Peristiwa penyerbuan Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, (23/3) disebut sebagai kejadian
luar biasa. Penjara yang merupakan tempat netral, atau tepatnya tempat
berlindung bagi warga negara yang terpaut masalah hukum, tiba-tiba
berubah menjadi tempat yang menyeramkan. Tempat itu tak cuma menakutkan
bagi narapidana atau tahanan-tahanan, tetapi malah membuat para sipir
merasa terancam, takut, dan ‘lumpuh’.
Para penjaga tak banyak bertindak. Mereka
hanya pasrah ketika penyerbuan oleh kelompok bersenjata itu berlangsung
rapi, terlatih, dan terencana. Dalam tempo beberapa menit, keempat
tersangka pembunuh an seorang anggota Kopassus meregang nyawa. Kelompok
penyerang lalu kabur dengan mobil.
Dengan mengacu ke skenario pembunuhan
yang begitu profesional, banyak spekulasi bermunculan. Satu yang menarik
ialah sikap curiga terhadap proses eksekusi para tahanan tersebut. Secara
objektif, kejadian itu berlangsung amat cepat dan tepat sasar. Dari
sirkumstansinya, bisa disebutkan beberapa hal.
Pertama, para pelaku ialah kelompok
bersenjata yang sangat profesional. Sangat mungkin, mereka berasal dari
kalangan yang terlatih. Kedua, peristiwa itu mengorbankan keempat tahanan
yang dikaitkan dengan pembunuhan seorang anggota Kopassus (19/3). Atas
asas praduga tak bersalah, kita bisa mengatakan balas dendam merupakan finish
operantis dalam kejadian tersebut. Ketiga, para penjaga LP dilumpuhkan.
Mereka tak bertindak banyak, selain pasrah dan menuruti perintah kelompok
penyerbu. Tentu saja dalam konteks itu kawanan penyerbu tak mudah dilawan
para penjaga di LP. Mereka begitu tangguh sehingga tak ada kemungkinan
sama sekali untuk meminta pertolongan dari pihak keamanan.
Terhadap kejadian itu, editorial Media
Indonesia (25/3) mencatat, `Peristiwa
penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, ...membuat kita
bertanya-tanya. Bertanya apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai
negara hukum bila orang-orang yang belum diputus bersalah oleh pengadilan
harus dieksekusi mati?'. Pada titik pemahaman itu apabila kita
menyinggung hukum, sesungguhnya kita menitikberatkan diskursus tersebut
pada permasalahan demokrasi. Di negara-negara yang menganut paham
demokrasi, penegakan hukum merupakan hal kunci yang menentukan lestarinya
prinsip-prinsip demokrasi seperti kedaulatan rakyat, keadilan atau
kesamaan, rasionalitas, kebebasan, dan kesejahteraan umum. Tanpa
keberanian untuk menegakkan hukum, negara ini sekali lagi tenggelam dalam
euforia demokrasi yang cuma dialami kalangan penguasa, sedangkan rakyat
kecil tetap tercebur dalam ketakutan, ketidakadilan, dan irasionalitas
penegakan hukum.
Skenario
Mad Max
Keempat korban dalam peristiwa itu
barangkali akan segera dilupakan. Akan tetapi, apabila para pelaku
penembakan itu tidak diusut tuntas, kejadian tersebut mendemonstrasikan
beberapa hal penting. Pertama, pudarnya supremasi hukum. Hukum yang mesti
ditegakkan, hukum yang harusnya mengatasi segala bentuk permasalahan di
negeri ini, dan hukum yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia sebagai
negara hukum tidak lagi dihargai. Banyak pihak mulai main hakim sendiri.
Akhirnya, misteri itu pun terjawab ketika Ketua Tim Investigasi Brigjen
Unggul K Yudhoyono menegaskan 11 anggota Kopassus terlibat penyerbuan dan
pembantaian empat tahanan di LP Cebongan.
Siapa pun pelakunya atau siapa pun yang
menjadi aktor intelektual di balik penyerangan tersebut, hal itu secara
amat telanjang menunjukkan kesemuan praktik demokrasi di Indonesia. Hukum
yang merupakan denyut jantung paham demokrasi tak lagi dihiraukan.
Kedua, minimnya keberanian dalam diri
para pemimpin negara. Ketika kalangan tertentu terkesan mulai membentengi
diri dengan berbagai argumentasi, atau sekadar melemparkan alibi di
hadapan publik manakala berbagai spekulasi bermunculan, pertanyaan
sederhananya ialah apakah para penegak hukum masih memiliki keberanian
untuk menginvestigasi kasus itu secara profesional? Tentu saja publik
Indonesia mengharapkan pemimpin-pemimpin yang berani mengambil keputusan
meskipun keberanian itu kerap membawa risiko tersendiri. Artinya, hukum
mesti ditegakkan walaupun dunia harus binasa.
Ketiga, kedua hal terdahulu mem perkuat
pernyataan tentang pudarnya peran negara dalam melin dungi warganya
sendiri. Boleh di bilang, itu merupakan bentuk pen jajahan negara
terhadap rakyat sendiri. Peristiwa LP Cebongan, sekali lagi, menyisakan
satu pertanya an, apakah pihak penjaga LP begitu lemah sehingga mereka
bahkan tak memiliki sedikit pun peluang untuk meminta pertolongan dari
pihak kepolisian? Jika mereka terlalu lemah, Indonesia sejauh ini masih
memelihara mentalitas yang buruk, yakni membiarkan para narapidananya
berada dalam keadaan yang tidak aman.
Perihal rasa aman di LP tampak direduksi
pada tembok-tembok pengaman semata, sedangkan para penjaga hanyalah
orang-orang suruhan yang bertanggung jawab menjaga pintu masuk. Apakah
benar demikian? Rasanya janggal jika para penjaga tak sanggup bertindak
untuk membela hak hidup para tahanan yang mati sebelum divonis secara
hukum. Wilayah tanggung jawab mereka di biarkan begitu saja.
Negara sepatutnya memberi rasa aman
kepada warganya. Jika hukum tak sanggup menciptakan rasa aman dan keadilan,
atau para penegak hukum tidak lagi memiliki keberanian untuk menuntaskan
persoalan itu, niscaya negara ini perlahan-lahan tapi pasti terjebak
dalam apa yang disebut Bryan Turner sebagai Mad Max scenario.
Terminologi itu mengacu ke sebuah film
yang menjelaskan sebuah visi apokaliptik tentang masa depan masyarakat
global yang dapat hidup dalam suatu kondisi penuh kekerasan. Umat manusia
terlempar kembali ke dalam cara hidup primitif yang keras dan tanpa hukum
yang mengatur. Keadaan seperti itu, menurut Ritzer, sebenarnya sudah
mulai tampak di jalan-jalan kota di Irak, Afghanistan, Pakistan, dan
Somalia. Dalamnya skenario Mad Max merupakan realitas yang tak diragukan
lagi (George Ritzer: 2010, 501).
Rasa
Aman
Pertanyaan sentimental dari Media
Indonesia benar-benar menggugah. “Apakah
kita tidak malu membangga-banggakan diri sebagai negara hukum bila negara
gagal melindungi warga negara? Bagaimana pertanggungjawaban hukum negara
kepada keluarga para korban?“ (editorial,
25/3). Perihal hukum, sesungguhnya filsuf Jenewa-Prancis,
Jean-Jacques Rousseau, melihatnya sebagai ekspresi kehendak umum rakyat.
Karena hukum dalam negara hukum mesti mengekspresikan kehendak umum
rakyat, ia bersifat umum. Maka, hukum mau tak mau mengandung prinsip
ekualitas. Dengan prinsip tersebut, individu-individu dalam asosiasi
politik bernama negara-hukum itu berharap hidup mereka akan menjadi lebih
aman dan adil dengan adanya aturan hukum.
Harapan itu bertolak dari keyakinan
universal bahwa hukum tidak mungkin membuat hidup menjadi lebih buruk.
Bila ternyata ada hukum yang membuat hidup warganya menjadi tidak nyaman,
hukum itu irasional dan tidak mungkin disetujui sebagai hukum. Hukum
dalam pola pemahaman ini menjadikan individu-individu merasa bebas. Dengan
adanya hukum, individu-individu dapat memperoleh tempat dalam negara.
Dengan menyitir Thomas Hobbes, dari hakikatnya negara (hukum) tercipta
untuk mengatasi kondisi alamiah `perang semua melawan semua'. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan sementara, hukum yang legitimate ialah
hukum yang mengekspresikan kehendak umum, hukum yang memperlakukan
individu-individu secara sama, dan yang memberi kebebasan atau rasa aman
kepada individu-individu.
Dengan mengacu ke uraian-uraian
sebelumnya, hal terpenting yang dapat digarisbawahi sehubungan
dengan
status Republik ini sebagai negara hukum ialah konsistensi penegakan
aturan hukum. Negara, melalui aparat penegak hukum, berkewajiban secara
profesional mengungkap dan memproses kawanan penembak tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar