Meminjam istilah aparat
keamanan dalam melihat suatu masalah, amuk massa atau kerusuhan di negeri
ini sudah memasuki tahap "siaga satu". Pelbagai hal bisa
menjadi pemicu, mulai dari ketersinggungan anak muda yang kemudian menyeret
temannya masuk arena konflik, perkelahian antar-kampung di pedesaan atau
antarlorong di kota besar, sampai pada pemaksaan kehendak dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) yang berujung pada kerusuhan massa. Penyebab
kerusuhan itu pun kadang hanya soal sepele yang kemudian dibungkus oleh
aksi provokasi untuk kepentingan tertentu.
Kerusuhan massa yang paling
mutakhir terjadi di Kota Polopo, Sulawesi Selatan, Minggu (31/3) lalu
akibat ketidakpuasan atas hasil penghitungan suara KPU-Kota dalam
pemilihan wali kota putaran kedua. Massa begitu leluasa merusak dan
membakar kantor pemerintah seperti kantor wali kota, kantor camat, kantor
KPU-Kota, kantor Partai Golkar, sejumlah kendaraan bermotor, bahkan
kantor media cetak Palopo Pos. Massa yang mengamuk itu diduga berasal
dari pendukung fanatik pasangan calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang
dinyatakan kalah.
Akibat dilempari bom molotov
(bom botol), bangunan-bangunan itu ludes terbakar lantaran massa yang
mengamuk menghalangi mobil pemadam ke bakaran untuk sampai di lokasi
kebakaran. Aparat pemadam kebakaran baru bisa menghentikan kebakaran
setelah semuanya ludes. Timbul pertanyaan, ke mana polisi dan aparat
keamanan lainnya? Tetapi, menurut polisi, jumlah massa jauh lebih besar
dari aparat keaamanan, apalagi sebagian besar pengamanan berfokus di
kantor KPU-Kota, tempat penghitungan suara dilakukan.
Watak Anarkis
Kerusuhan
massa dalam pelaksanaan pilkada sudah
tak terhitung. Enam hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa
yang dipimpin langsung oleh calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan
Dhambea, menyerang dan memaksa masuk studio siar TVRI Gorontalo (Senin,
25/3/2013). Celakanya, penyerangan itu justru dilakukan bersama Ketua
DPRD Kota Gorontalo karena kecewa atas pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan
PT-TUN Manado. Ia tidak diloloskan oleh KPU-Kota Gorontalo karena
terindikasi berijazah palsu.
Kisruh dalam pilkada
menunjukkan ketidakdewasaan elite politik dan massa pendukung dalam
berdemokrasi liberal. Para pasangan calon, tim sukses, dan pendukungnya
belum siap menerima hasil pilkada langsung bahwa pasti ada yang menang
dan ada yang kalah. Jika pun ada persoalan dan kecurangan, disiapkan
jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran pemilu ada jalurnya melalui
panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi oleh KPU-Daerah, dan
kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, dan
jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.
Berbagai amuk massa dalam
pilkada, lagi-lagi polisi dijadikan "kambing hitam" karena
dianggap tidak punya sensitivitas dan antisipatif atas kemungkinan
terjadinya konflik. Kinerja aparat intelijen dan kepolisian selaku aparat
negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat pun patut
dipertanyakan sejumlah kalangan. Pengamanan pilkada seperti mengurai benang
kusut, semakin diurai malah semakin kusut. Polisi terkesan takut oleh
jebakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga merasa ragu
bertindak tegas (baca: keras).
Berkaca pada realitas dalam
antisipasi keamanan, memang tidak boleh selalu menyalahkan kepolisian.
Sebab, kalau memang ada kelompok massa yang berwatak anarkis akibat sudah
terprovokasi tidak mau menerima hasil pilkada, kerusuhan dan perusakan
juga akan dilakukan meskipun polisinya banyak. Malah, mereka akan melawan
polisi jika berupaya menghalangi gerakannya lantaran sudah didesain
sebelumnya. Semuanya bermula karena elite politik dan kekuasaan belum
siap melaksanakan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin.
Namun, bisa juga polisi
disebut kecolongan karena tidak mampu mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kerusuhan. Polisi terjebak pada putaran pertama yang dianggap
berjalan cukup aman. Terlepas dari itu, kecepatan menangkap para pelaku
pembakaran dan perusakan gedung patut diapresiasi. Yang jelas, motif
pelaku juga harus diungkap, apakah ada keterlibatan pasangan calon dan
tim suksesnya.
Ambisius
Kursi kekuasaan tidak lagi
dipandang sebagai amanah, melainkan prestise dan harga diri yang harus
direbut, apa pun caranya. Para pejabat di daerah begitu ambisius disertai
fanatisme sempit dari pendukung akibat iming-iming uang dan proyek
setelah terpilih. Semuanya bercampur jadi satu, sehingga massa begitu
mudah terprovokasi mengikuti kehendak sang "dalang". Mudahnya
massa terprovokasi tidak terlepas dari peran pasangan calon dan tim
sukses. Pertentangan yang acapkali timbul justru lebih sering dipicu oleh
elite yang tidak mau menerima hasil dengan menyalahkan penyelenggara dan
pengawas pilkada.
Saya termasuk yang percaya
kalau para "dalang" seperti pasangan calon dan tim sukses mampu
meredam massanya jika dia menghendakinya. Ini terlihat dalam pemilihan Gubernur
Sulawesi Selatan, meski ada riak tetapi saat pasangan calon dan tim
sukses turun tangan, massa pendukung bisa menahan diri dan proses pilkada
berjalan damai.
Pernyataan Gubernur Sulawesi
Selatan yang tidak menjamin keamanan dan kedamaian terhadap delapan
pemilihan bupati/walikota setelah Palopo patut diantisipasi. Jangan
sampai ditiru karena pada akhirnya rakyat di daerah bersangkutan yang
dirugikan. Lebih dari itu, sangat wajar jika muncul gagasan meninjau
ulang pemilihan langsung kepala daerah, termasuk maraknya korupsi sebagai
implikasi dari mahalnya harga kursi kepala daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar