Rabu, 10 April 2013

Kerusuhan Massa dalam Pilkada


Kerusuhan Massa dalam Pilkada
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 10 April 2013


Meminjam istilah aparat keamanan dalam melihat suatu masalah, amuk massa atau kerusuhan di negeri ini sudah memasuki tahap "siaga satu". Pelbagai hal bisa menjadi pemicu, mulai dari ketersinggungan anak muda yang kemudian menyeret temannya masuk arena konflik, perkelahian antar-kampung di pedesaan atau antarlorong di kota besar, sampai pada pemaksaan kehendak dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berujung pada kerusuhan massa. Penyebab kerusuhan itu pun kadang hanya soal sepele yang kemudian dibungkus oleh aksi provokasi untuk kepentingan tertentu.

Kerusuhan massa yang paling mutakhir terjadi di Kota Polopo, Sulawesi Selatan, Minggu (31/3) lalu akibat ketidakpuasan atas hasil penghitungan suara KPU-Kota dalam pemilihan wali kota putaran kedua. Massa begitu leluasa merusak dan membakar kantor pemerintah seperti kantor wali kota, kantor camat, kantor KPU-Kota, kantor Partai Golkar, sejumlah kendaraan bermotor, bahkan kantor media cetak Palopo Pos. Massa yang mengamuk itu diduga berasal dari pendukung fanatik pasangan calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang dinyatakan kalah.

Akibat dilempari bom molotov (bom botol), bangunan-bangunan itu ludes terbakar lantaran massa yang mengamuk menghalangi mobil pemadam ke bakaran untuk sampai di lokasi kebakaran. Aparat pemadam kebakaran baru bisa menghentikan kebakaran setelah semuanya ludes. Timbul pertanyaan, ke mana polisi dan aparat keamanan lainnya? Tetapi, menurut polisi, jumlah massa jauh lebih besar dari aparat keaamanan, apalagi sebagian besar pengamanan berfokus di kantor KPU-Kota, tempat penghitungan suara dilakukan.

Watak Anarkis

Kerusuhan massa dalam pelaksanaan pilkada sudah tak terhitung. Enam hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa yang dipimpin langsung oleh calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan Dhambea, menyerang dan memaksa masuk studio siar TVRI Gorontalo (Senin, 25/3/2013). Celakanya, penyerangan itu justru dilakukan bersama Ketua DPRD Kota Gorontalo karena kecewa atas pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan PT-TUN Manado. Ia tidak diloloskan oleh KPU-Kota Gorontalo karena terindikasi berijazah palsu.

Kisruh dalam pilkada menunjukkan ketidakdewasaan elite politik dan massa pendukung dalam berdemokrasi liberal. Para pasangan calon, tim sukses, dan pendukungnya belum siap menerima hasil pilkada langsung bahwa pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika pun ada persoalan dan kecurangan, disiapkan jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran pemilu ada jalurnya melalui panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi oleh KPU-Daerah, dan kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, dan jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.

Berbagai amuk massa dalam pilkada, lagi-lagi polisi dijadikan "kambing hitam" karena dianggap tidak punya sensitivitas dan antisipatif atas kemungkinan terjadinya konflik. Kinerja aparat intelijen dan kepolisian selaku aparat negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat pun patut dipertanyakan sejumlah kalangan. Pengamanan pilkada seperti mengurai benang kusut, semakin diurai malah semakin kusut. Polisi terkesan takut oleh jebakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga merasa ragu bertindak tegas (baca: keras).

Berkaca pada realitas dalam antisipasi keamanan, memang tidak boleh selalu menyalahkan kepolisian. Sebab, kalau memang ada kelompok massa yang berwatak anarkis akibat sudah terprovokasi tidak mau menerima hasil pilkada, kerusuhan dan perusakan juga akan dilakukan meskipun polisinya banyak. Malah, mereka akan melawan polisi jika berupaya menghalangi gerakannya lantaran sudah didesain sebelumnya. Semuanya bermula karena elite politik dan kekuasaan belum siap melaksanakan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin.

Namun, bisa juga polisi disebut kecolongan karena tidak mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan. Polisi terjebak pada putaran pertama yang dianggap berjalan cukup aman. Terlepas dari itu, kecepatan menangkap para pelaku pembakaran dan perusakan gedung patut diapresiasi. Yang jelas, motif pelaku juga harus diungkap, apakah ada keterlibatan pasangan calon dan tim suksesnya.

Ambisius

Kursi kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan prestise dan harga diri yang harus direbut, apa pun caranya. Para pejabat di daerah begitu ambisius disertai fanatisme sempit dari pendukung akibat iming-iming uang dan proyek setelah terpilih. Semuanya bercampur jadi satu, sehingga massa begitu mudah terprovokasi mengikuti kehendak sang "dalang". Mudahnya massa terprovokasi tidak terlepas dari peran pasangan calon dan tim sukses. Pertentangan yang acapkali timbul justru lebih sering dipicu oleh elite yang tidak mau menerima hasil dengan menyalahkan penyelenggara dan pengawas pilkada.

Saya termasuk yang percaya kalau para "dalang" seperti pasangan calon dan tim sukses mampu meredam massanya jika dia menghendakinya. Ini terlihat dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, meski ada riak tetapi saat pasangan calon dan tim sukses turun tangan, massa pendukung bisa menahan diri dan proses pilkada berjalan damai.

Pernyataan Gubernur Sulawesi Selatan yang tidak menjamin keamanan dan kedamaian terhadap delapan pemilihan bupati/walikota setelah Palopo patut diantisipasi. Jangan sampai ditiru karena pada akhirnya rakyat di daerah bersangkutan yang dirugikan. Lebih dari itu, sangat wajar jika muncul gagasan meninjau ulang pemilihan langsung kepala daerah, termasuk maraknya korupsi sebagai implikasi dari mahalnya harga kursi kepala daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar