Badan Pemeriksa Keuangan menemukan belasan ribu
dugaan penyimpangan pengelolaan uang negara. Dalam penyampaian ikhtisar
hasil pemeriksaan semester genap 2012 kepada DPR, Ketua BPK Hadi Purnomo
mengatakan ada 12.947 indikasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara
dengan potensi kerugian sebesar Rp 9,72 triliun.
Sejenak membayangkan, jumlah potensi kerugian negara
tersebut sangat fantastis. Angkanya melebihi potensi kerugian dalam kasus
pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal
sementara ke Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Sayang, tampaknya indikasi penyimpangan pengelolaan
duit negara itu jarang menjadi topik pembicaraan khalayak sehingga kurang
mendapatkan perhatian. Padahal hasil pemeriksaan BPK sejak 2008 sampai
2012, misalnya, menunjukkan jumlah potensi kerugian akibat penyimpangan
pengelolaan keuangan negara mencapai angka Rp 85,55 triliun. Jumlah
kemungkinan kehilangan yang sama sekali tak bisa dibilang remeh.
Jumlah potensi lenyapnya dana negara yang mencapai
puluhan triliun rupiah tersebut jangan-jangan hanyalah piece of cake,
hanya potongan kecil yang ditemukan. Boleh jadi, jika lebih serius
diperiksa, angka kerugiannya lebih dari yang terbaca. Tanpa disadari,
dalam jangka waktu yang sangat panjang, temuan BPK itu mengetengahkan
adanya "perampokan uang
negara" yang dapat membunuh negara.
Kepentingan Terselubung
Ada dua hal yang dapat dipakai untuk membaca penyebab
rusaknya penataan harta negara. Pertama, bobroknya pengurusan keuangan
negara disebabkan oleh lalu-lalang kepentingan terselubung yang menumpang
pada pengelolaan uang negara. Satu hal yang sangat mungkin adalah adanya
kepentingan politik yang menjadi penumpang bebas (free rider) di atas pendapatan dan belanja negara.
Bukti hadirnya kepentingan politik yang merusak
pengelolaan keuangan negara bisa diketahui dari beberapa pemeriksaan dan
putusan kasus korupsi. Setidaknya terdapat dua kasus yang bisa menjadi
contoh. Dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta bernomor
69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST atas terdakwa M. Nazaruddin, ada keterangan
yang mengutarakan diadakannya sebuah pertemuan yang dilakukan oleh
anggota DPR dalam mengatur jatah proyek pemerintah.
Rencana pembangunan infrastruktur ditentukan jatuh
pada rekanan tertentu yang diduga berafiliasi dengan partai politik.
Kontan saja, proyek tersebut memang benar-benar jadi milik rekanan
dimaksudkan. Kemudian beberapa persen dari anggaran proyek diyakini
dipotong untuk disetor kepada anggota DPR pengatur jatah proyek
pemerintah. Dari keterangan di dalam putusan terdakwa M. Nazaruddin itu,
sulit rasanya menghilangkan prasangka bahwa anggaran proyek pemerintah
tak mengalir ke kantong partai politik.
Kasus kedua dapat dipelajari dari hasil pemeriksaan
dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta bernomor
30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST atas terdakwa Wa Ode Nurhayati. Berdasarkan
keterangan, terdapat 5-6 persen potongan dari dana pembangunan
infrastruktur daerah yang disediakan oleh pemohon anggaran bagi anggota
DPR apabila mampu meloloskan jatah anggaran untuk daerah.
Pengelolaan anggaran di Badan Anggaran diutak-atik
agar hasrat mengegolkan rencana penentuan anggaran bagi daerah pemohon
berhasil. Faktanya, utak-atik anggaran tersebut sukses dilakukan. Dan
sejumlah uang ditransfer atau diserahkan kepada anggota DPR pengutak-atik
anggaran. Mustahil kiranya kalau persentase potongan yang diterima oleh
anggota DPR tak akan diteruskan ke gentong partai politik.
Dua kasus di atas menunjukkan, di tingkat pusat,
indikasi bubrahnya pengoperasian uang negara sedikit-dan bahkan
banyak-dipicu oleh kepentingan politik terselubung dari partai politik.
Lalu bagaimana dengan di daerah? Setali tiga uang dengan di pusat. Kasus
suap mantan Wali Kota Semarang Soemarmo, misalnya, di mana anggota DPRD
Kota Semarang meminta jatah atas nilai persetujuan pengesahan rencana
anggaran pendapatan dan belanja daerah juga menjadi penyulut
berantakannya pengelolaan keuangan negara. Susah kelihatannya tak
mempercayai bahwa jatah bagi anggota DPRD itu tak lari ke saku partai
politik.
Nirpengawasan
Hal kedua yang mendorong penyimpangan pengelolaan
keuangan negara adalah kurangnya atau bahkan hilangnya pengawasan
terhadap pejabat pengelola keuangan negara. Pengawasan diturunkan menjadi
dua sisi. Internal dan eksternal pejabat pengelola keuangan.
Dari sudut internal, hampir pasti para pemimpin, baik
di tingkat kementerian, badan usaha milik negara, pemerintah daerah,
maupun badan usaha milik daerah, yang berasal dari partai politik atau
berafiliasi dengan partai politik akan tersandera secara langsung atau
tidak langsung dengan kepentingan partai politik. Menteri, direktur, dan
komisaris BUMN/BUMD serta kepala daerah tak mampu melawan jika partai
mulai minta jatah.
Studi Hadi Supeno, Korupsi di Daerah (2009: 35),
dengan gamblang membeberkan bagaimana pola korupsi dimainkan dengan
keterlibatan pejabat atas di setiap tingkatan. Apalagi di tingkat daerah,
yang jauh dari jangkauan pengawasan, pejabat atasnya semakin licin
memperagakan geliat penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Biaya
politik partai politik adalah isyarat korupsi para pemimpin.
Meski harus dibuktikan terlebih dulu, kuat dugaan
partai politik menjadi pengaruh atas lahirnya kebobrokan pemimpin. Padahal
pemimpin yang rusak di internal pengelolaan uang negara mempercepat
ausnya roda penataan duit negara. Lagi pula bukankah a fish begins to stink at the head, ikan busuk dari
kepalanya? Busuknya pemimpin akan meniadakan atau paling tidak mengurangi
pengawasan internal.
Sedangkan dari tepi eksternal, masih murahnya
penghukuman bagi para perampok uang negara juga ikut andil dalam
menyemaikan penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Putusan penjara
yang masih relatif singkat, denda yang tak banyak, dan hukuman
pengembalian kerugian negara yang kadang tak dijatuhkan, membuat efek
jera hampir tak terasa di hadapan para perampok uang negara. Belum lagi
ternyata tak sedikit pula para aparat penegak hukum yang ditangkap akibat
menerima suap dari si perampok semakin menambah marak perampokan uang
negara.
Dapatkah perampokan uang negara ini
dihentikan? Kesempatan tetap ada meski agak sulit. Kabar baiknya, masih
ada lembaga seperti KPK yang menjadi tumpuan untuk memberantasnya. Kita
harus tetap dan terus mendukung pemberantasan perampok uang negara supaya
masih ada secuil dari negeri yang bersih ini untuk diwariskan bagi anak
cucu dan generasi kita kelak. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar