Minggu, 07 April 2013

Menjaring Caleg Transformatif


Menjaring Caleg Transformatif
Donie K Malik ;   Peneliti di Program Magister Ilmu Politik FISIP
Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 06 April 2013

  
Bursa penjaringan calon anggota legislatif (caleg) oleh partai politik saat ini sedang berlangsung. Sejumlah partai politik yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai merekrut caleg dalam berbagai mekanisme penjaringan. Dalam konteks legitimasi politik, peran anggota legislatif di parlemen amat strategis guna mewakili aspirasi pemilihnya. Yang menjadi poin penting kemudian, akankah penjaringan caleg yang dilakukan oleh partai-partai politik sekarang dapat melahirkan anggota legislatif yang lebih progresif dan aspiratif dibandingkan periode 2004-2009?

Cermin Legislatif

Dalam dasawarsa terakhir, potret kinerja anggota legislatif di DPR belum menunjukkan progresif yang gemilang. Dari berbagai survei dan jajak pendapat yang dilakukan lembaga-lembaga survei terhadap masyarakat selama ini, citra DPR  sebagai institusi maupun anggota dewan sebagai aktor politik representatif rakyat di parlemen cenderung masih jauh dari harapan publik.

Fungsi yang melekat dalam tubuh DPR, yakni penganggaran, pengawasan, serta pembuat undang-undang masih belum diresapi secara utuh untuk dijalani sepenuh hati oleh para anggota legislatif. Dalam fungsi anggaran misalnya, masih banyak diwarnai dengan proses KKN dan belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. 

Dari segi fungsi pengawasan, sejak era reformasi hingga kini, anggota DPR cenderung memiliki watak legislative heavy, yakni sikap arogansi berlebih karena mereka menganggap produk undang-undang dan pemilihan pemimpin lembaga-lembaga negara diputuskan melalui lembaga itu. Akibatnya, fungsi check dan balance dengan pihak eksekutif pun menjadi terganggu dengan sikap berlebihan ini. 

Begitu pula dengan fungsi legislasi yang cenderung regresif. Tahun 2013, target UU prolegnas yang harus disahkan DPR ada 70. Namun, hingga bulan ini baru satu UU yang disahkan. Sedangkan pada 2012, DPR hanya bisa mengesahkan 30 undang-undang dari target awal 69 undang-undang. 

Selain ketiga fungsi DPR yang masih jauh dari harapan, perilaku anggota DPR kerap kontraproduktif dengan sebutannya sebagai “dewan yang terhormat”. Hal itu misalnya dapat dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang dari waktu ke waktu, ada saja yang terungkap berasal dari kalangan anggota DPR, lalu terkuaknya perbuatan asusila ke muka publik, perilaku pemborosan anggaran, hingga kerap mangkir dari sidang parlemen.

Caleg Transformatif

Caleg adalah produk partai politik. Lewat jalur partailah caleg-caleg hadir untuk dipertarungkan dalam demokrasi prosedural melalui mekanisme pemilihan umum langsung, dan ketika terpilih akan mewakili aspirasi pemilihnya di parlemen. Oleh karena itu, peran partai politik amat penting guna menghasilan calon anggota DPR/DPRD yang progresif dan berkualitas, dalam arti mempunyai pandangan maju dalam berpolitik. Mereka setidaknya memiliki unsur kepemimpinan yang mumpuni, seperti integritas, visioner, inovatif, serta sikap melayani.

Oleh karena itu, penjaringan caleg oleh partai politik harus benar-benar bermutu dari segi rekrutmen maupun rekam jejak figurnya. Partai politik jangan terjebak dalam finansial dan popularitas caleg semata, tapi lebih dari itu, para caleg harus memiliki landasan kuat dalam pengabdian kepada rakyat dan negara. Kerja seorang anggota DPR/DPRD bukan mendulang kekayaan, melainkan sebagai pelayan dan pengabdi bagi rakyat. Bila di dalam diri seorang caleg hanya berpikir mencari harta sebanyak-banyaknya, lebih baik diurungkan sebelum berkumpul dengan anggota DPR/DPRD yang sudah lebih dulu ditangkap KPK dan mendekam di sel tahanan karena terlibat praktik korupsi. 

Para caleg yang ikut serta dalam kontestasi pemilihan anggota dewan tentu harus memahami hakikat perwakilan rakyat sebelum mereka terpilih dan resmi menjadi wakil rakyat. Secara teoretis, ada lima tipe perwakilan rakyat di dalam sistem politik, yakni tipe utusan, wali, partisan, politico, dan eksekutif. Dari kelima tersebut, yang paling ideal untuk parlemen di Indonesia adalah tipe utusan. Tipe ini mengedepankan anggota legislatif sebagai wakil rakyat dan harus melakukan agregasi serta artikulasi kepentingan rakyat, dengan terus-menerus melakukan komunikasi politik dengan rakyat atau konstituennya.

Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, rakyat sudah cukup cerdas dalam menilai figur wakil rakyat yang benar-benar tulus atau tidak dalam berpolitik. Mereka yang berkomitmen tentu tak akan sungkan-sungkan mengunjungi konstituennya. Oleh karena itu, caleg yang nantinya terpilih sebaiknya mau melayani rakyat dengan rutin turun ke akar rumput. Tinggalkanlah model lama pejabat bergaya elite, eksklusif, dan ingin dilayani. 

Model kepemimpinan yang sering dipraktikkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, tidak ada salahnya dijadikan role model. Dengan rutinnya turun ke bawah, atau yang sekarang sering media sebut dengan istilah blusukan, anggota legislatif tentu akan bisa menangkap apa aspirasi yang ada di tingkat bawah yang bisa menjadi bahan masukan (input). 

Model kepemimpinan tersebut juga bisa dijadikan patokan untuk mengkur kinerja para caleg saat sudah terpilih dan menjadi anggota DPR/DPRD. Tolok ukur itu dapat tercermin dari kemampuan para wakil rakyat dalam beberapa hal; pertama, mampu menyerap aspirasi dari bawah (grass root). Kedua, mampu mengolah aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik (anggaran APBN/APBD dan UU/Perda). Ketiga, mampu membuat kebijakan publik dan menjalankan fungsi pengawasan yang mencerminkan aspirasi rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar