Rabu, 10 April 2013

Perampokan Uang Negara


Perampokan Uang Negara
Hifdzil Alim  ;  Peneliti Pukat Korupsi FH UGM;
Ketua Bidang Non-Litigasi LPBH PWNU di Yogyakarta
KORAN TEMPO, 10 April 2013

  
Badan Pemeriksa Keuangan menemukan belasan ribu dugaan penyimpangan pengelolaan uang negara. Dalam penyampaian ikhtisar hasil pemeriksaan semester genap 2012 kepada DPR, Ketua BPK Hadi Purnomo mengatakan ada 12.947 indikasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dengan potensi kerugian sebesar Rp 9,72 triliun.
Sejenak membayangkan, jumlah potensi kerugian negara tersebut sangat fantastis. Angkanya melebihi potensi kerugian dalam kasus pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ke Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Sayang, tampaknya indikasi penyimpangan pengelolaan duit negara itu jarang menjadi topik pembicaraan khalayak sehingga kurang mendapatkan perhatian. Padahal hasil pemeriksaan BPK sejak 2008 sampai 2012, misalnya, menunjukkan jumlah potensi kerugian akibat penyimpangan pengelolaan keuangan negara mencapai angka Rp 85,55 triliun. Jumlah kemungkinan kehilangan yang sama sekali tak bisa dibilang remeh.
Jumlah potensi lenyapnya dana negara yang mencapai puluhan triliun rupiah tersebut jangan-jangan hanyalah piece of cake, hanya potongan kecil yang ditemukan. Boleh jadi, jika lebih serius diperiksa, angka kerugiannya lebih dari yang terbaca. Tanpa disadari, dalam jangka waktu yang sangat panjang, temuan BPK itu mengetengahkan adanya "perampokan uang negara" yang dapat membunuh negara.
Kepentingan Terselubung
Ada dua hal yang dapat dipakai untuk membaca penyebab rusaknya penataan harta negara. Pertama, bobroknya pengurusan keuangan negara disebabkan oleh lalu-lalang kepentingan terselubung yang menumpang pada pengelolaan uang negara. Satu hal yang sangat mungkin adalah adanya kepentingan politik yang menjadi penumpang bebas (free rider) di atas pendapatan dan belanja negara.
Bukti hadirnya kepentingan politik yang merusak pengelolaan keuangan negara bisa diketahui dari beberapa pemeriksaan dan putusan kasus korupsi. Setidaknya terdapat dua kasus yang bisa menjadi contoh. Dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta bernomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST atas terdakwa M. Nazaruddin, ada keterangan yang mengutarakan diadakannya sebuah pertemuan yang dilakukan oleh anggota DPR dalam mengatur jatah proyek pemerintah.
Rencana pembangunan infrastruktur ditentukan jatuh pada rekanan tertentu yang diduga berafiliasi dengan partai politik. Kontan saja, proyek tersebut memang benar-benar jadi milik rekanan dimaksudkan. Kemudian beberapa persen dari anggaran proyek diyakini dipotong untuk disetor kepada anggota DPR pengatur jatah proyek pemerintah. Dari keterangan di dalam putusan terdakwa M. Nazaruddin itu, sulit rasanya menghilangkan prasangka bahwa anggaran proyek pemerintah tak mengalir ke kantong partai politik.
Kasus kedua dapat dipelajari dari hasil pemeriksaan dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta bernomor 30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST atas terdakwa Wa Ode Nurhayati. Berdasarkan keterangan, terdapat 5-6 persen potongan dari dana pembangunan infrastruktur daerah yang disediakan oleh pemohon anggaran bagi anggota DPR apabila mampu meloloskan jatah anggaran untuk daerah.
Pengelolaan anggaran di Badan Anggaran diutak-atik agar hasrat mengegolkan rencana penentuan anggaran bagi daerah pemohon berhasil. Faktanya, utak-atik anggaran tersebut sukses dilakukan. Dan sejumlah uang ditransfer atau diserahkan kepada anggota DPR pengutak-atik anggaran. Mustahil kiranya kalau persentase potongan yang diterima oleh anggota DPR tak akan diteruskan ke gentong partai politik.
Dua kasus di atas menunjukkan, di tingkat pusat, indikasi bubrahnya pengoperasian uang negara sedikit-dan bahkan banyak-dipicu oleh kepentingan politik terselubung dari partai politik. Lalu bagaimana dengan di daerah? Setali tiga uang dengan di pusat. Kasus suap mantan Wali Kota Semarang Soemarmo, misalnya, di mana anggota DPRD Kota Semarang meminta jatah atas nilai persetujuan pengesahan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah juga menjadi penyulut berantakannya pengelolaan keuangan negara. Susah kelihatannya tak mempercayai bahwa jatah bagi anggota DPRD itu tak lari ke saku partai politik.
Nirpengawasan
Hal kedua yang mendorong penyimpangan pengelolaan keuangan negara adalah kurangnya atau bahkan hilangnya pengawasan terhadap pejabat pengelola keuangan negara. Pengawasan diturunkan menjadi dua sisi. Internal dan eksternal pejabat pengelola keuangan.
Dari sudut internal, hampir pasti para pemimpin, baik di tingkat kementerian, badan usaha milik negara, pemerintah daerah, maupun badan usaha milik daerah, yang berasal dari partai politik atau berafiliasi dengan partai politik akan tersandera secara langsung atau tidak langsung dengan kepentingan partai politik. Menteri, direktur, dan komisaris BUMN/BUMD serta kepala daerah tak mampu melawan jika partai mulai minta jatah.
Studi Hadi Supeno, Korupsi di Daerah (2009: 35), dengan gamblang membeberkan bagaimana pola korupsi dimainkan dengan keterlibatan pejabat atas di setiap tingkatan. Apalagi di tingkat daerah, yang jauh dari jangkauan pengawasan, pejabat atasnya semakin licin memperagakan geliat penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Biaya politik partai politik adalah isyarat korupsi para pemimpin.
Meski harus dibuktikan terlebih dulu, kuat dugaan partai politik menjadi pengaruh atas lahirnya kebobrokan pemimpin. Padahal pemimpin yang rusak di internal pengelolaan uang negara mempercepat ausnya roda penataan duit negara. Lagi pula bukankah a fish begins to stink at the head, ikan busuk dari kepalanya? Busuknya pemimpin akan meniadakan atau paling tidak mengurangi pengawasan internal.
Sedangkan dari tepi eksternal, masih murahnya penghukuman bagi para perampok uang negara juga ikut andil dalam menyemaikan penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Putusan penjara yang masih relatif singkat, denda yang tak banyak, dan hukuman pengembalian kerugian negara yang kadang tak dijatuhkan, membuat efek jera hampir tak terasa di hadapan para perampok uang negara. Belum lagi ternyata tak sedikit pula para aparat penegak hukum yang ditangkap akibat menerima suap dari si perampok semakin menambah marak perampokan uang negara.
Dapatkah perampokan uang negara ini dihentikan? Kesempatan tetap ada meski agak sulit. Kabar baiknya, masih ada lembaga seperti KPK yang menjadi tumpuan untuk memberantasnya. Kita harus tetap dan terus mendukung pemberantasan perampok uang negara supaya masih ada secuil dari negeri yang bersih ini untuk diwariskan bagi anak cucu dan generasi kita kelak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar