan peran intelijen.

Zaman Orde Baru, intelijen begitu kuat dan ditakuti serta tersebar di mana-mana, sehingga jarang ada orang yang berani berbuat macam-macam. Selain untuk memerangi premanisme, fungsi intelijen saat itu juga sebagai alat kekuasaan untuk memata-matai gerakan politik yang berbeda haluan.

Pasca bergulirnya reformasi, sudah saatnya intelijen Indonesia kembali kepada fungsi utama yaitu sebagai peringatan dini (early warning) dan pendeteksian dini (early detection). Di lapangan, intelijen bertugas sebagai pencari informasi (information seekers) dan pengumpul data (data collector), sehingga jika ada aktivitas yang berpotensi mengganggu kestabilan negara, dapat segera diatasi.

Dalam hal ini, Badan Intelijen Negara (BIN) ataupun Intelijen Keamanan, yakni Intelkam Polri harus ikut andil dan bersinergi dalam menstabilkan atmosfer keamanan negara. Untuk itu, harus ada koordinasi yang jelas antar-lembaga intelijen, sehingga dalam mekanisme kinerja tidak terjadi tumpang tindih.

Secara humanisme, kaum preman pada dasarnya sama dengan masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki rasa malu, bosan, takut, dan ada pula keinginan untuk menjadi orang yang lebih baik, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, upaya penanggulangan premanisme tidak cukup hanya dengan penegakkan hukum berupa ancaman sanksi pidana, namun juga dengan pemberian bimbingan konseling (BK). Hal ini sebagai langkah terakhir (finishing). Bimbingan konseling dapat dilakukan dengan beberapa cara.

Pertama, pemberian wawasan dan ketrampilan. Hal ini perlu dilakukan sebagai modal utama ketika yang bersangkutan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Dengan modal wawasan dan ketrampilan, tentu tidak ada alasan untuk kembali lagi ke dunia premanisme. Karena, menjadi preman bukanlah sebuah pilihan, melainkan konsekuensi hidup yang harus ditempuh ketika keadaan tidak seperti yang diharapkan.

Kedua, dakwah. Sekeras apa pun, hati ataupun tipikal seseorang, bukan mustahil hatinya akan luluh apabila terus disirami dengan nasihat-nasihat yang baik sesuai dengan ajaran agama. Sebagai misal, di zaman Nabi, mantan preman Arab sekaliber Umar bin Khattab yang begitu ditakuti oleh masyarakat saat itu, akhirnya luluh menjadi pribadi mulia ketika menerima bimbingan Islam. Bahkan setelah menerima ajaran Islam, Umar bin Khattab dapat menjadi pengawal setia Nabi sekaligus menjadi benteng keamanan umat muslim. Di zaman sekarang, mantan preman Anton Medan mendeklarasikan untuk memilih jalan hidup secara normal setelah mendapat teguran dari istrinya supaya bertobat saat ditahan di Nusa Kambangan.

Bagaimanapun praktik premanisme merupakan salah satu gejala sosial akibat lemahnya supremasi hukum dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Penghapusan praktik premanisme tidak cukup dengan cara pemberian sanksi pidana, namun juga dengan cara pemberian bimbingan konseling (BK). Dengan demikian, penghapusan premanisme tidak hanya perlu tegas tetapi juga bijaksana. Wallahu aa'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar