Bursa penjaringan calon anggota
legislatif (caleg) oleh partai politik saat ini sedang berlangsung.
Sejumlah partai politik yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) mulai merekrut caleg dalam berbagai mekanisme penjaringan. Dalam
konteks legitimasi politik, peran anggota legislatif di parlemen amat
strategis guna mewakili aspirasi pemilihnya. Yang menjadi poin penting
kemudian, akankah penjaringan caleg yang dilakukan oleh partai-partai
politik sekarang dapat melahirkan anggota legislatif yang lebih progresif
dan aspiratif dibandingkan periode 2004-2009?
Cermin
Legislatif
Dalam dasawarsa terakhir, potret kinerja
anggota legislatif di DPR belum menunjukkan progresif yang gemilang. Dari
berbagai survei dan jajak pendapat yang dilakukan lembaga-lembaga survei
terhadap masyarakat selama ini, citra DPR sebagai institusi maupun
anggota dewan sebagai aktor politik representatif rakyat di parlemen
cenderung masih jauh dari harapan publik.
Fungsi yang
melekat dalam tubuh DPR, yakni penganggaran, pengawasan, serta pembuat
undang-undang masih belum diresapi secara utuh untuk dijalani sepenuh
hati oleh para anggota legislatif. Dalam fungsi anggaran misalnya, masih
banyak diwarnai dengan proses KKN dan belum sepenuhnya berpihak kepada
rakyat kecil.
Dari segi
fungsi pengawasan, sejak era reformasi hingga kini, anggota DPR cenderung
memiliki watak legislative heavy, yakni sikap arogansi berlebih karena
mereka menganggap produk undang-undang dan pemilihan pemimpin
lembaga-lembaga negara diputuskan melalui lembaga itu. Akibatnya, fungsi
check dan balance dengan pihak eksekutif pun menjadi terganggu dengan
sikap berlebihan ini.
Begitu pula
dengan fungsi legislasi yang cenderung regresif. Tahun 2013, target UU
prolegnas yang harus disahkan DPR ada 70. Namun, hingga bulan ini baru
satu UU yang disahkan. Sedangkan pada 2012, DPR hanya bisa mengesahkan 30
undang-undang dari target awal 69 undang-undang.
Selain ketiga
fungsi DPR yang masih jauh dari harapan, perilaku anggota DPR kerap
kontraproduktif dengan sebutannya sebagai “dewan yang terhormat”. Hal itu
misalnya dapat dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang dari waktu ke
waktu, ada saja yang terungkap berasal dari kalangan anggota DPR, lalu
terkuaknya perbuatan asusila ke muka publik, perilaku pemborosan anggaran,
hingga kerap mangkir dari sidang parlemen.
Caleg
Transformatif
Caleg adalah produk partai politik. Lewat
jalur partailah caleg-caleg hadir untuk dipertarungkan dalam demokrasi
prosedural melalui mekanisme pemilihan umum langsung, dan ketika terpilih
akan mewakili aspirasi pemilihnya di parlemen. Oleh karena itu, peran
partai politik amat penting guna menghasilan calon anggota DPR/DPRD yang
progresif dan berkualitas, dalam arti mempunyai pandangan maju dalam
berpolitik. Mereka setidaknya memiliki unsur kepemimpinan yang mumpuni,
seperti integritas, visioner, inovatif, serta sikap melayani.
Oleh karena
itu, penjaringan caleg oleh partai politik harus benar-benar bermutu dari
segi rekrutmen maupun rekam jejak figurnya. Partai politik jangan
terjebak dalam finansial dan popularitas caleg semata, tapi lebih dari
itu, para caleg harus memiliki landasan kuat dalam pengabdian kepada
rakyat dan negara. Kerja seorang anggota DPR/DPRD bukan mendulang
kekayaan, melainkan sebagai pelayan dan pengabdi bagi rakyat. Bila di
dalam diri seorang caleg hanya berpikir mencari harta sebanyak-banyaknya,
lebih baik diurungkan sebelum berkumpul dengan anggota DPR/DPRD yang
sudah lebih dulu ditangkap KPK dan mendekam di sel tahanan karena
terlibat praktik korupsi.
Para caleg yang
ikut serta dalam kontestasi pemilihan anggota dewan tentu harus memahami
hakikat perwakilan rakyat sebelum mereka terpilih dan resmi menjadi wakil
rakyat. Secara teoretis, ada lima tipe perwakilan rakyat di dalam sistem
politik, yakni tipe utusan, wali, partisan, politico, dan eksekutif. Dari
kelima tersebut, yang paling ideal untuk parlemen di Indonesia adalah
tipe utusan. Tipe ini mengedepankan anggota legislatif sebagai wakil
rakyat dan harus melakukan agregasi serta artikulasi kepentingan rakyat,
dengan terus-menerus melakukan komunikasi politik dengan rakyat atau
konstituennya.
Di era
keterbukaan informasi seperti saat ini, rakyat sudah cukup cerdas dalam
menilai figur wakil rakyat yang benar-benar tulus atau tidak dalam
berpolitik. Mereka yang berkomitmen tentu tak akan sungkan-sungkan
mengunjungi konstituennya. Oleh karena itu, caleg yang nantinya terpilih
sebaiknya mau melayani rakyat dengan rutin turun ke akar rumput.
Tinggalkanlah model lama pejabat bergaya elite, eksklusif, dan ingin
dilayani.
Model
kepemimpinan yang sering dipraktikkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, tidak
ada salahnya dijadikan role model. Dengan rutinnya turun ke bawah, atau
yang sekarang sering media sebut dengan istilah blusukan, anggota
legislatif tentu akan bisa menangkap apa aspirasi yang ada di tingkat
bawah yang bisa menjadi bahan masukan (input).
Model
kepemimpinan tersebut juga bisa dijadikan patokan untuk mengkur kinerja
para caleg saat sudah terpilih dan menjadi anggota DPR/DPRD. Tolok ukur
itu dapat tercermin dari kemampuan para wakil rakyat dalam beberapa hal;
pertama, mampu menyerap aspirasi dari bawah (grass root). Kedua, mampu mengolah aspirasi tersebut menjadi
kebijakan publik (anggaran APBN/APBD dan UU/Perda). Ketiga, mampu membuat
kebijakan publik dan menjalankan fungsi pengawasan yang mencerminkan
aspirasi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar